Jilid 1

10.8K 93 3
                                    

Di saat matahari sedang turun dan rombongan gowak terbang pulang, di satu jalanan dari pegunungan Tjin Nia di Siamsay, satu anak muda lagi kasi kudanya jalan pelahan-lahan, karena ia sedang menikmati pemandangan alam mendekati sore yang indah permai.

Mengikuti pemuda ini ada satu kacung umur belasan tahun, kudanya pun kurus, di punggung kudanya itu, kecuali bungkusan pakaian pun ada sebuntal pelbagai kitab. Dia ini nampaknya sibuk, sebab mulai remang-remang, majikannya masih tidak percepat perjalanan mereka.

"Kongtjoe, jalanan disini tidak aman," ia lalu mendesak. "Nanti kita tidak dapatkan rumah penginapan. Kalau kita ketemu begal di tengah jalan......"

Si mahasiswa tidak menyawab, dia cuma tertawa, lantas ia keprak lari kudanya.

Pemuda itu ada Hauw Tiauw Tjong alias Hong Hek, asal Siang Kioe di propinsi Hoolam, turunan sasterawan. Ketika itu ada di jaman kerajaan Beng, tahun kelima dari Kaisar Tjong Tjeng.

Dengan perkenan ayah-bundanya, dia pergi pesiar. Pada waktu itu, pengkhianat Goei Hian Tiong, si orang kebiri yang berpengaruh, sudah dihukum mati karena pemberontakannya, akan tetapi Negara belum seluruhnya aman-sentausa, malah disana-sini muncul segala begal dan berandal. Sebenarnya orang-tua itu tidak mufakat puteranya pesiar tetapi si anak memaksa, katanya, satu laki-laki mesti "dapat baca berlaksa kitab, dapat merantau berlaksa lie". Dia pun ada satu anak pintar dan berani.

Tiauw Tjong berangkat dengan cuma ajak satu kacungnya itu, Hauw Kong namanya. Ia menuju ke arah Barat. Di sepanyang jalan, ia mengicipi kepermaian gunung-gunung, sungai dan kali. Kapan ia sampai dikaki gunung Tjiong Lam San, yang ia ketemui adalah penduduk bermuka pucat-kuning yang kurus-kering, malah kadang-kadang mayat-mayat kelaparan, di antara siapa pada mulutnya masih termamah sisa rumput hijau, keadaannya sangat menyedihkan dan merisaukan hati. Mulanya, ia masih bisa menderma sejumlah uang, tapi lama-lama, ia kewalahan sendirinya. Terlalu banyak yang mesti ditolong, dilain pihak, uang bekalannya sangat terbatas. Tapi semua itu menginsafi ia bagaimana kemelaratan merajalela, kesengsaraan rakyat jelata hampir merata. Walaupun semua itu, apabila ia tampak panorama indah, hatinya lega juga.

Baru setelah ditegur budaknya, Hauw Kongtjoe sibuk juga. Ia sudah larikan kudanya, ia belum ketemu pondokan, sedang cuaca berubah makin remang-remang, makin gelap. Belasan lie sudah ia kaburkan kudanya, baru ia sampai di sebuah kampung. Menampak kampung ia dan budaknya girang bukan main, tapi kemudian, hati mereka cemas. Kampung itu sangat sunyi.

"Mari kita cari rumah penginapan," kata si kongtjoe.

Akhirnya Hauw Kong turun di depan sebuah pondokan, yang pakai merek Hotel Tjiang Lam, terus saja ia kaoki tuan rumah, pemilik hotel. Ia tidak dapat jawaban, melainkan teriakannya berkumandang dibelakang hotel, yang letaknya berdampingan sama gunung. Itulah sambutan dari dalam lembah.....

Kembali kacung ini memanggil berulang-ulang, saban-saban ia disambuti kumandangnya. Hotel tetap sunyi, tidak ada penyahutan, tidak ada yang keluar.

Tiba-tiba berkesiur angin yang dingin. Keduanya, majikan dan kacungnya, bergidik sendirinya.

Tiauw Tjong habis sabar, ia bertindak masuk kedalam hotel. Untuk kagetnya, ia tampak dua tubuh mayat menggeletak dan darah hitam mengumpiang, bau amis engas menyambar-nyambar hidung, kawanan laler terbang pergi-datang. Itulah mayat-mayat sejak beberapa hari.

Hauw Kong, yang ikuti majikannya masuk, menjerit dan lari keluar.

Tiauw Tjong melihat kesekitarnya. Peti2 terbuka berhamburan, pintu dan jendela pecah-rusak.

Teranglah sudah, hotel itu ada korbannya berandal.

Hauw Kong lihat majikannya belum juga keluar, ia masuk pula, memanggil.

Pedang Ular Emas (Kim Coa Kiam/Sword Stained with Royal Blood) - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang