DUA PULUH DUA

3.3K 343 40
                                    

Dia seperti kucing yang menunggu majikannya pulang. Duduk manis tanpa bicara, hanya matanya yang berkilat-kilat penuh harap, mengikuti kemana arah majikannya bergerak. Hingga saat sang majikan duduk di kursinya, ia masih menatap dengan tatapan menggemaskan.

"Good morning, Kalila," Arthur bersuara setelah duduk di kursinya dan menyimpan tas di meja.

Sapaan Arthur membuat Kalila merekah senyumnya. Diulurkannya dua buah kotak yang Arthur yakini berisi masakan gadis ini kemarin.

"Here," kata Kalila, terus mengulurkan kotak plastik itu hingga berada tepat di bawah hidung Arthur. Arthur membuka kotak teratas dan langsung tercium wangi keju menerpa hidungnya.

"Masih panas ya," ujar Arthur, karena ia melihat sedikit uap mengepul.

"Iya. Aku panaskan tadi sebelum ke kantor. Ini sendok, garpu, dan pisaunya." Kalila mengluarkan kotak lainnya berisi peralatan makan. "Kamu mau makan yang mana dulu?"

"Mungkin ini dulu," Arthur menunjuk si macaroni schotel. Kotak berisi devil's cake ia kesampingkan.

"Ada kulkas gak di ruangan kamu? Biar aku simpan disitu aja cake-nya. Dia gak boleh lama-lama di luar ruangan." Kalila celingak celinguk, pandangannya menyapu seisi ruangan mencari benda berbentuk kotak.

"I dont have any. Di pantry aja," jawab Arthur. Kalila tampak berpikir sejenak. Kemudian dia mengangguk dan mengambil spidol yang tersedia di meja Arthur. Dengan sigap Kalila menulis nama Arthur Watson besar-besar di tutup kotak plastik itu. Mata Arthur membelalak. Ia tahu kotak makan ini bermerk, merk yang membuat ibu-ibu heboh kalau salah satu koleksinya hilang atau tertinggal saat dibawa anak-anaknya. Sekarang Kalila malah dengan cueknya 'mencorat-coret' kotak makan tersebut dengan spidol marker. Arthur cuma geleng-geleng.

"Sebentar ya," Kalila bangkit dan keluar. Membawa kotak berisi devil's cake ke pantry. Sementara itu Arthur mulai menikmati macaroni schotel sedikit demi sedikit. Memang enak. Lidahnya mulai terbiasa dengan masakan Kalila.

Kalila kembali dengan senyum di wajah.

"Aman?"

"Nggak. Kepergok Bertrand tadi waktu dia mau bikin kopi. Dia nanya kok bawa-bawa kotak namanya Arthur. Aku jawab aja, 'aku cuma kurir. Ini jangan disentuh ya. Punya Arthur!' Bertrand gak komentar apa-apa lagi," Kalila mengangkat bahu lalu duduk kembali di kursinya tadi.

Kalila tidak berkata apa-apa. Ia hanya duduk sambil menyangga dagu dengan kedua tangannya. Memandangi Arthur makan sambil tersenyum. Dipandangi seperti itu Arthur jadi salah tingkah. Dengan ragu-ragu ia mengangkat sendok ke arah gadis di depannya ini.

"Mau?"

"Nggak," Kalila menggeleng, rambutnya bergoyang. "Udah kenyang makan di rumah."

"Oh," Arthur mengangguk. Kembali makan tanpa memandangi Kalila. Kalila pun hanya diam saja. Namun Arthur tiba-tiba menyadari sesuatu. Sambil menunduk menatap macaroni schotelnya yang tinggal setengah, Arthur berkata pelan. "Potong rambut ya?"

Kalila terkejut. Kemarin, karena Arthur tidak bisa datang ke rumahnya, Kalila memang kabur ke salon untuk hair spa dan sedikit mengubah gaya rambutnya. Siapa sangka ternyata...

"Iya. Kamu sadar ya? Bagus gak?" Kalila berseru kesenangan. Ia menggoyangkan kepalanya hingga rambutnya bergerak-gerak. Arthur menengadah menatap Kalila.

"Cocok," Arthur mengangguk. Pujiannya membuat pipi Kalila bersemu merah dan senyumnya semakin lebar. Kalila juga tahu bahwa Arthur tersenyum, walaupun sedikit. Sedikit sekaliiii.

Kalila bangkit, mencondongkan dirinya, bermaksud mencium pipi Arthur. Melihat Kalila memajukan tubuh mendekatinya, Arthur malah tidak bergerak sama sekali. Ditatapnya Kalila terus. Kalila merasakan kesempatan emas ini. Hanya sedikit hingga Kalila bisa mencium pipi Arthur.

Gentleman's Choice - END (CETAK & GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang