Jilid 10

1.9K 25 1
                                    

Oen Beng San murka sampai hampir dia tak sanggup kendalikan diri lagi, maka sebagai pelabi, dia tertawa ter-bahak-bahak.
"Sudah beberapa puluh tahun loohoe berkelana didunia kang-ouw, belum pernah loohoe ketemui siapa juga yang berani memandang enteng tongkatku Liong-tauw Koay-thung!" kata dia. "Baiklah! Apabila kau benar punyakan kepandaian, hayo dengan pedang kau, kau tabas kutung tongkatku ini!"
Liong-tauw Koay-thung ada tongkat berkepala naga-nagaan. Berbareng dengan berhentinya kata-kata jumawa itu, tongkat tersebut dipakai membabat kepinggang Sin Tjie. Sambaran itu diiringi dengan sambarannya angin juga, yang bersuara nyaring.
Oen Tjeng menjerit ketika ia lihat serangan yaya-nya itu. Ia tampak tubuh Sin Tjie seperti terbawa tongkat yang liehay itu. Akan tetapi belum sampai tubuhnya anak muda ini terlempar, atau tahu-tahu pedang kayunya sudah menyambar lempang kemuka si penyerang.
Oen Beng San mundur seraya tarik pulang tongkatnya, tetapi ia tidak cuma menarik saja, sebaliknya, ia segera dapat juga maju pula, untuk totok ulu-hati orang! "Ha, kiranya tongkat ini dapat juga dipakai sebagai alat penotok jalan darah!" pikir Sin Tjie sambil ia berkelit. "Aku mesti waspada!"
Sambil berkelit, pemuda ini lantas membabat dengan pedang-pedangannya itu.
Kalau itu ada pedang benar dan mengenai dengan tepat, tangan lawan yang menyekal tongkat mesti sapat semua jarinya. Akan tetapi Oen Beng San bukannya lawan lemah. Dia tahu baik sekali, sekalipun hanya pedang-pedangan, kalau ia terbacok, ia bakal terluka juga. Maka segera ia lepaskan tangannya yang kanan, hingga ujung tongkat jatuh ketanah dan tinggal pangkalnya yang lain jang tercekal di tangan kiri, lalu dengan dibantu lagi tangan kanan, ia ulangi serangan susulannya yang tidak kalah berbahayanya.
Ditangan orang liehay, tongkat itu jadi seperti bertambah-tambah beratnya, maka siapa lacur kena terserang, celakalah dia.
Sin Tjie kagum melihat kegesitan dan keliehayan lawan itu, karenanya, ia jadi bertanding dengan terlebih hati-hati.
Setiap serangan Oen Beng San menerbitkan sambaran angin keras, malah kalau kebetulan ia mengemplang tempat kosong, batu lantai hancur terlabrak dan muncrat meletik berhamburan. Coba itu mengenai tubuh manusia, bagaimana hebatnya.
Sin Tjie tidak perdulikan liehaynya tongkat, dia melayani dengan tubuhnya yang enteng, dengan gerakannya yang cepat dan pesat, sehingga ia bagaikan kupu-kupu yang terbang molos sana molos sini. Disebelah itu, pedangnya pun saban-saban mencari bagian-bagian yang lowong dari anggauta-anggauta lawannya, untuk membalas.
Tanpa merasa, saking cepatnya, pertempuran telah melalui banyak jurus, sesudah mana, Oen Beng San menjadi kelabakan sendirinya. Ia sudah buka mulut besar tetapi buktinya, belum dapat ia rubuhkan lawan ini. Ia jadi ingat bagaimana tongkatnya ini yang dia buat andalan, sudah angkat namanya di Kanglam, belum pernah dia menemui tandingan, tetapi sekarang, ia seperti dilece-lece bocah cilik. Apakah nama baiknya tak akan runtuh karenanya? Oleh karena memikir begini, dalam penasarannya, Beng San ubah caranya berkelahi. Ia jadi berlaku sangat gesit, hingga ia seperti libat lawannya ini dengan tongkatnya itu.
Semua penonton mundur sedikit, mereka merasai sambaran angin tak hentinya. Ada diantaranya yang nyender pada tembok thia, supaya tidak sampai kena kelanggar....
Setelah perubahan sikapnya jago tua itu, Sin Tjie merasa inilah musuh pertama yang paling tangguh yang ia pernah ketemukan. Tak dapat ia dekati lawan, sedang dengan pedang kayunya, tak bisa ia tabas tongkat itu.
"Tidak bisa lain, mesti aku gunai ajaran soehoe," pikir dia akhirnya. Dan lantas ia mulai dengan perubahannya, hingga sekarang ia tampaknya bergerak lambat atau ayal.
Sebagai ahli, Oen Beng San bisa lihat kelambatan bergerak dari lawannya yang muda ini. Ia jadi sangat girang. Ia tidak hendak mensia-siakan ketika lagi. Begitu terbuka ketikanya, ia menyapu dengan hebat.
Nampaknya Sin Tjie sudah lelah, ayal segala gerak-geriknya, akan tetapi ketika pinggangnya disapu, mendadak ia sambar ujung tongkat. Ia menggunai tangan kiri, ia menyekal dengan keras, ia menarik dengan kaget sambil menekan, berbareng dengan mana tangannya yang kanan, yang menyekal pedang-pedangan, menyambar langsung kedepan.
"Bret!" demikian satu suara nyaring, dari pecahnya cita.
Dan bajunya Oen Beng San, tertua ketiga dari Tjio Liang Pay, robek karenanya! Masih Sin Tjie berlaku murah hati, jikalau tidak, ujung pedang pasti sudah menyambar terus kedada! Oen Beng San kaget berbareng ia rasai telapakan tangannya sakit disebabkan gentakan Sin Tjie, karena ia berbelit, ia terpaksa lepaskan tongkatnya jang tercekal keras lawannya itu.
Sin Tjie ada berhati mulia, tak mau ia bikin malu jago tua itu, selagi menarik pulang pedangnya, ia sodorkan tangan kirinya, berikut tongkat ditangannya, akan kembalikan tongkat itu. Kejadian ini dilakukan dengan cepat luar biasa, kecuali ahli silat, jarang ada yang bisa lihat pertukaran tongkat itu.
Sam-yaya itu mendongkol sangat, begitu ia sambuti tongkatnya, begitu ia menyerang pula! Sin Tjie terkejut, ia heran. Orang sudah kalah, kenapa orang masih berlaku begini tidak berkepantasan? Tetapi tidak sempat ia berpikir. Dengan sebat ia egos tubuh kebelakang, dengan lompat mundur sedikit untuk bebeaskan diri dari serangan seumpama bokongan itu.
Masih jago tua itu tidak mau mengerti, ia tarik tongkatnya untuk lagi sekali dipakai menyerang pula. Tapi sekarang berbareng terdengar suara "Ser!" tiga kali, dari mulut naga2an dari tongkat itu melesatlah tiga batang paku baja, menherang kearah tiga penjuru: atas, tengah dan bawah! Djarak diantara kedua orang itu ada dekat, karena serangan senjata rahasia itu membarengi totokan tongkat.
Oen Tjeng kaget, sampai ia berseru diluar keinginannya, hampir ia berlompat kalau tidak ibunya tarik tangannya.
Sin Tjie terkejut, inilah ia tidak sangka. Tapi ia tidak menjadi gugup.
Ia lantas menyampok, beruntun tiga kali. Ia telah menggunai tipu silat "Kong tjiak kay peng" atau "Burung merak buka sajap". Dengan tangkisannya ini semua tiga paku jatuh ketanah. Inilah salah satu kepandaian istimewa dari Hoa San Pay. Setelah itu, ia tidak diam saja, sambil maju setindak, ia tekan ujung tongkat dengan pedang-pedangannya.
Dengan tiba-tiba Oen Beng San merasai tenaga menekan yang berat sekali, sedang itu waktu, ia belum sempat tarik pulang tongkatnya. Rupanya tadi ia percaya ia pasti akan berhasil dengan serangan senjata rahasia itu. Ia mundur, akan tancap kaki, untuk pasang kuda-kuda, guna pertahankan diri.

Pedang Ular Emas (Kim Coa Kiam/Sword Stained with Royal Blood) - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang