Delapan

28 3 0
                                    

Sheira lelah. Dimas lelah. Mereka berdua lelah. Lelah untuk berdebat satu sama lain. Lelah memutar otak mencari umpatan yang tepat di setiap keributan yang mereka timbulkan. Tapi mereka tidak bisa berhenti. Entah kapan berhenti atau mungkin tidak pernah bisa berhenti. Seperti sekarang ini.

"Balikin!" Sheira tengah menatap marah Dimas yang mengambil buku catatan bersampul kertas cokelat miliknya.

"Bentar." Ucap Dimas pendek sedikit ketus kemudian membuka halaman demi halaman catatan Geografi milik Sheira.

"Lo mau ngapain sih?" Tanyanya tidak sabar. Sedikit panik melihat Dimas dengan santainya membuka-buka lembar demi lembar bukunya. Entahlah, dia juga tidak tahu kenapa. Mungkin Sheira hanya tidak ingin Dimas tahu bahwa tulisan Sheira lebih mirip seperti ceker ayam. Mungkin lebih buruk dari itu. Karena dia yakin, hanya dirinya dan pak Arifin saja yang mampu membacanya. Atau peta wilayah DKI Jakarta yang sempat Pak Arifin suruh untuk digambar di buku atau tepatnya dicap. Beruntunglah Sheira menggunakan kertas karbon hitam yang justru membuat kertas di bukunya kehitaman. Oh, Sheira benar-benar payah kalau harus berurusan dengan kerapian catatan.

"Ckckck! Nggak nyangka ternyata ada yang lebih parah dari catatan seorang Dimas."

"Geli banget lo." Sewot Sheira yang mulai kehabisan kesabaran.

"Wow! Ini peta kota Jakarta ya? Kurang nih." Celetuk Dimas membuat Sheira menaikkan sebelah alisnya. Sedangkan Alissa yang sudah menahan tawanya sedari tadi ikut mengernyit heran.

"Apanya?" Tanya Sheira ragu-ragu. Dia enggan bertanya kepada Dimas sebenarnya.

"Kok nggak ada alamat rumah gue? Harusnya lo bikin tuh jalan utama sama jalan alternatifnya sekalian."

"Idih. Nggak guna."

"Buat apa memangnya, Dim?" Alissa bersuara setelah berhasil meredam keinginan tertawanya.

"Biar Sheira nggak pusing kalau mau ke rumah Dimas."

Dan tawa Alissa pun pecah mendengar guyonan Dimas. Sheira pura-pura memuntahkan isi perutnya. Dia benar-benar geli dengan tingkah Dimas yang aneh sehingga membuat perutnya terasa tidak enak. "Nggak lucu! Udah sini balikin buku gue! Dan stop buat nyebut diri lo dengan nama lo sendiri."

Dimas menyeringai menatap Sheira yang menedengkan tangannya, meminta buku catatannya.

"Oh, Dimas tahu!" Dimas berseru dengan lantang membuat beberapa pasang mata dalam ruang kelas X C menatap ke arahnya. Dasar pengusik!

Alissa memandang penuh minat kepada Dimas yang tersenyum. Bukan, bukan. Dimas menyeringai. Sheira menatapnya malas dan langsung merebut bukunya. "Sheira mau Dimas yang gambar yah? Oke, nanti Dimas gambarin peta rumah Dimas ke sekolah sampai ke rumah Sheira." Alissa tertawa geli dengan tingkah absurd pemuda berparas tampan itu. Benar-benar langka.

"Akting lo jelek banget sumpah. Bikin pengen muntah."

"Yah, ketahuan deh. Ya udah Dimas nggak mau akting lagi. Lagian capek juga ya berpura-pura jadi orang lain."

Ternyata sebaris kalimat Dimas sedikit menyentil perasaan Sheira yang selalu sensitif jika berhadapan dengan Dimas Putra Kusuma. "Maksud lo apa?!"

"Apa?" Entah Dimas berpura-pura bodoh atau memang kurang peka.

Sheira menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. "Mending lo pergi deh, Mas. Bentar lagi bel bunyi."

Alissa menoleh dengan cepat ke arah Sheira. Begitu juga dengan Dimas yang sedikit terkejut. Mereka bertatapan sebelum mengalihkan pandangannya kepada Sheira. "Apa?" Kini giliran Sheira yang bertanya.

SweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang