Ilyas menatap kartu mahromnya nyalang. Saatnya kartu itu dipakai, kenapa dari sekian orang di dunia ini harus Ilyas? Kalau MamahPapah tau tentang Ilyas yang menyerahkan amanahnya pada Ihsan, bagaimana? Kalau MamahPapah tau harga diri Amrina terancam karna Ilyas, bagaiman? Lagian, nyerahin Amrina ke Ilyas.Kalau dipikir, kasian juga Amrina. Kalau dia tau hal yang sebernya, gimana? Amrina ‘kan cengeng banget. Gimana kalau Amrina jantungan, terus keluarga A nuduh Ilyas ngebunuh Amrina, serem. Tapi Ilyas yakin, nggak akan se drama itu. paling mentok Ilyas bikin Amrina di sidang, atau skors, karna ketahuan pacaran. Kenapa Ilyas malah mikirin Amrina? Masa bodoh deh tentang Amrina.
MamahPapahnya tadi sudah mengantar dan memanggil nama Amrina, lalu setelah itu mereka pergi lagi. Buat Ilyas sih, ditengok ya Alhamdulillah, kalau nggak juga nggak apa apa, asal uang jajan jalan. Ilyas nggak kayak Amrina yang cengeng. Tuh ‘kan Amrina aja terus, akhirnya Ilyas menfokuskan matanya pada majalah di ruangan mahrom ini. Sebenarnya Ilyas nggak paham sama majalahnya, toh majalahnya berbahasa Arab, suka sih sama bahasa Arab, tapi Ilyas nggak pinter banget buat baca majalah yang isinya huruf hijaiyyah semua.
Amrina datang dengan grasak grusuk sambil duduk lalu bermisuh misuh, dan Ilyas masih terfokus pada majalah Arab itu, malas liat muka macan Amrina.
“Kenapa?” tanya Amrina yang membuyarkan kefokusan Ilyas. Nggak bisa basa basi.
“Ane cuman mau ngejalanin amanah doang,” jawab Ilyas sambil melihat Amrina yang duduk di bangku sebelahnya.
“Kenapa malah kamu yang dateng? Kenapa nggak UmmiAbi? Kenapa semuanya pada lupa buat nengok aku? Kenapa semuanya jadi berubah gini? Kenapa aku malah ngerasa sendiri? Kenapa harus kamu yang dikasih amanah?” Amrina menatap nanar Ilyas.
“Jangan negative mulu pikiran ente, mereka….” Ilyas berhenti berucap, lalu kemudian berdecak, Amrina nangis lagi.
“Kamu puas ‘kan? Liat aku nangis terus, kamu selalu aja seneng. Dari awal! Dari tragedy eskrim itu, terus pas aku tiba tiba udah masuk Al-Amanah, terus aku dipaksa masuk sini, kamu nggak bantuin aku buat keluar!, terus kamu seneng-seneng, sementara aku nangis terus. Aku nggak se kuat itu Ilyas!” pekik Amrina kalap.
Ilyas terpaku, segitu kejamnya ya dia nyuekin Amrina dan bersikap nggak perduli. Atau ini Amrina yang drama?Ilyas menghela napas, mungkin ini juga sedikit salahnya, “jangan cengeng,” ucap Ilyas, lalu memeluk Amrina menenagkannya.
“Aku mau pulang,” rengek Amrina ditengah tangisnya.
“Ente jalanin aja dulu, kasian UmmiAbi udah bayar, eh ente malah kayak gini,” ucap Ilyas.
“Kenapa harus kamu yang disuruh jagain aku? Padahal kamu ngejagain aku aja nggak,” kesal Amrina sambil memukul, mencubit, dan menginjak Ilyas. Ilyas melepas pelukannya.
“Jadi ente maunya ane yang jagain? Bukannya, Ihsan udah jagain ente?” tanya Ilyas penuh selidik.
“Ngapain juga aku berharap kamu yang jagain? Mending kak Ihsan aja,” elak Amrina.
Ilyas hanya bergumam tidak jelas, pikirannya jadi asemrawut, kacau balau.
“Kamu seneng aku menderita gini? Liat aja nanti aku kasih tau ke Abi, kalau kamu jahat. Abi ‘kan tameng aku dari jauh, Abi selalu jagain aku dari jauh. Abi itu… aku kangen.” Tangis Amrina pecah lagi, Ilyas kembali memeluknya, kasian juga sih kalau diliatin gitu, kayak anak yang hampir depresi gitu.
“Suut… udah… tenang.” Ilyas menenangkan Amrina.Acara menenagkan Amrina terhenti saat ada suara deheman bapak penjaga ruangan mahrom.
“Kalian mahrom sepupuan ‘kan? Seharusnya nggak ada acara peluk gitu. Okay, ini pemula, lain kali jangan gitu.” Bapak itu membetulkan kopiahnya, lalu kembali ke mejanya. Ilyas berdehem, menetralkan sesuatu yang aneh. Sementara fikiran Amrina adalah : dia harus ngasih surat buat Ihsan ke Ilyas. Lalu Amrina memberikan surat itu, dan Ilyas memberikan titipan UmmiAbi.
“Nih UmmiAbi anti nitip ini, rapot anti diambil Mamah, nanti HP anti bakal dibawa,” terang Ilyas, membuat muka Amrina muram.
“Bahkan ambil rapot aja nggak,” gumam Amrina, lalu mengambil sejumlah uang dan sekantong makanan, dan bangkit, pergi meninggalkan Ilyas tanpa pamit. Eh pamit sih, tapi pamitnya malah nginjek kaki Ilyas. Ilyas menghela napas, nggak lagi-lagi deh ngerasa bersalah sama Amrina.Amrina berusaha memasang senyuman saat masuk asramanya, menaruh makanan di box, lalu menyimpan uang di brangkas yang ada dilemarinya, lalu seperti biasa mengalihkan pikirannya dengan novel. Hana memperhatikan itu dengan tatapan khawatir, mendekati Amrina.
“Kamu kenapa?” tanya Hana, memang Hana kepo, tapi ternyata cukup pengertian juga sama Amrina.
“UmmiAbi aku belum nengok aku, besok rapotnya diambil Mamah Ilyas,” terang Amrina murung. “Ilyas?” ulang Hana tak paham, oh iya, Amrina belum cerita soal Ilyas.Menutup novelnya, lalu menatap Hana, nencari kata kata yang pas, dan Amrina mulai menceritakan Ilyas. Dari mulai tragedy eskrim itu, dan selanjutnya. Hana bisa juga diandalkan untuk menjadi teman curhat yang baik.
Curhatan Ilyas terdengar aneh di telinga Rian, dengan mengacungkan tangan Rian meminta instrupsi.
“Ente nggak ada niatan mau ngebatalin rencara jodohin Ihsan sama Amrina?” tanya Rian.
“Enggak,” jawab Ilyas polos.
“Terus gimana? Kalau dia kenapa napa?” tanya Rey.
“Ada Ihsan,” jawab Ilyas.
“Nggak segampang itu, Yas,” peringat Ares.
“Terus?” tanya Ilyas meminta kelanjutan.
Semua mengangkat bahu, terserah.
“Lagian ane juga bakal agak ngejagain dia dari jauh, yah ane satu persen jagain deh.” Ilyas tersenyum simpul. Berbuat baiknya cuman satu persen, membahayakannya, Sembilan puluh Sembilan persen, parah.
“Gengsian amat,” komentar Rey.
“Kayak ente nggak gengsian aja minta maaf dan bilang love sama Hana.” Ilyas menoyor kepala Rey.Hana terus berceloteh tentang Rey saat dia sudah memberikan saran pada Amrina, dan Amrina mendengarkannya dengan antusias.
“Rey itu sahabat aku dari kecil, bodohnya aku yang terlalu baperan atau apalah namanya, aku bilang suka sama Rey. Dia marah, dia bilang jangan bikin canggung, dan segala alasan yang aneh. Sampai sekarang aku sama Rey belum ada yang mulai bicara. Biasanya malam minggu kita jalan-jalan, dia sampai jarang kumpul sama Ilyas dan temen temennya, cuman buat jalan-jalan bareng aku. Tapi sekarang nggak lagi,” ucap Hana pada Amrina.
“Perang dingin itu namanya. Kayak aku sama mereka,” tatapan Amrina tertuju pada Marwa dan Intan yang sedang tertawa, lalu melanjutkan, “itu biasa, diantara kalian harus ada yang memulai buat minta maaf dan terbuka. Emang susah sih, tapi seengkanya kamu coba dulu. Inget, minta maaf yang tulus. Nggak usah cari siapa yang salah dan siapa yang benar. Gitu kata Ummi Maya.”
Hana terdiam, mungkin bisa juga teori itu dipakai, tapi gimana caranya? Mereka terdiam, dengan pikiran masing masing.*&*&*&*&*&*&*&*
Esoknya. Amir dan Amirah merengek pada UmmiAbi yang baru saja datang dari luar kota, meminta untuk ke Al-Amanah, bertemu kakaknya. UmmiAbi saling berpandangan, pasti ada yang disembunyikan.
“Umh... kalau kalian aja yang kesana gimana?” tanya Abi.
“Lah? Abi udah lima bulan loh nggak ketemu kak Amrina,” heran Amirah.
“UmmiAbi mau ke tempat Jiddah duluan, kalian mau nyusul enggak?” tanya Ummi.
“Jiddah? Ngapain?” tanya Amir.
“Kita mau beeresin kerjaan, janji deh terakhir, gimana?” tanya Abi.
“Yaudah, kita ke kak Amrina sekarang. Ponsel kak Amrin mana?” tanya Amir.
“Udah sama Ishma, kalian hati-hati ya,” ucap Ummi.
“Iya, Mi. Assalamualaikum.” Pamit AmirAmirah.
Mereka keluar gerbang dan menaiki mobil pak Anto, sopir mereka. Dengan hati yang bertanya-tanya dengan teka-teki UmmiAbinya, kenapa jadi aneh gini?*&*&*&*&*&*&*&*&*&*&*
Berhubung mood aku lagi bagus banget pagi ini, mungkin aku bakal post 2 atau 3 part.
Happy reading, jangan lupa voument.
Regrads, TulisanKeju.
1158 Words
Jangan lupa baca:
1.Rainy.
2. I and A.
3. Oublier.
4. Kumpulan Cerpen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tameng
Spiritual13 January 2017 (CERITA INI JUGA TERSEDIA DI AKUN GWP RESMI PUNYA KEJU) Bagi A, seorang I adalah orang yang selalu bahagia diatas penderitaannya. Bagi I, seorang A adalah orang yang selalu menganggu ketenangannya. Apalagi MamahPapah I malah menitipk...