Jilid 20

1.7K 21 0
                                    

Selama dalam perjalanan orang tidak nampak rintangan sesuatu, apabila rombongan Sin Tjie pada suatu hari sampai di kota raja, waktu itu sudah di akhir musim rontok dan musim dingin telah datang menggantikannya. Segera Sin Tjie bekali sejumlah uang kepada Ang Seng Hay, akan minta pengikut ini pegri beli rumah besar di gang Tjeng-tiauw-tjoe yang berada dekat dengan Tjie Kim Shia, Kota Terlarang. Rumah-tangga yang besar dan mewah dibutuhkan untuk bisa bergaul sama orang-orang ternama atau berpangkat besar di kota raja itu. Adalah harapan mereka agar dapat dipakai oleh Giam Ong.

Tjeng Tjeng repot bukan main ketika itu hari ia kepalai orang membersihkan dan mengatur gedung mereka, supaya bisa terkapur bersih dan terhias menyenangkan mata. Sin Tjie sendiri gunai tempo akan pesiar di dalam kota, di jalan-jalan utama, untuk saksikan keadaan dan suasana. Demikian ia tampak penjagaan yang keras, terutama barisan dari Hoe-pouw, kementerian keuangan dan penduduk. Kemudian ia dengar orang omong, penjagaan itu berhubungan dengan kedatangannya angkutan uang negara dari Selatan. Karena ini, ia menaruh perhatian lebih jauh, ia berdiri di tempat kejauhan, untuk memasang mata.

Sekonyong-konyong terlihat dua bayangan loncat dari genteng Gudang Negara, cepat sekali gerakannya, keduanya berlari-lari ke ujung timur-utara gedung itu, lalu lenyap.
Pemuda ini heran mengapa di siang hari bolong orang berani manjat Gedung Negara. Segera ia menerka kepada orang jahat. Ia lantas ingin ketahui, siapa adanya dua bayangan itu. Ia menduga kepada orang-orang kosen. Tapi ketika ia menyusul ke ujung timur-utara itu, ia tidak lihat siapa juga kecuali sebuah jalanan dan jalanan ini sepi. Ia lantas lari, untuk coba menyusul. Malah ia lari keras menggunai ilmu entengkan tubuh pengajarannya Bhok Siang Toodjin.

Berlari-lari belum lama, Sin Tjie lihat dua orang berlari-lari di sebelah depan. Karena ini, ia entengi tindakannya, supaya orang tidak dapat dengar dan nanti menoleh, untuk curigai dia.

Selagi datang mendekati, Sin Tjie dapatkan dua orang itu bertubuh kecil dan kate, pakaiannya serba merah, kepala mereka masing-masing berkuncir. Dilihat dari belakang, mestinya mereka ada bocah-bocah umur tiga-atau empat belas tahun. Pundak mereka itu masing-masing menggendol sebuah bungkusan yang nampaknya berat, sebab tindakan kaki mereka yang antap.

"Mesti mereka telah curi uang negara," menyangka Sin Tjie. Ia kagumi keberanian dan kegesitan luar biasa dua anak-anak itu. Di pihak lain, ia tertawa untuk ketololannya beberapa serdadu penjaga pintu kota itu.
Tujuh atau delapan lie dari pintu kota, adalah sawah dan tegalan belaka. Di sini kedua bayangan itu menghampirkan sebuah rumah besar, begitu sampai, mereka melompati tembok dan lenyap di sebelah dalam gedung.

Sin Tjie mendekati, untuk lihat tembok pekarangan yang hitam gelap, tingginya kira-kira dua tumbak, tidak ada pintunya. Ia coba jalan mutar tapi masih ia tidak lihat pintu, untuk masuk atau keluar. Aneh! Gedung apa itu?

Didorong perasaanya ingin tahu, Sin Tjie loncat naik ke tembok. Tidak sembarang orang bisa lompat naik atas tembok itu. Di dalam pekarangan ada lagi selapis tembok, yang temboknya putih terang. Tapi kembali, tembok ini tidak mempunyai pintu.
Oleh karena penasaran, Sin Tjie lompat, untuk lintasi tembok putih ini. Tembok ini ada lebih tinggi kira-kira tiga kaki. Tak sembarang orang dapat melompatinya.

Sesampainya di dalam, keheranan Sin Tjie bertambah. Nyata di hadapannya ada sebuah tembok lagi, yang terlebih tinggi pula, yang warnanya biru. Kemudian keheranannya memuncak apabila lagi-lagi ia dapatkan dua lapis tembok, masing-masing kuning dan merah, setiap kalinya, tembok ada lebih tinggi tiga kaki. Maka sama sekali, lima lapis tembok itu sudah jadi tiga tumbak lima kaki tingginya.
Maka, untuk bisa panjat tembok yang kelima ini, Sin Tjie mesti gunai ilmunya "Pek-houw yoe tjhong kong" atau "Cicak merayap di tembok", tubuhnya nempel di tembok, kedua kaki dan tangannya bekerja.

"Pasti kedua bocah itu tidak punyakan kepandaian melompati tembok ini apapula dengan bawa buntalan berat," pikir pemuda ini. "Mesti ada pintu rahasia di sini. Aku tidak kenal tuan rumah, tidak leluasa untuk aku masuk terus. Baik aku cari saja pintu rahasia itu...."

Pedang Ular Emas (Kim Coa Kiam/Sword Stained with Royal Blood) - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang