Part 1

7.3K 296 23
                                    

Krrriiinnnnggg.....bunyi jam weker disamping tempat tidurku berbunyi dengan sangat nyaring hingga memekakan telingaku.

Dengan satu tangan aku meraih jam weker tersebut dan melemparnya menjauh dariku hingga dia tak lagi berbunyi. Entah jam weker ke berapa yang aku lempar dibulan ini.

Aku kembali melanjutkan tidurku dan menyambung mimpiku bertemu dengan pangeran berkuda putih. Sang pangeran yang selalu menjadi impian setiap gadis di dunia ini.

Tok....tok....tok....terdengar suara sepatu yang beradu dengan lantai begitu kerasnya merusak mimpiku bertemu dengan sang pangeran impian.

Aku menutup telingaku dengan bantal dan kembali menggulung badanku dengan selimut yang sangat tebal. Aku masih berharap sang pangeran menungguku di alam mimpi sana.

"Cleo...." terdengar suara mama berteriak dari pintu kamarku.

Aku tetap menutup telingaku dengan bantal dan semakin menggulung badanku dengan selimut. Aku pura-pura tak mendengar teriakan mama di pintu.

Terdengar langkah kaki mama menuju jendela diseberang tempat tidur. Srreeeetttt......mama membuka gording jendela kamarku sekaligus.

"Bangun kamu Cle," teriak mama.

"10 menit lagi mah," jawabku dari balik bantal.

"Lihat jam berapa ini?" tanya mama masih dengan nada suara tinggi.

Ini adalah kebiasaan rutin mamaku setiap pagi. Dia akan membangunkanku dengan berteriak-teriak dan aku akan menjawabnya dari balik selimut dengan jawaban, "10 menit lagi mah".

Aku tak menghiraukan mamaku yang masih berteriak menyuruhku bangun. Aku terus saja menggulungkan badanku dengan selimut.

Dan......sekaligus mama menarik selimut yang aku pakai. Kalau sudah begini tidak ada ampun lagi dari mama. Mau tidak mau aku harus bangun dan berjalan ke kamar mandi.

"Kamu itu seorang gadis Cle, masa kelakuanmu akan seperti ini terus?" kata mama sambil berteriak-teriak dan aku asyik berendam di kamar mandi.

Aku tak pernah menghiraukan apa pun yang dikatakan mamaku. Karena setiap pagi kata-kata mama akan tetap sama seperti itu.

"Ya ampun Cleo...." teriak mama dengan sangat keras dan kelihatannya sangat kesal pula.

"Ada apa sih mah teriak-teriak?" tanyaku dari dalam kamar mandi.

"Jam weker kamu kenapa dibanting lagi?" tanya mama.

"Berisik mah wekernya gak mau diam jadi aku banting saja," jawabku enteng.

"Sudah habis berapa kamu jam weker bulan ini?" tanya mama lagi.

"Palingan baru 20 mah," jawabku.

"Cleo masa setiap hari kamu hancurin jam weker, masa mama dan papa harus buat stock weker di rumah?" kata mama.

"Gak apa-apa mah sekalian mama dan papa buat pabrik jam weker saja, kan lumayan tu penghasilannya," kataku dari dalam kamar mandi.

Tidak ada lagi suara mama menjawab perkataanku, itu artinya mama sudah pergi dari kamarku. Aku semakin asyik berendam tubuhku.

Lagu "Hallo" dari Karmin memaksaku untuk segera mengakhiri acara berendamku dan segera mengangkat telpon masuk.

"Ya Hallo," kataku sambil memilih pakaian yang akan aku kenakan.

"Cle....aku lihat Jimmy nganter cewe' lain," kata Riana, sahabatku.

"Biarkan sajalah," jawabku enteng.

"Cle, ni masih pagi lho masa dia sudah main antar cewe' lain, diakan pacarmu," kata Riana.

"Ya biarkan saja Ri, aku tak peduli," kataku.

"Tapi Di...." kata Riana.

"Sudahlah, aku harus segera bersiap berangkat ke kantor sebelum mama masuk kamar lagi," kataku lalu menutup telpon.

Aku segera mematutu diri dihadapan cermin dan bersiap berangkat ke kantor. Akan menjadi suatu masalah yang sangat besar jika aku sampai telat masuk kantor walau itu adalah kantor orang tuaku sendiri.

"Permisi non," kata seorang pelayan.

"Tolong bereskan semuanya dan belikan jam weker baru," kataku.

"Baik non," katanya.

Aku segera melangkahkan kakiku menuruni anak tangga yang tersusun rapi. Dari atas aku melihat kedua orang tuaku tengah sibuk dengan beberapa berkas kantor.

Suatu pemandangan yang sudah biasa sejak aku masih sekolah dulu. Mereka selalu sibuk dengan urusan pekerjaan mereka dari pagi hingga malam.

Satu-satunya perhatian yang diberikan mama hanya ketika aku bangun pagi saja, selebihnya terserah aku. Mereka hanya tahu memberiku uang dan uang, seakan semua yang ada di dunia ini hanya berpatokan pada uang saja.

Aku melewati mereka yang masih sibuk dengan berkas-berkasnya dan segera menuju ruang makan. Aku mengambil sepotong roti isi dan segelas susu untuk sarapan.

Sarapan seorang diri adalah hal biasa untukku. Ya....orang tuaku memang ada disini, ada di rumah, ada di hadapanku, tapi mereka tak pernah sarapan denganku.

Mereka selalu membawa sarapan mereka ke ruang keluarga atau ke ruang kerja mereka sambil membuka file-file pekerjaan mereka. Lagi-lagi dn lagi semua soal uang, bukan mengenai kebersamaan.

"Mang Udin..." teriakku menggema di rumah yang cukup besar ini.

"Cle....kamu bisa gak sih gak berteriak?" tanya papa.

Aku seaungguhnya sengaja melakukan itu agar kedua orang tuaku menyadari bahwa ada aku disini, bukan hanya ada file dan arsip-arsip pekerjaan mereka saja.

Tapi tanggapan mereka setiap hari selalu sama, 'bisa gak sih gak teriak'. Rasanya bosan aku mendengar kata-kata itu setiap hari.

"Ada apa non?" tanya Mang Udin.

"Mobilku sudah siap?" tanyaku.

"Sudah non, ini kuncinya," jawab Mang Udin sambil menyerahkan kunci mobil.

"Kamu pakai mobil yang mana Cle?" tanya mama.

"Ferari," jawabku singkat.

Aku sangat menyukai mobil sport yang satu ini. Mobil ini bisa membawaku dengan cepat sampai di kantor. Dan mobil ini bisa aku ajak ngebut saat aku sedang muak dengan semua kehidupanku.

"Jangan ngebut...." teriak papa.

Aku segera masuk ke balik kemudi mobil berwarna merahku. Mobil yang diberikan papa sebagai hadiah kelulusanku dari universitas dengan nilai cumload.

Perlahan aku menjalankan mobilku meninggalkan halaman rumah. Seharusnya aku hari ini ke kantor, tapi ditengah jalan aku memikirkan hal lain hingga aku membelokkan mobil ke arah yang berlawanan dengan kantor.

Aku menghentikan mobilku didekat sebuaj danau yang masih begitu asri. Rasanya tempat ini bisa membuatku tenang dan menghilangkan semua rasa kesalku pada kedua orang tuaku.

Aku tak pernah dapat mengungkapkan kekesalanku pada mereka. Karena setiap kali aku berbicara mengenai sikap mereka maka jawaban mereka adalah, 'papa dan mama kerja buat kamu Cle'.

Shit.....apa dalam otak mereka hanya ada dua kata, kerja dan uang? Apa aku tak pernah berarti buat hidup mereka?

Tanya itu selalu ada dalam benakku tapi tak pernah menemukan jawabannya. Seolah itu hanya tercipta menjadi sebua pertanyaan saja dan tak boleh menuntut jawaban.

Aku duduk berselonjor kaki ditepi danau. Aku tak menghiraukan jika pakaian kerjaku akan kotor dengan tanah. Seperti kata mama, 'kalau kotor beli saja yang baru'. Seakan semua cukup dengan membeli yang baru.

"Angkat tangan jangan bergerak," kata seseorang dari belakangku sambil menodongkan pistol.

CLEOPATRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang