"Benar-benar koekoay!" kata ia sambil ngeloyor balik ke perahu. Ia kagumi kepandaian anak muda itu, tetapi ia heran tabeat yang mendelukan tapi juga menggelikan. Terpaksa ia bungkus tumpukan uang itu, untuk dibawa pergi, dari Tek Lin, ia ambil selamat berpisah. Ia pergi kekota, akan cari sebuah hotel.
"Tak lega hatiku jikalau uang ini aku tidak dapat kembalikan kepada si anak muda," ia berpikir selagi ia duduk terpekur dalam kamarnya. "Aku kasihan padanya, sebab itu aku bantu dia,maka jikalau aku terima pemberiannya itu, tidakkah namaku jadi jelek? Dia bilang dia ada orang Tjioliang, kenapa aku tidak susul dia dirumahnya? Jikalau dia tetap menolak, aku nanti letaki uang di rumahnya itu dan tinggal pergi!...."
Karena ini besokannya, setelah cari keterangan tentang jalanan ke Tjio-liang, Sin Tjie gendol bungkusannya, ia menuju ketempat itu, jang terpisahnya dari kota Kietjioe cuma dua-puluh lie, hingga tak ada setengah jam, ia sudah sampai.
Tjio-liang ada satu dusun kecil, yang berdampingan sama bukit Lan Ko San. Nama dusun itu, dan bukitnya juga, mempunyai cerita dongeng sebagai berikut : Di jaman purbakala ada satu tukang kayu yang pergi ke bukit itu mencari kayu bakar. Dia ketemu dua dewa asyik main catur. Dia menonton. Ketika satu babak berakhir dan ia menoleh pada kampaknya, kampak itu "bonyok" sendirinya. Dan ketika ia pulang, rumahnya, orangnya semua, sudah berubah, karena ternyata, dia telah pergi untuk lamanya beberapa puluh tahun. "Lan Ko" berarti "kampak bonyok", demikianlah, gunung itu ada dua puncak yang tersambung satu pada lain dengan satu batu besar dan panjang, yang merupakan penglari. Itu pasti bukan batu buatan manusia dan terpalangnya disitu bukan pekerjaan manusia juga, maka orang-orang tua anggap itu ada buah-kesaktian dewa. Maka itu, tempat itu dipanggil "Tjio-liang" yang berarti "penglari".
Selagi berjalan untuk cari rumah orang she Oen, Sin Tjie berpapasan dengan seorang tani perempuan.
"Enso, numpang tanya, disini dimana tinggalnya keluarga Oen?" tanyanya.
Orang perempuan itu terkejut nampaknya.
"Tidak tahu!" sahutnya. Dan air mukanya berubah tak senang, dia pun lantas berjalan pergi dengan cepat.
Sin Tjie heran, akan tetapi ia jalan terus. Ia sampai pada sebuah toko.
"Numpang tanya disini dimana tinggalnya keluarga Oen?" ia tanya pemilik toko.
"Ada apa saudara tanya keluarga Oen?" balik tanya si tuan toko dengan tawar.
"Aku hendak kembalikan serupa barang," Sin Tjie terangkan.
"Kalau begitu, kau ada sahabatnya si orang she Oen! Habis, untuk apa kau menanyakannya kepadaku?" kata tuan toko itu.
Sin Tjie heran berbareng jengah.
"Kenapa seorang dagang begini kasar kelakuannya?" tanya ia kepada diri sendiri.
Ia ngeloyor, lalu ia hampirkan dua bocah yang lagi memain diujung jalanan. Ia keluarkan sepuluh uang tangtjhie, ia sesapkan itu dalam tangannya satu bocah.
"Saudara kecil, mari antar aku kerumah keluarga Oen!" minta dia.
Bocah itu sudah genggam uang yang diberikan padanya, atau ia segera kembalikan.
"Rumah keluarga Oen? Itu dia yang besar!" jawabnya. "Aku tak sudi pergi kerumah itu!"
Kembali Sin Tjie menjadi heran, akan tetapi segera ia mengerti, rupanya keluarga Oen itu tak disukai sesama penduduk sehingga tak ada orang yang ingin bergaul dengannya. Ia hanya tidak tahu, apa yang menyebabkan kesungkanan itu. Ia segera bertindak kearah rumah besar yang ditunjuk si bocah.
Dari jauh-jauh sudah terdengar suara riuh dari banyak orang, yang datang dari arah rumah keluarga Oen itu, dimana pun berkerumun puluhan orang tani yang pada bawa pacul dan garu. Selagi mendekati, Sin Tjie dengar nyata teriakan mereka : "Kamu telah aniaya tiga orang, apa boleh dengan begitu saja? Orang she Oen, lekas keluar, ganti jiwa!"
Diantara mereka itu ada tujuh atau delapan orang perempuan dengan rambut riap-riapan yang sambil duduk ditanah, menangis menggerung-gerung, dan menjerit-jerit.
"Saudara, kau sedang bikin apa?" tanya Sin Tjie pada satu orang.
"Siangkong ada orang asing, kau tentu tidak tahu kejadian ini," sahut orang yang ditanya itu. "Keluarga Oen ini ada cabang atas disini, mereka menjagoi. Kemarin mereka pergi menagih sewa tanah kekampung. Empeh Thia minta tempo, buat beberapa hari saja, tapi si empeh dijoroki, dia rubuh, kepalanya, kena batu, terus dia binasa. Anak dan keponakan empeh Thia gusar, mereka membelai, tetapi mereka kena dilabrak hingga luka-luka. Coba pikir, siangkong, apa tuan tanah begitu tidak kejam?"
Selagi petani itu memberi keterangan kepada pemuda kita, suara riuh bertambah-tambah, ada orang tani yang gunai garunya menyerang pintu, ada yang jumput batu-batu untuk dipakai menimpuk kedalam pekarangan.
Sekonyong-konyong pintu pekarangan terbuka lebar, satu bayangan melesat keluar, sebelum orang melihat tegas, sudah ada tujuh atau delapan petani yang terpelanting, rubuh jauhnya dua-tiga tumbak, sehingga kepala mereka mengeluarkan darah! "Dia gesit sekali," pikir Sin Tjie. Ia lantas mengawasi.
Bayangan itu ada seorang dengan tubuh kurus dan jangkung, kulit mukanya semu kuning tetapi sepasang alisnya berdiri. Kelihatan nyata, dia mestinya pandai silat.
"Hai, kamu, mahluk-mahluk seperti anjing dan babi!" membentak orang itu. "Kenapa kamu datang mengacau kemari?"
Orang ini menanya demikian, akan tetapi, belum sempat orang jawab dia, dia sudah menyerang pula, hingga lagi beberapa orang terjatuh sungsang-sumbal.
Sin Tjie lihat orang bertenaga besar, dia melempar-lempari orang seperti sedang melempar-lemparkan ikatan-ikatan jerami.
"Entah terkena apa dia dengan Oen Tjeng?..." pikirnya. "Coba itu malam dia ada beserta Oen Tjeng, tentu leluasalah mereka melayani Eng Tjay, sehingga tak perlu aku berikan bantuanku..."
Itu waktu seorang tani dari usia pertengahan dan dua orang muda majukan diri.
"Kamu telah bunuh orang, apa itu dapat disudahi secara begini saja?" tanya mereka. "Memang benar kami ada orang-orang melarat akan tetapi sekalipun melarat, kami mempunyai jiwa!"
Si jangkung-kurus itu tertawa dingin.
"Hm! Hm! Jikalau belum aku mampusi lagi beberapa jiwa, tentu kamu belum tahu rasa!" berseru dia. Mendadak tubuhnya mencelat maju, lantas si orang usia pertengahan kena dicekuk pada bebokongnya, kapan tubuhnya telah diangkat, tubuh itu segera terlempar ke ujung tembok timur! Kedua petani muda menjadi sangat gusar, dengan berbareng mereka menyerang dengan pacul mereka.
Si kurus menangkis dengan tangannya yang kiri, sekejab saja kedua batang pacul kena tersampok lepas dan terpental, menyusul mana, tubuhnya dua petani itu disambar seorang dengan sebelah tangan, lantas diangkat untuk dilemparkan keatas batu besar yang menjadi tunggul tiang bendera dimuka pintu pekarangan.
Sebegitu jauh dia menyaksikan, hati Sin Tjie panas, tetapi ia masih dapat berlaku sabar. Ia pikir tak boleh ia lancang mencampuri urusan yang ia belum tahu duduknya.
"Baik aku tunggu sebentar, nati aku minta bertemu dengan Oen Tjeng, untuk kembalikan uangnya, lantas aku pergi pula," pikirnya. Siapa tahu setelah lihat nasibnya si orang usia pertengahan, ia pun tampak bencana yang mengancam kedua pemuda tani itu, dengan mendadak saja ia ubah pikirannya. Lupa ia segala apa. Mendadak ia berlompat, dengan sangat sebat ia sambuti tubuhnya kedua petani muda itu hingga tak usahlah mereka jatuh terbanting! Kemudian dengan pelahan-lahan, ia turunkan tubuh mereka itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pedang Ular Emas (Kim Coa Kiam/Sword Stained with Royal Blood) - Jin Yong
Fiksi UmumSalah satu karya emas Master Jin Yong. Pedang Ular Emas mengisahkan tentang usaha Sin Ci untuk membalas dendam atas kematian ayahnya. Ayahnya adalah panglima setia namun difitnah oleh para kasim istana sehingga dijatuhi hukuman mati. Ia berhasil did...