Satu

214 1 0
                                    

Alarm handphone Ebeth sudah berbunyi tiga kali namun Ebeth baru terbangun ketika alarm itu berbunyi untuk keempat kalinya.

" Gaswat! Sudah setengah tujuh! Duh, bakal telat nih!"

Dengan segera Ebeth berlari ke kamar mandi dan segera membersihkan diri. Dalam waktu 10 menit Ebeth sudah siap dan sudah mengenakan seragam sekolahnya. Buru-buru Ebeth turun ke lantai satu rumahnya untuk berpamitan pada orang tuanya.

" Pa, ma, Ebeth berangkat dulu ya!"

" Beth, ayo sarapan dulu!" tahan mamanya.

" Gak bisa ma, sudah telat nih! Nanti aku bisa dihukum Pak Botak."

" Pak Botak? Siapa itu? Kamu ini buat banyak istilah untuk guru-guru kamu ya!" kata papa Ebeth tak senang.

" Ambil dulu rotinya, nak! Buat bekal di jalan," paksa mama sambil memberikan sepotong roti isi.

" Makasih, ma. Ebeth berangkat!"

Ebethpun berjalan kaki dengan kecepatan penuh sesekali berlari kecil. Untung saja sekolahnya dekat dari rumah, kira-kira satu kilometer. Setidaknya jarak ini bisa membantunya ketika tiba-tiba dirinya terlambat bangun. Sesekali Ebeth melirik jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lebih empat puluh lima menit. Ebeth mempercepat langkahnya.

Di gerbang sekolah sudah menanti Tia dan Prisia, sahabat baik Ebeth.

" Ya, ampun! Jam segini baru nyampe!" omel Prisia pada Ebeth yang masih ngos-ngosan.

" Iya nih, yuk buruan ke kelas. Nanti kalo telat Pak Botak marahin kita pula," kata Tia.

Selanjutnya Tia dan Prisia menyeret tangan sahabat mereka ke ruang kelas. Setidaknya Ebeth bisa bernafas lega karena hari ini dirinya berhasil lolos dari hukuman wali kelas mereka yang mereka juluki Pak Botak karena memang kepalanya botak.

***

" Ya ampun, Pak Botak hari ini killer banget ya! Untung aja hari ini kamu gak terlambat masuk kelas. Kalau tidak nasibmu akan sama seperti Dewi," kata Tia.

Memang benar yang dikatakan Tia. Tadi lima menit setelah pukul tujuh, Dewi datang dengan peluh di wajahnya. Namun dengan tampang datarnya Pak Botak menyuruhnya untuk keluar dan squat jump lima puluh kali. Setelah itu dibolehkan masuk ke kelas tapi berdiri di pojok ruang kelas. Kadang-kadang banyak murid yang tidak mengerti dengan Pak Hans yang mereka juluki Pak Botak. Seringkali hukuman yang diberikannya seperti hukuman anak sekolah militer. Padahal inikan sekolah SMA biasa yang mendidik muridnya bukan untuk menjadi anggota bersenjata negara.

" Ah, kamu seperti baru kenal Pak Botak saja! Diakan memang tidak bisa ditebak. Makanya kita harus tetap waspada," ucap Prisia sambil memakan baksonya.

" Iya, benar. Untung saja aku tidak terlambat."

" Eh, ngomong-ngomong kita cepat sekali sudah di kelas dua SMA. Padahal rasanya kita baru aja kenal dan duduk di kelas satu SMP. Tau-tau sekarang sudah kelas dua. Pada kepikiran mau ngambil kuliah apa nih?" tanya Prisia.

" Kalo aku mau kuliah jurusan akuntansi," jawab Tia.

" Kalo aku mungkin budaya dan sastra Indonesia. Kalo kamu apa?" Ebeth balik bertanya pada Prisia.

" Aku masih bingung nih, makanya aku nanya sama kalian. Soalnya papa nyuruh aku sekolah ke China ambil sastra Cina. Sedangkan mama maunya aku kuliah di UGM ambil psikologi karena mamaku punya mimpi masuk kuliah psikologi tapi waktu dulu gak dikasi sama eyang."

" Kamunya sendiri pengennya gimana?" Tia menatap Prisia serius.

" Aku juga gak tau aku pengennya apa. Soalnya kalian tahulah kemampuanku pas-pasan. Matematika gak pintar, bahasa juga gak pintar, ngomong di depan kelas aja gemetaran. Duh, aku benar-benar bingung! Malah sekarang sudah masuk semester dua."

" Tenang aja. Pokoknya kamu doain aja. Kami akan bantuin kamu nyari kemampuan kamu yang sebenarnya," hibur Ebeth.

" Makasih ya... Kalian memang sahabat terbaik aku," Prisia memeluk kedua sahabatnya.

***

Bintang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang