Jilid 7

1.8K 21 0
                                    

Sin Tjie sudah ikuti Bok Djin Tjeng tiga tahun, pandangan matanya telah jadi beda sekali, sekalipun demikian, sekarang tak bisa ia ikuti gerak tangan dan kakinya sang guru, sedangnya ia kagum, tiba-tiba guru itu berseru, pedangnya melesat kedepan, nancap dibongkotnya satu pohon besar.

Itulah tenaga yang besar luar biasa, karena mana, Sin Tjie menjadi bengong dan nganga saja! "Bagus!" demikian satu suara pujian, yang datangnya dari arah belakang si bocah.

Selama tiga tahun berdiam diatas gunung, belum pernah Sin Tjie dengar suara lain orang kecuali gurunya, atau hanya suara ah-ah-uh-uh dari si empeh gagu, sekarang mendadakan ia dengar satu suara asing - memangnya ia sedang tercengang - ia jadi heran sekali. Cepat luar biasa, ia menoleh kebelakang, hingga didepan matanya, ia tampak satu toodjin atau imam yang bersenyum berseri-seri seraja usut-usut kumis dan jenggotnya.
Imam itu berjubah kuning, mukanya bersemu merah, rambutnya sudah putih semua. Habis memuji, ia berkata : "Sudah lebih dari sepuluh tahun aku tidak lihat kau gunai pedangmu, tidak disangka kau telah peroleh kemajuan begini rupa!"
Bok Djin Tjeng telah menoleh pada tetamunya itu, ia tertawa berkakakan.
"Bhok Siang Tooyoe, angin apa sudah tiup kau sampai disini?" tanya dia. "Sin Tjie, hayo kau kasi hormat pada too-tiang!"
Sin Tjie menurut, ia hampirkan itu imam akan berlutut dan manggut didepannya.
"Jangan, jangan!" tertawa si imam, seraya ia membungkuk, untuk angkat bangun bocah itu.
Sin Tjie tidak mau diangkat, dan, sebagai biasanya orang yang mengerti silat, ia gunai tenaganya, maka itu, tidak gampang untuk si imam cegah pemberian hormat itu. Dia juga memang cuma mau mencoba saja.
"Lauw Bok!" berkata ia kemudian, "selama beberapa tahun ini, jarang sekali aku bertemu dengan kau, tidak tahunya kau keram diri disini untuk mendidik muridmu ini. Sungguh, peruntunganmu tidak buruk, di saat-saat dari hari akhirmu, kau masih mendapatkan satu bahan yang baik sekali!"
Bok Djin Tjeng girang atas pujian sahabat itu dengan siapa ia biasa berguyon.
"Aya!" Bhok Siang Toodjin berseru sendirinya. "Hari ini aku tidak bawa uang, jadi dengan Cuma-cuma saja aku terima hormatmu ini, anak! Bagaimana sekarang?......."
Mendengar kata-katanya si imam, hatinya Bok Djin Tjeng tergerak, mendadakan, ia ingat suatu apa. Ia berpikir: "Imam setan tua ini ada punya kepandaian luar biasa, karenanya, kaum kang-ouw djuluki ia Kwi-eng-tjoe si Bayangan Iblis. Coba dia suka wariskan salah satu pelajarannya kepada Sin Tjie, alangkah baiknya! Hanya ia biasanya tak suka terima murid, maka perlu aku cari akal untuk ia keluarkan kepandaiannya itu...."
Segera juga guru ini kata pada muridnya : "Sin Tjie, tootiang telah berikan janji hadiah bagimu, lekas kau memberi hormat dan haturkan terima kasihmu!"
Sin Tjie benar-benar cerdik, dengan lantas ia dapat mengerti maksud gurunya, maka segera ia paykoei pula, ia ucapkan terima kasihnya.
Bhok Siang Toodjin tertawa terbahak-bahak.
"Ya, bagus, bagus, bagus!" kata ia.
"He, bocah cilik, kau dengar aku, untuk jadi manusia, orang mesti jujur dan polos, maka jangan kau telad gurumu ini yang kulit mukanya sangat tebal! Masa, begitu dengar orang hendak memberikan barang, dia lantas ketok besi panas! Mustahil aku si tua-bangka nanti perdayakan kau satu bocah? Mustahil, bukan? Nah, begini saja, justru sekarang aku si tua-bangka lagi bergembira, aku berikan kau ini saja!"
Dari bebokongnya, dimana ada tergendol satu kantong, imam ini rogoh keluar segumpal barang, apabila Sin Tjie buka itu, itu adalah baju kaos hitam, melainkan ia tak tahu, bahannya terbuat daripada sutera atau kulit. Tentu saja, ia terima hadiah barang itu dengan tergugu.
"Eh, tooheng, jangan kau main-main!" Bok Djin Tjeng kata pada sahabatnya itu, gangguan siapa tadi ia tak gubris. "Bagaimana kau dapat berikan dia mustika ini?"
Mendengar kata-kata gurunya itu, karena itu baju kaos katanya ada mustika, Sin Tjie ulur kedua tangannya, akan angsurkan itu kepada si imam.
Tapi si imam menolak.
"Aku tak demikian kikir sebagai gurumu!" kata dia. "Tidak biasanya aku, sudah memberi barang, barang itu diminta pulang! Kau ambillah!"
Masih Sin Tjie tidak berani menerima, ia awasi gurunya.
"Jikalau begitu, kau terimalah," kata sang guru. "Lekas kau bilang terima kasih."
Sin Tjie menurut, ia mengucap terima kasih sambil paykoei pula.
Lalu, dengan roman sungguh-sungguh, Bok Djin Tjeng kata pada muridnya: "Ini adalah sepotong baju mustika! Untuk mendapatkan ini, dahulu tootiang sudah keluarkan banyak keringat-daki, ia telah membahayakan jiwanya sendiri! Nah, kau pakailah!"
Sin Tjie turut perkataan gurunya, ia lantas pakai baju kaos itu.
Bok Djin Tjeng bertindak kepohon, untuk cabut pedangnya, ia cuma gunai dua jerijinya, nampaknya ia dapat menyabut dengan gampang sekali.
"Baju kaos ini terbuat dari sutera emas putih, rambut dan bulunya kera-kuning, yang disulam menjadi satu, senjata tajam bagaimana juga tak dapat merusaknya," menjelaskan ia, menyusul mana, ia bacok pundak muridnya.
Sin Tjie kaget, ia hendak berkelit tapi sudah kasep, ia kalah sebat dengan gurunya itu, selagi ia berlompat, pundaknya sudah jadi sasaran. Akan tetapi, buat keheranannya, ia tidak terluka, bacokan terasa enteng sekali, pedang itu terpental balik. Ia jadi sangat girang, hingga lagi-lagi ia paykoei didepan si imam! Bhok Siang Toodjin tertawa; katanya pada si bocah: "Kau lihat barang ini hitam-legam, jelek dipandangnya. Ketika pertama kali kau paykoei, mestinya kau belum punya kepercayaan, kau tidak puas, tetapi sekali ini kau paykoei, tentu kau sudah puas benar!"
Mukanya Sin Tjie jadi merah karena godaan itu, hingga ia diam saja.
Bhol Siang toodjin tidak perdulikan orang jengah atau tidak, ia melanjutkan : "Dahulu pernah beberapa kali baju kaos ini tolong jiwaku," katanya, "tetapi sekarang, asal saja gurumu tidak ganggu aku, mungkin sekalipun tak memakai baju ini, dikolong langit tidak ada lagi orang yang mampu celakai aku!"
Habis mengucap demikian, imam itu tertawa berkakakan, nampaknya ia sangat puas dan jumawa.
Bok Djin Tjeng pun tertawa, dan berkata: "Eh, imam bangkotan jangan tjampur aduk, kau mengebul didepannya satu bocah! Dalam hal ilmu kepandaian, tak dapat aku lawan kau, tetapi dikolong langit ini, ada banyak sekali orang pandai!"

Pedang Ular Emas (Kim Coa Kiam/Sword Stained with Royal Blood) - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang