Tiga

78 0 0
                                    

" Sore-sore begini enaknya nge-teh sambil baca novel," kata Tia dalam hati.

" Ya ampun, Tia! Anak mama yang satu ini pemalas banget sih! Ayo bangun, jangan duduk-duduk aja sambil baca novel. Lebih baik kamu bantuin mama siapin kue dagangan untuk besok."

" Apa yang harus Tia bantu, ma? Rasanya tadi Tia sudah bantuin mama deh!"

" Bantu apanya? Bantu makan kue mama?" sindir mama Tia.

" Maaf, ma. Tadi Tia khilaf jadi kemakan deh kuenya," kata Tia dengan nada menyesal.

" Mama akan maafin kalo sekarang kamu mau bantuin mama beresin perlengkapan masaknya. Sesudah ini mama masih harus ambil uang kue di warung depan."

" Oke, ma... Aku beresin."

Begitulah kehidupan Tia. Setelah beberapa tahun yang lalu papanya meninggal, mamanya adalah tulang punggung keluarga yang harus menghidupi dirinya dan adiknya yang masih berumur dua belas tahun. Mamanya sehari-hari membuat kue dan menitipkannya di warung dan di sekolah Tia. Kadang-kadang Tia malu dengan dirinya yang serba kekurangan dibanding teman-temannya yang lain yang bisa dengan mudahnya gonta-ganti mobil sementara dirinya hanya bisa jalan kaki ke sekolah.

Untungnya di antara teman sekelas yang menjauhinya masih ada Prisia dan Ebeth yang mau jadi sahabatnya. Meskipun mereka kaya, mereka tidak membeda-bedakan dan mau tulus berteman dengannya. Disaat Tia kesulitan, kedua sahabatnyalah yang akan menolong dan menyemangatinya. Tia merasa sangat beruntung dan bersyukur punya sahabat seperti mereka.

***

" Kak Tia... Oh Kak Tia! Where are you?" panggil Rafky, adik Tia.

" Kakak di kamar..." sahut Tia.

" Ah, rupanya lagi baca novel lagi! Bantuin aku dong!"

" Bantu apa? Ngerjain soal matematika lagi ya?"

" Kok tau?"

" Ya taulah. Dari semua pelajaran kan yang paling susah buat kamu itu matematika."

" Eh iya... Kakak kenal aku banget. Jadi malu nih!"

" Udah mana soalnya?"

Rafky menunjukkan buku matematikanya pada Tia. Mereka begitu akrab satu sama lain. Tia sangat menyayangi adik satu-satunya itu. Walaupun kadang-kadang mereka sering bertengkar, tapi itu tidak mengurangi sedikitpun rasa sayang mereka. Tia sadar bahwa keluarga kecilnya ini adalah harta berharganya. Mungkin dia tidak memiliki uang, tapi setidaknya dia punya keluarga yang dia cintai dan bisa mencintai dirinya apa adanya.

" Akhirnya selesai juga..."

" Iya, kamu harus banyak belajar ya! Kan sebentar lagi mau UN."

" Of course. Kakak tenang aja, aku pasti belajar keras. Ngomong-ngomong kakak lagi baca novel apa?"

" Biasa deh, tentang cinta-cintaan."

" Punya Kak Ebeth ya?"

" Iya. Mana mungkin kakak beli novel kalo bukan karena dipinjamin."

" Kak, kakak pernah suka cowok?"

" Ehm... Kok kamu jadi kepo gini sih?"

" Nanya doang! Soalnya novel cinta seperti itukan suka bikin baper anak cewek. Apa kakak pernah baper pengen punya cerita cinta begitu?"

" Kakak gak pernah suka sama cowok manapun sejauh ini. Di sekolah kakak, cowok-cowoknya kan pada aneh. Mereka juga terlalu kaya jadi mana mungkin mau sama kakak. O ya, kakak baru ingat ada satu cowok yang kakak suka."

" Siapa?"

" Kamu dong! Hahaha... Kamu kan cowok juga."

" Beda kali... Ya udah deh, aku mau ke kamar dulu. Makasih kak."

Tia merenung setelah kepergian Rafky. Apa dia pernah suka atau jatuh cinta? Sepertinya tidak. Dia sadar diri dengan statusnya yang kurang mampu ini. Jika bukan karena beasiswa yang diberikan pihak sekolah pada anak berprestasi, tidak mungkin dia akan bisa bertahan di sekolah elit dan mahal itu.

Jika ditanya apakah dia ingin merasakan jatuh cinta, punya pacar, seperti di dalam novel yang sering dibaca maka jawabannya adalah ya. Dia ingin merasakan semua itu. Tapi apakah semuanya mungkin terjadi?

***

Bintang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang