Enam

60 2 0
                                    

Prisia POV

Hujan-hujan begini enaknya tidur siang. Tapi baru mau ambil ancang-ancang untuk tidur, mama malah nyuruh aku untuk bukain pintu karena ada tamu.

" Hai Prisia!"

Rupanya Ronal yang datang. Kenapa sih dia selalu ganggu kesenanganku?

" Ngapain kesini? Pake hujan-hujanan gitu lagi."

" Mama nyuruh aku ngasih ini ke kamu. Katanya ini kue kesukaan kamu."

" Eh, ada Ronal! Ayo masuk! Aduh sampai basah begini!" Mama muncul tiba-tiba dan mempersilahkan Ronal masuk.

" Siang tante! Saya bawain kue titipan mama untuk Prisia. Katanya ini kue kesukaannya Prisia."

" Aduh, jadi ngerepotin. Makasih ya... kamu disini aja dulu. Kalau sudah reda baru pulang ya... Pris, ambil handuk untuk Ronal."

Aku menurut saja dengan perintah mama. Kalau sudah begini aku pasti tidak bisa tidur siang. Argh, Ronal!

" Nih, handuknya!"

Ronal menerima handuk yang kuberikan sambil nyengir. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Sementara itu mama masuk ke dapur sambil membawa kue pemberian Ronal.

" Kenapa nyungir gitu? Ada yang lucu?"

" Nggak. Kamu pasti lagi bête karena kedatangan aku kan? Kamu pasti tadi mau tidur siang."

" Tuh tau. Kenapa masih ganggu? Kan bisa ngasih kuenya nanti aja."

" Ya aku maunya sekarang kenapa?"

" Ih, ngomong sama kamu emang selalu bikin emosi. Bisa gak kamu gak usah ganggu aku. Capek tau ketemu kamu terus."

" Tapi akunya suka gangguin kamu. Hahahaha..."

Ronal memang selalu menyebalkan. Bisa-bisanya dia ada disini untuk mengacaukan mood baikku. Awas saja dia! Suatu hari nanti aku pasti akan memberinya pelajaran.

" Seru banget kalian berdua. Mama kamu apa kabarnya?" tanya mama yang tiba-tiba saja muncul lagi sambil membawa sepiring brownis yang dibawa Ronal tadi.

" Kabar mama baik, tante. Tante sendiri gimana? Sepertinya tambah cantik deh!"

Dasar tukang gombal! Mamaku aja sampe harus digombalin? Liat tuh si mama sudah melayang aja dipuji sama Ronal. Matanya sudah berbinar-binar bahagia.

" Ah, kamu bisa aja! Tante baik kok! Mama kamu juga cantik. Nanti bilangin makasih ya untuk brownisnya. Prisia, cobain deh kuenya. Ini enak lho!"

Dengan terpaksa aku mencoba kue brownis yang kata mama enak itu. Setelah menggigit kuenya, aku terpaksa harus setuju kalo kue ini memang enak.

" Mama kamu buat brownis nya sendiri ya?" tanya mama.

" Iya. Mama kebetulan suka bikin kue."

" Wah, lain kali bisa dong minta mama kamu ajarin tante! Sudah lama tante mau belajar buat kue tapi gak kesampaian."

" Itu gampang, tante. Aku juga bisa buat kue lho!"

" Oh ya? Tuh, Pris kamu harus belajar sama Ronal. Masa cowok lebih hebat dari kamu?"

" Biasa aja kali, ma."

Lama-lama risih juga kalo mama muji Ronal terus.

" Mulai Senin depan kamu ke rumah ajarin tante dan Prisia bikin kue ya..."

" Oke tante!" Ronal tersenyum nakal padaku. Dasar iblis licik!

***

Ebeth POV

Untung saja aku tadi buru-buru lari ke rumah. Kalau tidak aku pasti akan kehujanan. Tia gimana ya? Apa dia sudah pulang? Mungkin ada baiknya kalau aku telepon dia.

" Halo!"

" Halo, Tia! Kamu sudah sampai di rumah?"

" Sudah Beth. Ada apa?"

" Kamu gak kehujanan kan?"

" Nggak. Kamu gimana?"

" Aku juga selamat kok! Untung aja aku cepet lari ke rumah tadi. Baguslah kalau kamu tidak kehujanan. Kamu lagi ngapain?"

" Aku lagi mau ngerjain PR ekonomi terus belajar matematika, besokkan ada kuis dari Bu Rahma."

" O iya, aku hampir aja lupa. Oke, selamat belajar ya! Bye!"

Aku menutup sambungan telepon. Begitulah Tia. Dia sepertinya tidak punya jadwal bersenang-senang seperti anak lainnya. Setiap kali ditanya sedang apa, pasti jawabannya tidak jauh dari buku pelajaran. Aku paham sekali alasan dia melakukan semua ini. Dia ingin mempertahankan prestasinya agar beasiswanya tidak dicabut. Tapi apakah dia tidak bisa bersantai sedikit? Apakah dia tidak ingin setidaknya memikirkan sebuah hubungan dengan laki-laki?

Jujur saja aku sangat ingin merasakan yang namanya ditembak cowok, jadian, terus nge-date. Tapi sampai sekarang belum ada satu cowokpun yang pas di hati. Sampai sekarang sebenarnya ada seseorang yang gak bisa aku lupakan. Dia adalah teman mainku saat kecil yang sudah pindah ke Australia. Waktu itu kami masih kelas 6 SD. Dia pernah memintaku untuk menunggunya kembali. Sampai sekarang aku masih menunggunya walaupun tidak tahu entah sampai kapan harus menunggu.

Meski aku masih kelas 6, tapi aku tahu kalau aku mulai suka dengannya. Sejak aku kelas 4, dia adalah satu-satunya teman laki-lakiku. Dia digilai teman-teman kelasku, yang anehnya malah memilih berteman dengan aku yang notabene seorang pendiam. Dia pintar dan hebat main gitar. Waktu itu aku benar-benar terpesona dengan kehebatannya. Hingga saat kami bertemu di acara perpisahan kelas 6 dia memberi tahu akan pindah dan memintaku menunggu. Aku tidak tahu apa maksud dari menunggu. Tapi mungkin dia juga punya sedikit perasaan untukku. Ya, itulah harapanku.

***

Bintang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang