TUJUH BELAS

2.8K 333 59
                                    

Beberapa hari sebelumnya.

Hotel Aston, Makassar.

Janice berjalan bolak-balik di kamarnya. Meski sudah menyalakan TV, namun yang masuk ke telinganya hanyalah satu kalimat.

"Aku masih mencintai Amy."

"Aku masih mencintai Amy."

"Aku masih mencintai Amy."

Berulang terus seperti kaset rusak. Ditambah ekspresi Arthur yang datar dengan sepercik rasa bersalah karena masih mencintai mantan istrinya. Janice menggeleng.

Berjalan ke kamar mandi, Janice memutuskan untuk menyegarkan dirinya dengan mandi. Siapa tahu, setelah ini pikirannya bisa jadi lebih jernih.

Berada dalam guyuran air dingin, sekarang pikiran Janice malah berjalan ke beberapa bulan lalu. Ia memejamkan matanya. Bukannya berusaha mengusir pikiran itu, Janice malah sengaja memikirkannya.

"I love you, Janice,"

"I love you too, Ken,"

Mereka saling berpandangan dan melemparkan senyum. Janice memejamkan mata lalu merasakan kecupan hangat mendarat di kening, lalu matanya. Janice membuka mata, berharap ada kelanjutan dari sekedar ciuman di bagian wajahnya. Namun yang dilihatnya adalah Ken, masih tersenyum, lalu berdiri.

"Ayo aku antar kamu pulang," ajak Ken. Dia mengulurkan tangan dan memegang tangan Janice.

Mereka berdua keluar dari kamar Ken di sebuah bangunan semi apartemen. Sambil bergandengan tangan, mereka berjalan beriringan, menyapa penjaga residences atau teman-teman Ken.

Di dalam mobil, dalam perjalanan menuju rumah Janice, Janice menganggap perjalanan ini sama seperti perjalanan lain yang mereka alami. Bersama-sama dalam usia 2 tahun hubungan mereka.

"Janice,"

"Yes," Janice mengangkat wajahnya dari ponsel. Memandang wajah Ken dengan rahang yang kuat dan ditumbuhi jambang tipis.

"I am going to marry," kata Ken. Pandangannya masih tertuju pada jalanan.

Perasaan Janice langsung membuncah bahagia. Sebentar lagi dia pasti akan dilamar. Dengan wajah tersipu dan tangan memainkan rambut, Janice tergagap. "O, oke..."

"Dengan Syadira..."

Janice seakan merasa dirinya dipukul tepat di wajahnya. Bukan sakit, tapi terlalu shock. Tidak menyangka akan serangan yang tiba-tiba ini. Dan entah harus menanggapi dengan cara apa.

"Sya... Syadira?" Tenggorokan Janice mendadak kering. Mengucapkan sebuah nama pun rasanya sangat sulit.

"Iya," Ken menoleh kepada Janice saat lampu merah.

Syadira adalah teman sejak kecil Ken. Janice cukup mengenal Syadira juga. Bahwa ayahnya adalah teman dekat ayah Ken sekaligus rekan bisnis. Syadira selalu baik padanya. Tidak bersikap berlebihan meski ia kenal Ken bertahun-tahun lebih lama dari dirinya. Lalu sekarang Syadira akam menikah dengan Ken...

"Are you kidding?" Kekagetan Janice sudah hilang. Sekarang berganti menjadi kemarahan.

Ken menghela nafas lalu memandang Janice. Lampu masih berwarna merah. "I'm not kidding, Janice."

"Few minutes ago you told me you love me. Then you tell me that you are going to marry another girl? How could you?!" Janice berteriak.

"Karena ayahku. Ayahku yang menyuruh aku. Ayah Syadira pula yang setuju menjodohkan kami." Ken berkata dengan putus asa. "Janice, I'm sorry,"

"Kamu kan bisa menolak!"

Ken menggeleng. Lampu mulai berganti menjadi kuning.

"I did. Dan tidak berhasil. Janice, banyak alasan..."

Lampu berubah hijau. Mobil di belakang mulai menekan klaksonnya.

"Itu cuma alasan yang kamu karang aja kan!" Janice mulai memukul lengan Ken.

"Janice!" Ken memperingatkan. Bersamaan dengan itu, suara-suara klakson dan umpatan makin terdengar lantang. Ken terpaksa segera menjalankan mobilnya meski sambil dipukuli Janice. "Janice, tenang, jangan bersikap seperti ini,"

Janice tidak mendengar. Ia terus memukuli Ken sambil marah dan mulai menangis. Ken semakin tidak fokus. Ia tidak melihat mobil yang datang dari arah kiri, berjalan ke arah mobil Ken.

Brakkkk!

Janice bergidik. Ia masih bisa merasakan bagaimana rasa sakit yang dialami pada malam itu. Rasa sakit fisik dan mental. Janice menggosok wajahnya. Berusaha melupakan kejadian tidak menyenangkan itu. Setelah mematikan air, Janice mengenakan handuk. Tanpa perlu melakukan perawatan rutin dan berpakaian, ia langsung masuk ke balik selimut.

***

"Apakah kamu mencintai aku?"

Pertanyaan Arthur membuat Janice termenung. Dirinya sendiri perlu memastikan apakah ia mencintai pria yang berdiri di hadapannya ini. Bayangan tentang Ken melintas di benaknya.

"Panggilan kepada..."

"Ah, sudah harus naik ke pesawat," Janice bergumam. Segera ia menarik kopernya untuk masuk. Mengabaikan Arthur yang berdiri memandangnya dengan tatapan kecewa.

***

Saat ini.

Janice sedang istirahat makan siang. Sudah hampir seminggu tidak ada yang menelepon atau menanyakan kabarnya di saat makan siang ini. Janice memainkan ponselnya. Tidak menyentuh makanannya sedikit pun hingga rekannya kebingungan.

Tririring!

Janice terkesiap. Kaget ketika ponsel di tangannya tiba-tiba berbunyi.

Arthur Watson is calling.

Mata Janice mengerjap. Memastikan ia tidak salah melihat nama yang tertera di layar ponselnya.

"Halo," kata Janice setelah yakin bahwa memang Arthur yang meneleponnya.

"I dont love Amy..." kata Arthur. Janice tersentak. Berarti Arthur sudah melupakan Amy? "...as much as I feel before."

Pundak Janice turun. Kembali merasa lemas.

"Aku akan tidak mencintai Amy lagi. Dan untuk itu aku butuh kamu di hidupku," Arthur melanjutkan.

Janice belum menanggapi. Ingatan-ingatan tentang Arthur, tentang Ken, muncul bergantian di kepalanya. Janice memejamkan matanya. Berpikir.

"Iya. Ayo kita berpacaran lagi."

***

Random question.

Ada yang bisa nebak usia aku aslinya berapa?

Yang pertama bisa nebak dengan benar, chapter berikutnya akan aku dedikasikan untuk dia.

Kamsia! :D

Gentleman's Choice - END (CETAK & GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang