Jilid 17

1.6K 29 0
                                    

Besok siangnya, Sin Tjie titahkan Ang Seng Hay pergi ke rumah Tjiauw Kong Lee untuk panggil Lo Lip Djie. Dia ini masih sangat menderita karena lenyapnya sebelah tangannya, tapi mendengar Sin Tjie panggil ia, bukan main girangnya, segera ia minta orang pepayang padanya, untuk memenuhi panggilan itu.
"Kau duduk," perintah Sin Tjie, yang terus ajarkan bagaimana harus bersilat dengan tangan sebelah - tangan kiri.
Lip Djie berotak terang, ia gampang ingat, apapula setelah si anak muda yang liehay petahkan latihannya.
Untuk ini Sin Tjie pakai tempo sepuluh hari, setelah Lip Djie ingat semua, dia dipesan untuk berlatih nanti, setelah lukanya sembuh.
Pelajaran ini beda daripada yang umum, karena Sin Tjie wariskan dari dalam kitab Kim Tjoa Pit Kip. Maka itu, walaupun ia tercelaka, Lip Djie girang tak kepalang, karena ia sangat bahagia memperoleh ilmu golok yang liehay itu.
Sin Tjie sudah lantas siapkan belasan kereta sewaan, untuk angkut hartanya ke kota raja. Untuk keberangkatannya itu, Kong Lee adakan satu perjamuan meriah sekali yang dihadiri oleh gadisnya dan sekalian muridnya. Di pihak lain, Sin Tjie minta tolong supaya gedung Kokkong-hoe itu dikembalikan kepada Bin Tjoe Hoa, sedang Tiang Pek Sam Eng diserahkan kepada pembesar negeri.
Selagi cuaca musim rontok menyenangi hati, Sin Tjie berangkat bersama-sama Tjeng Tjeng, A Pa dan Ang Seng Hay, mengiringi belasan kereta harta karun itu, menuju ke Utara, Kong Lee dan gadisnya serta murid-muridnya mengantari sampai di seberang sungai Tiang Kang, sampai jauhnya tiga-puluh lie lebih.
Daerah sebelah utara sungai ada daerah pengaruh Kim Liong Pang, dari itu siang-siang Kong Lee telah atur warta berita kepada pelbagai pelabuhan atau pos partainya, supaya di setiap tempat, rombongan Sin Tjie disambut dengan baik dan dilindungi di sepanjang jalan.
Selang lebih dari sepuluh hari, sampailah rombongan ini di batas propinsi Shoatang.
"Tuan Wan, sejak ini, daerah bukan daerah pengaruh Kim Liong Pang lagi," menerangkan Ang Seng Hay, "karenanya, mulai hari ini, harus kita berlaku sedikit lebih hati-hati."
"Apa? Apa ada orang berani main gila terhadap kita?" tanya Tjeng Tjeng.
"Itulah tak dapat dibilang, "sahut Seng Hay. "Sekarang ini jalanan tidak aman, terutama di Shoatang, orang jahat terlebih banyak daripada tempat lainnya. Di daerah ini ada dua partai yang liehay."
"Kau toh dari partai Poet Hay Pay?" Tjeng Tjeng tegasi.
Seng Hay tertawa.
"Poet Hay Pay berkuasa di lautan," kata dia, "maka juga kalau di darat, umpama emas dan permata kedapatan di tengah jalan, menjemputnya pun kami tidak lakukan!"
"Siapa itu dua partai di Shoatang?" Sin Tjie tanya.
"Yang pertama ada rombongan Tie Hong Lioe Tie Toaya di Tjhongtjioe," jawab Seng Hay.
Sin Tjie manggut.
"Ya, aku pernah dengar guruku omong tentang Tie Toaya itu," kata ia. "Dia kesohor untuk tangan-pasir-besinya Tiat-seetjiang dan ilmu silat toya Thay-tjouw-koen."
"Itulah benar. Partai yang satu lagi adalah yang berkedudukan di ok-houw-kauw," Seng Hay terangkan lebih jauh. "Partai ini mempunyai enam pemimpin yang semuanya liehay."
Sin Tjie manggut pula.
"Baiklah, kita harus berhati-hati," katanya. "Setiap malam baik kita bergiliran menjaga."
Perjalanan dilanjuti. Selang dua hari, mereka berpapasan dengan dua penunggang kuda, yang kudanya dikaburan, sehingga suara kelenengannya terdengar dari jauh-jauh.
"Inilah dia!" kata Seng Hay setelah dua penunggang kuda itu lewat di samping mereka. Sebagai orang kang-ouw ulung, Seng Hay luas pengetahuannya. Ia tidak kuatir, karena ia tahu Sin Tjie liehay dan ia sendiri pun tak dapat dipandang ringan.
Selang satu jam, dua penunggang kuda tadi telah kembali dan lantas melewatkan pula.
Tjeng Tjeng tertawa dingin.
"Tidak sampai sempuluh lie, bakal ada yang pegat kita," Seng Hay kasih tahu.
Akan tetapi sangkaan ini keliru. Lebih dari sepuluh lie dilewatkan, mereka tidak kurang suatu apa, hingga mereka singgah di Siang-tjio-hoe.
"Heran! Mungkin mataku lamur?" kata Seng Hay.
Besoknya pagi, jalan belum lima lie, di sebelah belakang mereka, empat penunggang kuda menguntit dari kejauhan.
"Aku mengerti," kata Seng Hay. "Kemarin mereka belum siap, hari ini tentu mereka akan bekerja."
Tengah hari, sehabis singgah, lagi dua penunggang kuda menyusul rombongan ini.
"Aneh!" kata Seng Hay. "Kenapa begini banyak orang?"
Dan menambah keheranannya ini, beberapa jam kemudian, dua penunggang kuda lain lewatkan mereka.
Sin Tjie masih hijau di kalangan kang-ouw, ia tidak merasakan apa-apa, tapi juga Tjeng Tjeng, pengalamannya masih kurang, tidak demikian dengan Seng Hay.
"Aku mengerti sekarang," kata dia. "Wan Siangkong, malam ini kita mesti singgah di tempat yang besar."
"Kenapa begitu?" Sin Tjie tanya.
"Sebab yang kuntit kita bukannya orang-orang dari satu partai saja."
"Begitu? Berapa partai kiranya?" tanya Tjeng Tjeng.
"Jikalau setiap partai kirim dua orang, itu berarti, di depan dan belakang, sudah tujuh...."
Tjeng Tjeng tertawa.
"Kalau begitu, bakal ramai!" katanya.
"Tetapi siotjia, satu orang tak dapat lawan orang yang banyak," Seng Hay peringati. "Kita sendiri boleh tak takut tetapi bagaimana kita dapat bela barang-barang kita? Ini sulit..."
"Kau benar juga," Sin Tjie manggut. "Malam ini kita singgah di Tjio-liauw-tin saja."
Benar-benar mereka singgah di Tjio-liauw-tin dimana mereka pilih sebuah hotel besar, malah Sin Tjie peirntah turunkan semua peti, untuk ditumpuk di dalam kamarnya dimana ia hendak tidur berdua si empeh gagu.
Baharu Sin Tjie selesai mengangkut, dua orang dengan tubuh besar datang ke hotel itu. Lebih dulu mereka awasi anak muda kita, lantas mereka nyatakan pada kuasa hotel bahwa mereka berniat bermalam. Karena ini, satu jongos diperintah antar mereka masuk, untuk ambil kamar.
Sin Tjie manggut-manggut dengan diam-diam, ia tahu apa yang harus diperbuat. Habis bersantap ia perintah semua orang masuk ke dalam kamar, untuk beristirahat.
Kira tengah malam, pemuda kita dengar suara berkelidik di atas genteng, bukan dia lantas bersiap, dia malah bangun untuk nyalakan lilin secara terang-terang, kemudian ia buka sebuah petinya, untuk keluarkan seraup mutiara dan batu permata lainnya, yang ia letaki di atas meja, antaranya ada yang ia pandangi pulang-pergi, hingga di antara sinar api, semua permata itu terang-gemilang berkilauan.

Pedang Ular Emas (Kim Coa Kiam/Sword Stained with Royal Blood) - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang