#Chapter_2: Namaku Ocean

4.8K 261 9
                                    

Malva mengehela nafas pelan memandangi pria yang tengah duduk diranjang pasien poli pemeriksaan. Pria itu hanya diam menunduk dalam, saat dua orang perawat wanita dengan telaten mengobati luka-lukanya. Hanya memar diarea betis yang cukup parah, lalu luka dipelipis, dagu, serta luka gores dibagian lengan. Selebihnya, baik-baik saja.

Terlepas dari semua penjelasan dokter dihadapannya, Malva mengambil satu kesimpulan pasti. Pria itu keterbelakangan mental alias abnormal, tapi bukan gila ataupun sakit jiwa. Ia hanya berbeda dari orang normal kebanyakan. Kondisi khusus yang membuatnya kesulitan berinteraksi.

Istilah medisnya, pengidap syndrome tertentu yang merupakan satu gejala autisme. Entah syndrome apa itu, Malva tak tahu. Saat dokter dihadapannya menjelaskan, ia hanya diam melongo. Kapasitas otaknya yang purbakala tidak mampu menyaring informasi medis dengan kosa kata sulit yang membuat lidah terlipat ketika diucapkan.

Alhasil, kesimpulan minim itulah yang dapat Malva ambil dari keseluruhan penjelasan sang Dokter.

"Ini resep obat untuk lukanya, silahkan tebus di apotek."

Setelah menerima secarik kertas resep, Malva beranjak. Ia mengucapkan terima kasih pada dokter dan dua perawat di sana atas kesabaran mereka menghadapi kekacauan yang ia bawa.

Sebelum keluar, Malva menggandeng tangan pria itu melangkah. Jika bukan karna ucapan dokter bahwa ia harus bersikap baik dan ekstra sabar dalam menghadapi orang seperti pria ini, Malva mana sudi melakukannya. Lagipula, ia juga harus jadi anak baik dan bertanggung jawab, bukan? Itu, didikan Ayahnya.

Tak menghiraukan sorot mengunjing orang-orang disekitar atas tingkah aneh pria yang ia gandeng, Malva melewati begitu saja. Ia kembali memekik ketika pergelangannya dicengkeram erat. Pria itu merepet padanya, membuat Malva tak nyaman dengan pandangan petugas apotek dihadapannya.

Usai menerima kantong mini obat, dengan cepat Malva berlalu dari sana.

"Udah, lo bisa lepasin gue sekarang."

Gadis bergigi ginsul itu memaki tanpa suara setelah tubuhnya bebas. Pergelangannya yang dicengkeram sedikit memerah, dan mungkin juga pinggangnya akan mengalami hal sama. Kesal, Malva melangkah terburu meninggalkan pria itu yang berjalan kepayahan. Betisnya masih sakit, dan Malva sama sekali tak mau menunggu.

Kesabaran gadis itu benar-benar diuji hari ini. Andai ia tak lupa mengerjakan tugas fisika, andai saja tadi ia tak membolos hanya karna takut pada hukuman, kesialan seperti ini pasti tak akan ia alami.

"Tunggu..tungguin."

Malva mendesah pelan menggaruk poninya, tidak peduli. Ia menghampiri Dullalah diparkiran, menunggu pria itu di sana. Iblis dan malaikat dikepala Malva saling bergumul menyerukan sikapnya barusan. Si iblis berkata jika kekesalannya itu wajar, namun si malaikat memprotes keras.

"Jangan tinggalin,"

"Siapa juga yang mau ninggalin lo sih, Mas Bro. Gue cuma males aja lo pepet-pepetin mulu, risih tahu nggak." Malva berucap yang membuat pria itu kembali menunduk dalam. Iris madunya yang sepolos bocah meredup.

Ah, satu lagi yang Malva paham dari kondisi pria dihadapannya. Selain situasi asing yang bisa membuatnya tak nyaman, pria itu juga akan mudah gugup jika ditanggapi dengan sikap kurang ramah seperti apa yang Malva lakukan kini.

Menghela nafas pelan, Malva merogoh dompet. Biaya konsultasi serta obat menguras isi dompetnya yang hanya menyisakan seribu perak. Ia kembali beralih pada pria itu.

"Mas Bro, lo tinggal di mana?"

Pria itu mendongak sejenak. Manik matanya yang berlarian ketika memandang Malva, membuat gadis itu tidak nyaman.

Beautiful Gift [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang