Jilid 11

1.7K 23 0
                                    

"Rupa-rupanya dia kuatir aku nanti berlaku nekat pula, selama dua hari terus-terusan dia jaga aku," Oen Gie bercerita lebih jauh. "Dia matangi sendiri bahan makanan, untuk aku dahar. Aku melainkan menangis, tidak sudi aku layani dia. Hari ketiga lewat, datang hari keempat. Dalam empat hari saja, aku telah jadi kurus bukan main. Ia masaki aku daging kuah, dengan sabar ia bujuki aku untuk dahar daging kuah itu. Tetap aku tidak perdulikan padanya. Tiba-tiba dia jambak aku, untuk bikin kepalaku melenggak, hidungku terus ditutup, sesudah mana, selagi mulutku terpentang, dia paksa cekoki kuah daging itu. Secara demikian, mau atau tidak, aku kena tenggak separuh dari isinya mangkok. Baharu setelah itu, ia tidak jambak pula padaku. Dengan sengaja aku sembur mukanya, aku ingin bikin dia gusar, supaya dia bunuh aku, sebab tak ingin aku nanti diperkosa dia, tak sudi aku diperlakukan sebagai kedua enso, yang dijual pada rumah hina. Sedikitpun ia tidak gusar, ia tertawa saja. Dengan sabar ia susuti mukanya, ia awasi aku dengan diam saja, baharu kemudia dia menghela napas."
"Malam itu dia rebahkan diri dimulut gua.
"Aku hendak nyanyikan satu lagu, apa kau suka dengar?" dia kata padaku.
"Aku tidak suka dengar," aku jawab dia.
Dengan tiba-tiba dia kegirangan hingga dia lompat berjingkrakan.
"Aku sangka kau gagu, kiranya kau bisa bicara!" katanya gembira.
"Diluar keinginannku, aku tertawa. Aku anggap lucu yang dia sangka aku tidak bisa bicara. Kemudian secara mendamprat, aku kata padanya: "Siapa yang gagu? Bertemu sama orang jahat, aku memang tidak sudi bicara!"
"Dia tidak layani aku bicara, sebaliknya dengan suara muluk, dia nyanyikan satu lagu pegunungan. Dia nyanyi terus, sampai lanjut malam, hingga sang rembulan muncul dengan keindahannya. Masih saja dia bernyanyi. Seumurku, aku hidup terkurung didalam rumah, mana pernah aku dengar nyanyian semacam itu? Itulah nyanyian percintaan diantara orang-orang lelaki dan perempuan...."
"Kau tidak sudi dengarkan tapi toh kau dengari, bukan?" mendadakan Oen Lam Yang campur bicara. "Siapa mempunyai kesabaran akan dengarkan cerita burukmu ini?"
Lantas dia bertindak keluar paseban, tindakannya lebar.
"Tentu dia pergi untuk mengadu pada yaya semua," kata Tjeng Tjeng.
"Biar saja, aku tidak takut!" sahut Oen Gie.
"Kalau begitu,ibu, hayo lanjuti ceritamu," sang puteri minta.
"Kemudian lagi, dengan lapat-lapat aku ketiduran sendiri," Oen Gie melanjuti. "Besoknya pagi aku mendusi, aku tidak lihat dia. Aku lantas memikir untuk minggat. Tapi setelah aku melongok kemulut gua, aku putus asa. Gua itu berada dipuncak bukit, disebuah lamping, diempat penjurunya, tidak ada jalanan untuk turun. Cuma orang-orang sebagai dia, yang sempurna ilmu silatnya dan bisa ilmu mengentengkan tubuh, bisa naik dan turun dengan merdeka.
"Kira-kira tengah-hari, dia pulang. Dia bawakan aku banyak barang perhiasan, yantjie dan pupur. Aku tidak inginkan itu, aku jumput, aku lemparkan kedalam jurang. Dia tidak gusar, malah dia gembira sekali."
"Kapan sang malam sampai, kembali dia bernyanyi untukku."
"Dilain harinya, dia pergi untuk kembali dengan bawakan aku banyak barang mainan, antaranya anak ayam yang berciap-ciap dan anak kucing yang mengeong-ngeong, juga anak burung dan anak kura-kura yang merayap pergi-datang. Tentu saja tak tega aku akan lemparkan semua binatang itu kedalam jurang. Dia rupanya ketahui perasaanku itu. Maka hari itu, terus seantero hari, dia temani aku memain dengan keempat binatang itu, yang kita pun kasih makan. Malamnya, kembali dia nyanyi untuk aku dengari."
Melihat yang dia tidak niat ganggu aku, aku menjadi sedikit lega, hingga aku jadi suka juga dahar. Hanya sampai lebih dari satu bulan, tetap aku tidak suka bicara dengannya. Meskipun demikian rupa sikapku terhadapnya, tidak pernah dia hunjuk kegusarannya, terus-menerus dia bersikap lemah-lembut terhadapku. Sekalipun ayah dan ibuku belum pernah berlaku baik sebagai dia terhadap aku."
"Adalah pada suatu hari ketika dengan sekonyong-konyong datang perubahan atas dirinya. Dengan tiba-tiba saja dia awasi aku dengan rupa bengis dan sikap mengancam, hingga aku jadi ketakutan, hingga aku menangis."
"Dia awasi aku sekian lama, lantas ia menghela napas sendirinya.
"Sudah, jangan nangis," dia bujuk aku akhirnya.
"Pada malam itu aku pergoki dia menangis seorang diri, suaranya pelahan sekali, akan tetapi aku tahu, dia menangis dengan sangat sedih. Dia menangis diluar gua. Apamau, malam itu turun hujan.
Dia tidak mau masuk kendati juga hujan turun dengan lebat. Aku jadi tidak tega.
"Mari masuk," aku kata padanya.
Dia tidak perdulikan ajakanku itu.
"Kenapa kau menangis?" aku tanya pula.
"Secara mendadak saja dia menyahuti, dengan bengis : "Besok adalah hari ulang setahun dari matinya ayah, ibu, encie dan kedua kandaku! Dalam itu satu hari saja, seluruh keluargaku musnah terbinasa dalam tangannya seorang dari keluargamu! Maka besok aku mesti bunuh lagi orang keluargamu, sedikitnya mesti satu jiwa! Sekarang ini rumahmu dijaga sangat keras dan kuat! Keluargamu sudah minta bantuannya Lie Tjwee Toodjin dari Ngo Bie Pay dan Tjeng Beng Siansoe dari Siauw Lim Pay! Tapi aku tidak takut!"
"Habis mengucap demikian, dia lantas pergi. Dia pergi sampai magrib dihari yang kedua, masih dia belum kembali. Tanpa merasa aku jadi senantiasa ingat dia. Diam-diam aku meng-harap-harap pulangnya dia."
Diam-diam Tjeng Tjeng lirik Sin Tjie, akan lihat orang memandang hina atau tidak kepada ibunya itu,akan tetapi ia dapati pemuda itu duduk dengan tetap tenang dan perhatiannya sangat tertarik. Menampak demikian, diam-diam ia merasa girang.
Oen Gie melanjuti :
"Selagi cuaca mulai menjadi gelap, dia masih belum kembali juga. Dua-tiga kali aku telah melongok kemulut gua. Ketika untuk keempat kalinya aku melongok pula, aku tampak tubuh empat orang diatas puncak, kelihatannya bagaikan bayangan saja. Mereka itu sedang saling kejar."
"Aku coba mengawasi dengan teliti, maka akhirnya, dengan samar-samar, bisa juga aku mengenalinya. Orang yang terdepan adalah dia, lalu satu imam, disusul sama satu pendeta yang menyekal sebatang sian-thung, tongkat yang panjang sebagai toya. Orang yang keempat ada ayah dengan senjatanya yang istimewa, tongkat berkepala naga-nagaan. Dia sendiri cekal pedang Kim Tjoa Kiam. Sendirian saja dia layani tiga lawan, nampaknya dia terancam bahaya. Sebab sesampainya dipuncak itu, mereka lantas bertempur."
"Sekarang aku dapat melihat terlebih tegas. Pendeta yang bersenjatakan tongkat itu liehay sekali, ia dapat mendesak, akan akhirnya mengemplang dengan tongkatnya itu. Aku kaget hingga aku menjerit, sebab aku lihat dia telah sangat terdesak, aku kuatir dia tak dapat menghalau bahaya. Tapi dengan pedangnya, dia bisa menangkis, malah tangkisa itu membuat sapat ujungnya tongkat."

Pedang Ular Emas (Kim Coa Kiam/Sword Stained with Royal Blood) - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang