Delapan

61 0 0
                                    

Ebeth POV

Malam ini cuacanya terang oleh bulan dan bintang. Aku sangat menikmati malam ini. Aku duduk di balkon dekat kamar sambil memandang langit. Aku paling suka melihat bintang-bintang. Biasanya jika aku tidak menghitungnya maka aku akan melihat apakah ada rasi bintang yang terbentuk. Tapi malam ini sepertinya tidak ada rasi bintang yang terbentuk.

Dulu saat aku masih SD, aku pernah menghitung bintang dengan Jackson. Malam itu orang tuanya sedang keluar kota dan menitipkannya pada mama. Itu bisa terjadi karena Jackson bercerita kalau dia sangat dekat denganku yang kebetulan mama adalah teman lama mamanya Jackson.

" Ayo kita hitung bintangnya! Satu, dua, tiga, empat, lima,..."

" Eh, semuanya ada sepuluh!" kataku.

" Nggak. Bintangnya pasti lebih dari sepuluh. Kata Pak Jodi, bintang itu tidak terhitung banyaknya."

" Tapi coba deh kamu hitung, bintangnya memang cuma ada sepuluh," ngototku.

" Yang kamu liat disini memang hanya sepuluh, tapi sebenarnya di tempat lainnya juga ada lebih banyak bintang."

" O begitu ya... Baiklah, aku percaya pada Jackson."

Dulu aku begitu polos dan tidak tahu apa-apa. Jacksonlah yang selalu mengajariku. Aku benar-benar merindukannya. Dengan seketika, ada sesuatu yang lewat di langit. Itu bintang jatuh! Katanya kalau ada bintang jatuh maka semua yang kita minta akan terkabul.

" Tuhan, aku hanya ingin bertemu Jackson lagi. Jika itu mungkin, tolong bawa dia kembali padaku. Amin."

***

Priska POV

Sudah 2 hari aku belajar buat kue dengan Ronal. Sebenarnya bisa dibilang ini bukan buat kue, tapi mengacaukan dapur. Lalu dengan entengnya mama menyuruhku membersihkan semua sampah dapur sedangkan mama duduk di teras rumah sambil makan kue dengan Ronal. Baru kali ini aku akhirnya punya waktu untuk keluar. Aku memutuskan duduk di kursi taman.

Malam ini bulannya sangat indah, membulat sempurna. Setiap aku mengatakan bulan itu indah, aku selalu teringat kata papa.

" Bulan itu tidak indah, Pris. Permukaan bulan itu sebenarnya berlubang-lubang. Karena itu papa tidak pernah memuji mamamu dengan, 'parasmu begitu indah seperti bulan di langit'. Hahaha..."

" Ah, papa! Tapikan dari sini kita tidak bisa melihat permukaan bulan yang berlubang-lubang itu. Jadi tetap saja bulan itu indah."

" Dasar anak papa yang keras kepala!" papa mengelus kepalaku.

Dulu aku dan papa sangat dekat, tapi sekarang papa terlalu sibuk dengan perusahaannya. Aku tahu dan sangat paham kalau semua itu dilakukan papa agar aku dan mama tidak pernah kekurangan, tapi di luar itu semua aku juga butuh kasih sayang dan perhatian papa yang dulu. Aku rindu kebersamaan kami bertiga.

" Nih, untuk kamu!"

Lagi-lagi Ronal yang datang. Kali ini dia datang bukan dengan lolipopnya tapi dengan sebatang mawar. Jangan-jangan dia metik mawar yang ada di taman ini. Mawarnya menggoda juga. Aku ambil aja bunganya.

" Tumben gak bawa lollipop lagi."

" Iya, lolipopnya lagi habis. Lagian kamu bilang gak suka lollipop jadi aku bawain mawar aja. Kamu sepertinya suka."

" Nggak juga sih. Setidaknya mawarnya bagus. Kamu kenapa bisa disini?"

" Cuma pengen menikmati malam aja. Kan ini bukan hanya tempat favorit kamu tapi aku juga."

" Iya, aku tahu. Makanya aku sampai harus bosan ngeliat kamu disini."

" Hahaha... Nanti kalau aku gak ada kamu rindu lho!"

" Nggak mungkin. Justru aku malah senang karena itu artinya gak ada yang gangguin aku lagi."

Aku kemudian menatap langit. Tiba-tiba di langit seperti ada sesuatu yang jatuh.

" Hei, itu bintang jatuh!" kata Ronal.

Aku segera memejamkan mata, " Tuhan, tolong tunjukan padaku cinta sejati dalam hidupku. Tolong agar keluarga ini bisa kembali seperti dulu lagi. Amin."

Ketika aku membuka mata, Ronal juga membuka matanya. Sepertinya dia juga berdoa.

" Apa isi doamu?" mulai Ronal. Padahal tadi aku juga ingin menanyakannya.

" Mau tau aja sih! Kamu sendiri doa apa?" tanyaku balik.

" Kamu aja gak mau ngasih tau, maka aku juga gak akan kasi tau."

" Dasar!" umpatku pada Ronal.

***

Tia POV

Gara-gara Troy tadi pagi, sampai sekarang aku jadi galau berat. Untungnya waktu pulang sekolah tadi aku gak ketemu sama dia lagi. Bukannya ke geeran, tapi aku hanya takut kalau dia masih mengejar-ngejar aku. Semoga saja bicaraku yang keras itu membuatnya tidak berani mendekatiku.

" Sepertinya ada yang lagi galau nih!"

Rafky duduk di sebelahku sambil senyum-senyum.

" Nggak ah! Kakak biasa aja. Kamu tuh yang lagi galau. Senyum-senyum mulu."

" Kakak tuh yang lagi galau. Mikirin Kak Troy ya?"

" Nggak kok. Kamu kenapa ngomongin Troy?"

" Teringat aja. Soalnya dia kan satu-satunya cowok yang kakak bawa sampai ke rumah."

" Sembarangan aja kamu ini. Kakak justru gak mau dia sampai ngaterin kakak. Dia yang maksa tau."

" Nggak apa-apa kok, kak. Dia kelihatannya orang yang baik."

" Kamu aja yang gak tau. Dia itu playboy di satu sekolah tau."

" O... Playboy toh! Semua orang kan bisa berubah, kak. Mungkin aja dia akan berubah kalau sudah berteman sama kakak."

Sepertinya itu tidak mungkin. Sampai langit runtuh, seorang playboy tidak akan bisa berubah.

" Kak, liat ada bintang jatuh. Cepat doa kak!"

Aku menutup mataku. " Tuhan, tunjukkan padaku siapa laki-laki yang kau takdirkan untukku. Tolong jauhi aku dan keluarga ini dari segala kejahatan. Dan tolong agar cinta kami tidak pernah luntur. Amin."

***

Bintang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang