Jilid 8

2.2K 28 0
                                    

Si kurus ini tidak lihat Sin Tjie sudah sadar, dua kali dia perdengarkan tertawanya yang seram, lantas dia sentil sumbu lilin, untuk dibuang ujungnya, hingga apinya menjadi menyala terang sekali. Dia hampirkan meja, untuk balik lembarannya kitab "Kim Coa Pit Kip", lantas ia membaca. Suara bacaannya menyatakan ia ada sangat gembira dan puas, tubuhnya pun bergerak-gerak sedikit.
Beberapa lembaran pula dibalik, antaranya ada halaman yang seperti nempel, lantas ia tempelkan jari tangannya di lidahnya, untuk dengan jari yang basah, bisa ia buka lembaran itu. Ia menyolet ludah di lidahnya sampai beberapa kali.
Sin Tjie tetap mengintai, sampai tiba-tiba ia ingat, kitab itu ada racunnya. Dia duga, si kurus ini tentu bakal keracunan. Tanpa merasa, saking kaget, ia perdengarkan seruan tertahan.
Si kurus dengar suara orang, ia menoleh dengan segera justru Sin Tjie sedang buka kedua matanya, maka dapatlah ia lihat sinar mata yang seperti ketakutan dari si anak muda. Ia lantas berbangkit, dengan tindakan pelahan, ia hampirkan tubuhnya si kepala gundul, untuk cabut pisau belati dari bebokongnya korban itu. Habis ini, dia dekati dua tindak pada Sin Tjie.
"Kita berdua tidak bermusuhan akan tetapi hari ini tak dapat aku beri ampun padamu!" kata dia dengan suara bengis, kedua matanya pun bersinar mengancam, kemudian sembari angkat pisau belatinya, ia tertawa secara iblis, sampai dua kali.
"Jikalau aku lantas bunuh kepadamu, sampai di akhirat, kau nanti belum tahu sebab-musababnya," berkata dia, yang sikapnya sangat mengancam. "Aku ada Thio Tjoen Kioe dari Tjio Liang Pay dari Kie-tjioe, Tjiatkang. Pihak kami Tjio Liang Pay dengan Kim Coa Long-koen ada musuh mati-hidup. Dia telah perkosa satu adik perguruan kita jang perempuan, dia kabur kemari, untuk belasan tahun kami cari dia ubak-ubakan, siapa tahu, warisannya telah terjatuh kedalam tanganmu, bocah! Entah ada hubungan apa kau dengan Kim Coa Long-koen, yang terang kau pasti bukan orang baik-baik, maka itu, jikalau aku binasakan kau, tak nanti kau penasaran, tapi umpama kau hendak menuntut balas setelah kau jadi hantu, kau boleh cari aku di Kie-tjioe! Ha-ha-ha-ha!..."
Si kurus ini belum tutup mulutnya atau sekonyong-konyong dia limbung, tubuhnya sempoyongan kearah si anak muda.
Sin Tjie kaget, ia tahu ini adalah saat mati atau hidupnya, dalam saat bahaya itu, ia kerahkan tenaganya, ia berontak, hingga belengguannya pada putus, bambunya menerbitkan suara nyaring, setelah mana dia berlompat maju, untuk mendahului menyerang.
Tiba-tiba orang itu terjengkang, terus tubuhnya rubuh sendirinya.
Sin Tjie heran, walaupun ia batal menyerang, ia toh lantas bersiap. Ia cekal sisa tambang, untuk digunakan sebagai senjata. Ia bertindak mendekati, untuk melihat tegas.
Si kurus-kering itu kejutkan dua kakinya, lantas seluruh tubuhnya diam, tak berkutik lagi, menyusul mana dari kedua matanya, dari hidungnya, dan kupingnya, terutama dari mulutnya, lantas mengalir keluar darah hidup yang hitam. Maka sekarang teranglah dia telah mati keracunan, racun yang berbisa dari halaman-halaman kitab Kim Coa Long-koen, yang tadi dikenakan jari tangannya si kurus sendiri.
Segera Sin Tjie loloskan semua libatan tambangnya, lantas ia lari keluar kamarnya, kekamar luar dimana ia dapatkan A Pa sedang terbelenggu, kedua matanya terbuka lebar, tubuhnya tak bergeming. Maka ia lantas tolong si gagu itu.
Juga disitu Tay Wie dan Siauw Koay pada menggeletak, melihat mana, Sin Tjie berkuatir sekali, ia kuatir kedua binatang piaraannya itu telah terbinasa karena tangan jahat musuh. Ia lantas cari air, dengan itu ia banjur dua orang hutan itu.
Tidak antara lama, kedua binatang itu mulai berkutik kaki tangannya, tandanya keduanya sudah sadar, hingga hati majikannya jadi lega.
"Apa jang telah terjadi?" tanya Sin Tjie kepada A Pa.
Si empeh gagu, dengan tanda-tanda tangannya, tuturkan bahwa ia kena dibokong hingga ia jadi tertawan tanpa berdaya.
Sin Tjie mengerti, ia tidak bilang suatu apa.
Besoknya, setelah terang tanah, kedua mayat dibawa keluar, untuk dikubur, sesudah mana, Sin Tjie pun lempar peti besi yang besar itu kedalam lobang kuburan itu. Ia anggap itu adalah peti pembawa bencana.
Malamnya, sedang beristirahat, Sin Tjie bergidik sendirinya apabila ia bayangi pengalamannya yang sangat berbahaya itu.
Tatkala peti besi didapatkan, bocah ini baru berumur dua-belas tahun, berselang delapan tahun, hingga sekarang ia jadi satu pemuda, ia telah lupakan peti besi itu, akan tetapi sekarang, melihat si pendeta dan si kurus demikian inginkan peti besi itu, hatinya jadi bercekat.
"Mestinya Kim Coa Pit Kip ada berharga sekali," ia menduga-duga. "Kenapa mereka mencari terus-terusan sampai lima-belas tahun? Kenapa mereka jadi adu jiwa karenanya? Apakah itu yang tertulis dalam kitab tersebut?"
Lama Sin Tjie terganggu oleh semua itu, akhirnya ia seret keluar peti besi yang kecil, jang ia letaki dikolong pembaringan, disebelah dalaman peti jang besar. Sebab ditaruh disebelah dalaman, peti ini kealingan dan jadi tak terlihat si pendeta, perhatian siapa sebaliknya telah ditumplak semua kepada peti yang besar itu terutama isinya. Peti ini telah bergala gasi dan berdebu. Dari dalam peti ini, ia keluarkan kitab yang tulen. Ia balik-balik halamannya, untuk memperhatikan semuanya dengan sungguh-sungguh. Dalam hal ilmu pukulan dan mainkan senjata rahasia, buku itu beda dari pelajarannya Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang Toodjin, beda dalam hal "kelicinannya".
"Hampir saja aku bercelaka ditangan manusia jahat," pikir dia sambil terus perhatikan isi kitab itu. "Kalau nanti aku berkelana, bagaimana aku mesti layani orang-orang semacam si kurus dan si gundul ini? Kenapa aku tak mau yakinkan ini, sedikitnya untuk pembelaan diri? Sebagai tambahan pengetahuan, ini pun pasti ada berharga sekali?..."
Karena memikir begini, Sin Tjie segera membaca dengan teliti, ia perhatikan gerak geriknya peta. Tiga hari ia membaca terus menerus, ia dapat kenyataan bagaimana bedanya itu dengan pengajaran gurunya, malah tak pernah ia dengar gurunya menuturkan tentang ini macam ilmu silat yang asing baginya. Tapi ia cerdik, otaknya cerdas, walaupun tanpa guru dengan membaca saja, kemudian ia dapat jalankan pelbagai ilmu pukulan menurut kitab tersebut. Hanya ketika ia menyakini sampai dihari kelima, ia hadapi kesukaran, ialah dibagian pelajaran tanpa peta.

Pedang Ular Emas (Kim Coa Kiam/Sword Stained with Royal Blood) - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang