Jilid 16

1.7K 24 0
                                    

Tjeng Tjeng tidak bisa main tiokie, setelah menonton sekian lama, ia jadi kehilangan kegembiraannya, sedang waktu itu, ia masih menderita dari lukanya, dari lesu, ia jadi ngantuk, akhirnya ia taruh kepalanya diatas meja dan pulas sendirinya.
"Nona Tjiauw, pergi kau pepayang ia untuk ia tidur dikamarmu," kata Bhok Siang Toodjin pada Tjiauw Wan Djie.
Mukanya Nona Tjiauw menjadi merah dengan tiba-tiba, ia berpura-pura tak dengar imam itu. Didalam hatinya, dia kata: "Kenapa tootiang ini jadi seperti orang tidak keruan omongannya?"
Bhok Siang lihat sikap orang, ia tertawa berkakakan.
"Dia pun satu nona, kau malu apa?" kata dia pula.
"Bagaimana, Wan Siangkong?" akhirnya Wan Djie tanya si anak muda.
Sin Tjie pun tertawa, tapi ia lekas menyahuti: "Benar, dia pun satu nona. Tidak leluasa untuk ia berkelana, dari itu ia menyamar."
Wan Djie percaya anak muda itu, ia tertawa, lantas ia pegangi Tjeng Tjeng, untuk diangkat bangun, buat dipepayang kedalam kamarnya.
Nona Hee mendusin.
"Aku tidak ngantuk, aku masih hendak menonton," katanya. Tapi ia tidak buka matanya, ia meram terus, tandanya ia masih ngantuk.
Wan Djie terlebih muda, akan tetapi ia biasa ikuti ayahnya, ia sudah berpengalaman.
"Baik encie beristirahat dulu, sebentar nonton lagi," ia membujuk. Ia pepayang terus tetamu itu, sampai didalam kamarnya, ia buka kopiahnya Tjeng Tjeng, maka ia lihat rambut yang panjang dan hitam mengkilap, ditengahnya ditancapi dua potong tusuk konde.
Sin Tjie layani gurunya dengan sungguh-sungguh, akan tetapi dua kali dia jalan keliru. Ia ingat tantangannya Kwie Djie-so untuk besok malam, pikirannya jadi tidak tenteram. Bagaimana ia harus layani enso yang aseran itu? Ia mencoba akan tenangkan diri. Tiba-tiba ia ingat suatu apa.
"Tootiang, cara bagaimana kau ketahui dia seorang wanita?" Tanya dia akhirnya.
Bhok Siang Toodjin tertawa.
"Bersama-sama dengan Siokhoemu itu, pada lima hari yang sudah telah aku bertemu denganmu," menyahut guru ini. "Aku ingin ketahui kemajuan boegeemu dan tingkah-lakumu juga, dari itu sengaja aku tidak mau lantas perlihatkan diri. - Kau hati-hati, aku hendak makan bijimu ini....." Ia lantas jalankan sebuah bijinya. Lalu ia menambahkan: "Kepandaianmu telah jadi apa yang dibilang, hijau itu asalnya dari biru, akan tetapi mungkin kau belum bisa lombai gurumu, hanya aku si imam tua, aku bukanlah tandinganmu."
Sin Tjie lekas berbangkit dengan sikapnya yang sangat menghormat.
"Tapi semua itu berkat pengajaran soehoe dan tootiang," kata ia. "Selama beberapa hari ini, umpama tootiang mempunyai waktu yang luang, teetjoe harap tootiang sudi ajari pula aku beberapa rupa ilmu pukulan lainnya."
Imam itu tertawa.
"Sampai sebegitu jauh, selama kau temani aku main tiokie, belum pernah tempo itu dilewatkan dengan cuma-cuma," kata dia. "Habis apa lagi aku mesti ajari kau? Kepandaianmu sudah menyusuli kebisaanku. Justeru kaulah yang mesti ajarkan beberapa jurus kepadaku! - Ha-ha bentengmu kena aku serbu!"
Imam ini girang sekali.
"Kepandaian yang tinggi memang sukar didapatkannya," berkata ia pula. "Akan tetapi dalam halnya kau, sifatmu baik sekali, itulah terlebih sukar untuk didapatinya. Kau masih muda sekali akan tetapi hatimu lurus, terhadap kawan wanita, kau berlaku tepat dan hormat, atas itu aku dan Tjoe Siokhoemu sangat kagumi kepadamu!"
Sin Tjie jengah sendirinya, mukanya menjadi bersemu merah, ia rasakan panas. Apakah tak mungkin, imam ini telah lihat bagaimana ia bergaul rapat sekali dengan Tjeng Tjeng? Ia malu sendirinya, kenapa imam itu bisa intip ia tanpa ia dapat ketahui. Itu menyatakan ilmu entengkan tubuh dari ini guru tak resmi sangat tinggi.
Ketika itu keduanya berhenti bicara, ruangan jadi sangat sunyi. Tiba-tiba terdengar suara perlahan di luar ruangan. Sin Tjie tahu sedikitnya datang tiga orang entah siapa, akan tetapi karena Bhok Siang Toodjin diam saja, ia pun tidak ambil sesuatu tindakan, ia melanjuti jalankan biji-biji caturnya seperti si imam sendiri.
"Sepak-terjangnya Djiesoesomu barusan aku telah dapat lihat," berkata Bhok Siang kemudian. "Kau jangan kuatir, besok aku nanti bantu kau untuk menghadapi dia."
"Justeru tak ingin teetjoe turun tangan terhadapnya," Sin Tjie kata. "Paling baik apabila tootiang bisa damaikan kita."
"Kau takut apa?" Bhok Siang bilang. "Kau lawan, kau hajar padanya! Umpama gurumu tegur padamu, katakan saja, aku yang anjurkan kau hajar padanya!"
Menyusul kata-katanya si imam, dari atas genteng loncat turun empat orang pula yang dibarengi dengan empat buah piauw menyambar ke arah Bhok Siang Toodjin dan Sin Tjie berdua.
Imam itu geraki kedua tangannya kebelakang, dengan gapah ia tanggapi empat batang senjata rahasia itu, lalu dengan tidak dilihat lagi, ia letaki itu diatas meja.
Tujuh orang diluar itu menjadi gusar, dengan berbareng mereka singkap sero untuk lompat masuk kedalam ruangan. Mereka semua menyekal senjata, agaknya mereka berniat menyerang.
"Bisa apa tidak kau makan ini tujuh biji semuanya?" si imam tanya kawan main catur itu.
"Teetjoe akan coba-coba," sahut Sin Tjie yang mengerti masuk perkataan itu.
Sementara itu, dua dari tujuh orang tidak dikenal itu hampirkan Tiang Pek Sam Eng, untuk kasi bangun pada mereka itu, dan lima yang lain maju terus kepada dua orang yang asik main catur itu, untuk serang mereka ini dengan golok dan pedang.
Sebat luar biasa, Sin Tjie raup biji catur, terus ia menyambit kebelakang, hingga sambaran anginnya terdengar nyata, menyusul mana tujuh orang itu mendadakan rubuh terjungkal, senjata mereka terlepas dan jatuh kelantai dengan terbitkan suara nyaring dan berisik.
Wan Djie baharu selesai urus Tjeng Tjeng, ia dengar suara berisik itu, ia kaget, ia lari keluar, maka ia saksikan Bhok Siang Toodjin dan Sin Tjie sedang asik lanjutkan permainannya, akan tetapi didalam thia itu, tujuh orang lain lagi meringkuk. Ia segera mengerti duduknya hal, tapi ia tidak mau ganggu dua orang itu, maka ia tepuk kedua tangannya tiga kali, atas mana muncullah enam orangnya. Dengan suara perlahan, ia suruh mereka ambil tambang, akan ringkus tujuh orang itu berikut Tiang Pek Sam Eng juga.
Selang setengah jam kemudian, baharulah dua orang itu akhirkan pertempuran mereka diatas papan catur, kesudahannya Sin Tjie kalah tiga kali.
Bukan main girangnya si imam. "Dalam beberapa tahun ini, ilmu silat caturmu mundur, tak ada kemajuannya!" katanya.
"Dasar tipu-tipu tootiang yang liehay dan teetjoe tidak sanggup melawannya," Sin Tjie aku.
Bhok Siang lantas menoleh kepada Wan Djie.
"Nona, coba tolong geledah mereka!" ia minta.
Wan Djie menurut, akan tetapi ia tidak turun tangan sendiri, ia suruh orang-orangnya yang bekerja.
Sebagai kesudahan dari penggeledahan itu, kecuali senjata-senjata rahasia, diketemukan beberapa lembar surat serta beberapa buku kecil yang memuat pelbagai tanda rahasia. Salah satu surat itu adalah suratnya si pangeran Boan, Kioe-ong-ya To Djie Koen, untuk Soelee Thaykam Tjo Hoa Soen di kota raja. Kepada thaykam ini, si orang kebiri, telah diberitahukan, oleh karena penjagaan di Sanhaykwan keras sekali, utusannya ini sampai mesti jalan mutar, dengan jalan laut. Kioe-ong-ya pesan, segala urusan besar, boleh didamaikan dengan pembawa suratnya itu, bernama Ang Seng Hay.
Bhok Siang gusar apabila ia ketahui siapa mereka itu.
"Semakin lama kawanan dorna ini jadi makin bernyali besar!" katanya dengan sengit. "Hm! Di hadapanku mereka berani mencoba merampas orang!"
Masih imam ini sengit, hingga ia dupak kepalanya satu orang tangkapan, hingga tidak ampun lagi, kepala itu pecah, polonya berantakan.
Masih Bhok Siang hendak menendang pula tapi Sin Tjie mencegah.
"Sabar, tootiang. Mungkin mereka itu ada faedahnya untuk kita. Nanti teetjoe periksa mereka."
Bhok Siang demikian mendongkol, hingga ia hendak robek-robek surat itu.
"Jangan, tootiang," Sin Tjie mencegah pula.

Pedang Ular Emas (Kim Coa Kiam/Sword Stained with Royal Blood) - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang