Jilid 3

3.3K 31 3
                                    

Besoknya ada Ting Tjioe, harian tanggal lima-belas bulan delapan yang indah, Tiauw Tjong bertiga turut Tjouw Tiong Sioe panjat gunung Lauw Ya San.

Mereka berangkat pagi-pagi, diwaktu tengah hari, sampailah mereka ditengah gunung dimana sudah menantikan belasan orang dengan barang hidangan, untuk semua orang berhenti sebentar, akan bersantap dan minum, untuk sekalian beristirahat, kemudian baharu mereka mendekati terlebih jauh.

Adalah sejak ini, seterusnya, saban-saban ada orang-orang yang menjaga, yang menanya dan memeriksai sesuatu pengunjung. Ketika gilirannya Tiauw Tjong bertiga dimintai keterangan, Tiong Sioe cuma manggut pada si petugas, lantas mereka dikasi lewat tanpa pertanyaan apa jua.

"Sungguh berbahaya!" kata si kongtjoe dalam hatinya. Ia makin insaf pengaruhnya orang she Tjouw ini. Ia girang semalam ia telah pasang omong dengan orang ini yang berpengaruh. Ia hanya belum tahu, apa akan terjadi terlebih jauh.

Diwaktu magrib sampailah semua orang diatas gunung dimana ada beberapa ratus orang yang berbaris rapih, untuk menyambut, mereka itu jangkung dan kate, kurus dan gemuk, tidak rata, semua beroman keren. Satu diantaranya, rupanya yang jadi kepala, maju untuk sambut Tiong Sioe,sesudah mana, sambil bergandengan tangan, mereka sama-sama masuk kedalam sebuah rumah yang besar.
Diatas gunung itu ada terdapat beberapa puluh rumah, yang letaknya berpencaran, yang paling besar adalah rumah tadi, yang mirip dengan sebuah kuil. Tidak ada panggung atau pagar-pagar seperti benteng, hingga keadaan itu tak mirip-miripnya dengan sarang berandal.
Peng Kie tidak sangka bahwa rumah-rumah itu ada demikian sederhana. Ini ada pengalaman baharu bagi ia, yang sudah belasan tahun berkelana. Ia pun tidak mengerti mengenai wajahnya semua orang itu, yang datang dari pelbagai penjuru. Mereka ada sahabat kekal satu dengan lain, pertemuan mestinya menggirangkan mereka, tapi buktinya, orang rata-rata ada berduka dan tak puas.....
Tiauw Tjong bertiga diantar kesebuah kamar kecil, untuk mereka sendiri, sebentar kemudian, ada orang mengantari barang hidangan, ialah nasi serta empat macam sayur dan dua-puluh lebih bahpauw.
"Entah apa yang mereka bakal bicarakan...."begitu Tiauw Tjong dan Peng Kie saling tanya malam itu. Mereka tidak tahu juga, mereka itu bakal lakukan apa.
Besoknya ada Peegwee Tjaplak - tanggal enam-belas bulan delapan, Tiauw Tjong dan Peng Kie bangun pagi-pagi, setelah bersihkan diri dan sarapan, mereka keluar akan jalan-jalan ditepi gunung. Ini kali mereka lihat juga orang-orang dengan kepala atau muka bercacat, kurang tangan atau kaki, suatu tanda dari medan pertempuran. Mereka tidak ingin terbitkan gara-gara, maka lekas-lekas mereka kembali kekamar mereka, terus mereka tak keluar lagi.
Siang itu, sampai sore, barang makanan tetap sama seperti paginya, sayur melulu, hingga Peng Kie mendumel dalam hatinya : "Celaka, orang desak aku dengan ini macam hidangan yang tawar melulu!...."
Mendekati malam, seorang datang kekamarnya Tiauw Tjong.
"Tjouw Siangkong undang kamu ke pendopo untuk saksikan upacara," kata dia, yang menyampaikan undangan.
Tiauw Tjong dan Peng Kie, yang sudah dandan, lantas ikut keluar.
Hauw Kong hendak turut majikannya, tapi si pengundang tolak dia.
"Saudara cilik, kau tidur saja siang-siang," katanya.
Tiauw Tjong lewati beberapa rumah batu, baharu mereka sampai di kuil, yang pakai nama Tiong Liat Soe, tulisannya bagus dan keren.
"Entah kuil siapa ini," pikir Tiauw Tjong, menduga-duga. Bersama Tiong Sioe ia ikut masuk terus kedalam. Di serambi, dikiri dan kanan, ada banyak para-para senjata dengan pelbagai macam senjatanya, delapan-belas rupa, yang semua terawat baik, bersinar bergemirlapan.
Di pendopo sudah berkerumun banyak sekali orang, barangkali dua atau tiga-ribu, yang memenuhi ruangan yang luas.
Tiauw Tjong dan kawannya heran kenapa digunung itu bisa berkumpul demikian banyak orang.
Di tengah ruangan, Tiauw Tjong lihat satu patung yang beroman sebagai satu panglima perang, kopiahnya kopiah perang emas, jubahnya jubah perang berlapis baja, tangan kirinya mencekal pedang kebesaran, Siang-hong Poo-kiam, dan tangan kanannya memegang leng-kie, bendera titah.
Patung itu punyakan muka yang kecil dan bersih tapi keren romannya, kumis-jenggotnya tiga aliran,matanya memandang kedepan, sinarnya rada guram, seperti orang berduka. Dikedua sampingnya ada masing-masing sebaris sin-wie.
Karena ia berdiri jauh, Tiauw Tjong tidak dapat baca tulisan namanya patung itu.
Diempat penjuru ruangan dikibarkan banyak bendera, disitu pun kedapatan banyak kopiah perang, pelbagai alat senjata dan pakaian kuda, dan benderanya beraneka-warna, ada yang bertuliskan huruf-huruf. Disini pun semua roman ada berduka, hingga Hauw Kongtjoe jadi sangat bingung.
Akhir-akhirnya, berbangkitlah satu orang jangkung-kurus, yang duduk disamping patung, ia sulut lilin, ia pasang hio, lalu ia serukan : "Mulai sembahyang!"
Semua orang berlutut serentak, maka Tiauw Tjong dan Peng Kie pun turut tekuk lutut.
Tjouw Tiong Sioe maju kemuka, untuk angkat tjee-boen, untuk dibacakan.
Peng Kie tidak mengerti bunjinya tjee-boen itu, tidak demikian dengan Tiauw Tjong, yang heran dan kaget, hingga ia keluarkan keringat dingin. Disitu pemerintah Boan dicaci habis, dan kaisar Tjong Tjeng pun tidak dikasi hati, kaisar ini dkatakan tolol dan tak dapat membedakan kansin dari tiongsin, antara dorna dan menteri setia, merusak Negara, melulu menjadi orang berdosa antara cucu-cucunya Oey Tee. Lebih jauh, Beng Thay-houw sendiri turut dicela sebab sudah membunuh Tjie Tat, Na Giok dan Lauw Kie, menteri2 berjasa. Yan Ong pun dimaki sebagai penyiksa rakyat dan Hie Tjong sebagai pekakas orang kebiri, karena banyak menteri besar sebagai Him Teng Pek kena dihukum mati. Tjong Tjeng dikatakan sewenang-wenang, sudah celakai "jendral" mereka, jendral (Goan-swee) yang gagah dan berjasa besar.

Pedang Ular Emas (Kim Coa Kiam/Sword Stained with Royal Blood) - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang