Sembilan Belas

45 0 0
                                    

Tia POV

Saat ini aku sedang berjalan-jalan sendiri di hutan sambil membawa ember. Tadi Bu Tuti meminta tolong padaku untuk diambilkan air. Dengan senang hati aku menerima tugas tersebut. Kata Bu Tuti ada danau di dekat perkemahan kami. Kupikir aku bisa menikmati pemandangan yang langka ini. Tapi sekarang aku menjadi sedikit takut. Entah kenapa aku merasa berputar-putar tanpa menemukan jalan keluar. Sementara itu matahari mulai tenggelam.

Aku bukanlah tipe orang yang mudah panik. Aku mengeluarkan ponselku untuk menghubungi Prisia. Sialnya aku lupa kalau di hutan ini ponsel sama sekali tidak bisa digunakan karena tidak ada jaringan disini. Bagaimana ini? Apa aku akan terjebak disini sendiri sampai malam? Gawat! Aku mulai panik. Jika tahu aku akan nyasar, aku tidak akan mau jalan sendirian disini. Apa yang harus kulakukan?

" Tolong! Tolong!" aku berteriak. Semoga saja ada yang mendengarnya. Setelah berteriak berkali-kali, masih tidak ada tanda-tanda datangnya orang. Apa aku benar-benar sudah jauh dari perkemahan?

Mungkin aku memang harus menunggu. Mungkin saja nanti Prisia atau Ebeth akan sadar kalau aku tidak ada. Mereka pasti akan mencariku.

***

Troy POV

Sebagai ketua OSIS yang baik, maka ada banyak sekali hal yang harus ku urus. Mulai dari memastikan semua anak berhasil membangun tenda mereka, membantu mencari kayu bakar, dan memantau pekerjaan rekan-rekan yang lain. Aku bahkan tidak sempat mencuri waktu untuk berduaan dengan Tia.

Awalnya aku berpikir ketertarikanku dengan Tia hanya sekedar perasaan biasa seperti yang sering aku alami dengan gadis-gadis mantan pacarku. Lama kenal dan dekat dengannya membuatku merasakan ada sesuatu yang berbeda antara hubunganku dan Tia. Biasanya aku pacaran dengan gadis-gadis karena fisik mereka yang cantik. Aku tidak bilang kalau Tia jelek, dia hanya sederhana. Dia tidak seperti gadis-gadis yang kukenal biasa, yang pekerjaanya hanya bersolek. Tia adalah gadis kutu buku yang manis. Dia cantik apa adanya baik luar maupun dalamnya. Mungkin ini yang namanya jatuh cinta.

Aku merasa nyaman ketika bersamanya. Aku tahu kalau sebenarnya Tia yang tidak nyaman saat ada aku. Biarlah begitu, aku tidak boleh menyerah dan mundur. Selain menyukainya, aku juga suka dengan keluarga kecilnya. Tante Lastri sudah seperti ibuku sendiri. Dia juga menyayangiku seperti dia menyayangi Tia dan Rafky. Aku merasa mendapatkan ibu yang baru. Aku juga mendapatkan seorang adik. Rafky itu adik yang lucu dan aku suka punya adik. Selama ini aku adalah anak semata wayang dan tidak pernah merasakan rasanya seorang adik. Karena itu aku benar-benar suka keluarga Tia dan suka datang ke rumahnya.

" Troy, Tia hilang!" Hansel tiba-tiba datang dan berbicara padaku dengan wajah datar. Informasi yang diberikannya membuatku khawatir.

" Bagaimana bisa?"

" Aku tidak tahu, tadi Bu Tuti meminta tolong padanya untuk mengambil air di danau dan sampai sekarang masih belum kembali."

Harusnya Bu Tuti tidak memintanya mengambil air. Tia baru pertama kali kemari dan dia tidak tahu lokasi-lokasi yang ada. Jika saja anak-anak yang lain yang dimintai tolong, pasti mereka akan tahu tempatnya karena sudah sering kemari.

" Ayo kita cari Tia!" kataku pada Hansel. Kurasa kali ini aku perlu membawa Hansel. Mungkin dia bisa membantuku mencari Tia.

" Ayo!" balas Hansel.

Aku dan Hansel berjalan bersama berkeliling hutan. Untungnya hutan ini bukan hutan yang tak terjamah seperti hutan-hutan lain. Bisa dibilang ini seperti kawasan hutan lindung jadi tidak akan ada binatang buas.

" Tia!" teriakku berharap ada jawaban darinya.

" Tia, kamu dimana?" panggil Hansel. Tapi tetap saja tak ada jawaban. Apa Tia berjalan sebegitu jauhnya hingga tidak mendengar teriakan kami?

Aku terus berjalan. Aku tidak akan bisa tenang jika Tia masih belum bisa ditemukan. Semoga saja kami bisa menemukan Tia. Matahari mulai tenggelam. Aku melirik jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Aku harus menemukan Tia sebelum semakin malam.

" Apa kau sangat mengkhawatirkan Tia?" tanya Hansel padaku secara tiba-tiba.

" Ya, aku sangat mengkhawatirkannya. Apa kau juga begitu?" aku balik bertanya.

" Aku mengkhawatirkannya karena dia termasuk tanggung jawabku."

" Tanggung jawab? Apa maksud kata-katamu? Apa kau pacarnya?" aku menjadi takut sendiri. Bagaimana kalau Hansel ini memang pacarnya Tia? Mungkin karena itu dia selalu berusaha menjauh.

" Kau tidak akan mengerti kata-kataku. Kau tenang saja, aku bukan pacarnya."

Ada hening sejenak. Aku senang setidaknya dia bilang kalau dia bukan pacarnya. Berarti aku masih punya kesempatan. Kami kembali memanggil nama Tia. Kali ini usaha kami berhasil, samar-samar aku mendengar Tia membalas panggilan kami. Aku dan Hansel segera berjalan ke sumber suara. Ternyata Tia memang jauh di dalam hutan.

" Tia!" Akhirnya aku menemukan Tia. Dia duduk sendiri di bawah sebuah pohon bersama dengan embernya. Mungkin dia sudah kelelahan.

" Apa kau baik-baik saja?" tanyaku khawatir.

" Aku baik-baik saja. Hanya saja kakiku tadi keseleo. Aku tidak bisa berjalan jauh lagi."

" Ayo kita kembali ke perkemahan," kata Hansel.

Aku langsung menggendong Tia ala bridal style sementara Hansel mengambil ember yang Tia bawa tadi. Dia mengerutkan keningnya tanda ta setuju. " Kau tidak mungkin berjalan, jadi aku akan menggendongmu sampai ke kemah."

" Terima kasih karena kalian sudah mencari dan menolongku."

" Sama-sama, Tia. Kami khawatir dengan keadaanmu," jawab Hansel.

Sesampai kami di perkemahan, semua orang langsung menghampiri kami. Sahabat Tia, Prisia dan Ebeth langsung membuka tenda agar aku bisa membawa Tia ke dalam.

" Tolong ambilkan obat gosok," kata Hansel. Apa yang akan dilakukannya?

" Untuk apa?" tanya Ebeth.

" Aku akan mengobati kakinya yang terkilir."

***

Tia POV

Hari ini aku akan kembali ke rumah. Camping kali ini benar-benar berkesan untukku. Keadaanku sudah sangat baik. Aku bersyukur ada Troy dan Hansel yang begitu perhatian padaku. Hansel ternyata sangat pandai, dia berhasil mengobati kakiku yang terkilir. Sementara itu Troy begitu memperhatikanku hingga membuat anak-anak lain menatap iri.

Sekali lagi aku pulang dengan diantar Troy. Sementara itu Ebeth ternyata dijemput oleh Jackson. Ini kali pertama aku melihat Ebeth tersenyum salah tingkah. Jackson menjemputnya dengan setelan jas khas orang kantor. Beberapa anak tampak terpesona setengah mati pada Jackson. Kalau Prisia tentu saja dijemput oleh supirnya.

" Tolong jangan ceritain apapun sama mama. Aku gak mau dia khawatir."

" Iya, aku gak akan ngomong apapun sama mama kamu."

" Thanks..."

Ketika kami sudah sampai, Troy membantu mengangkat tas ku ke dalam rumah. Rafky sudah menunggu kedatanganku. Rasanya sangat senang bisa kembali ke rumah.

" Gimana campingnya, kak?"

" Menyenangkan, Raf. Coba kamu juga ikut."

" Suatu saat nanti aku juga pasti akan camping," kata Rafky menghibur diri.

***

Bintang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang