Part 24

1.8K 151 16
                                    

Aku melangkahkan kakiku menyusuri koridor rumah sakit dimana mama di rawat. Aku berharap jika mama akan baik-baik saja.

Hatiki sangat mengkhawatirkan kondisi mama setelah riana memberi obat yang bisa membunuh mama seandainya kami telat menanganinya.

"Mama dimana Dra?" tanyaku pada Indra yang sedari tadi menemaniku.

"Menurut laporan mamamu ada di ICU,"

ICU? Kata itu selalu menjadi momok yang menakutkan bagiku. Karena bagaimana pun sebelum papa meninggal, papa di rawat di ruang ICU.

Aku semakin mempercepat langkahku bahkan cenderung berlari. Aku sangat takut jika mama akan mengalami hal yang sama dengan apa yang papa alami. Aku takut kehilangan mama.

Saat sampai di depan ruang ICU, aku melihat dokter baru saja keluar dari ruang ICU. Aku segera menghampirinya untuk menanyakan kondisi mama.

"Bagaimana kondisi mama saya dok?" tanyaku.

"Ibu Wiliams sudah melewati masa kritisnya, kami hanya tinggal menunggu perkembangannya. Jika sampai besok sore beliau menunjukkan perkembangan yang signifikan, bisa dipindahkan ke ruang rawat," jawa dokter.

"Boleh saya masuk?" tanyaku.

"Silahkan, tapi jangan di ajak komunikasi dulu, biarkan Ibu Wiliams istirahat," jawab dokter lagi.

"Baik dok," kataku.

Setelah dokter berlalu dari hadapanku, aku segera melangkahkan kakiku memasuki ruang ICU. Aku ingin melihat kondisi mama dengan mata kepalaku sendiri.

Aku melihat mama terbaring dalam tidurnya yang begitu tenang. Beberapa alat masih terpasang di dadanya, dan tentu saja selang oksigen masih terpasang untuk membantu pernafasannya.

Aku berjalan ke arahnya dan duduk di sampingnya. Kugenggam tangannya erat dan sebulir air mata jatuh membasahi pipiku. Aku sungguh tak kuasa menahan air mataku ini.

Mama menjadi seperti ini semua karena aku. Aku yang telah mempercayakan mama pada Riana, dan itu adalah kebodohanku.

Aku terlalu mudah percaya pada orang lain padahal kondisiku saat ini sangat riskan. Setiap orang bisa saja jadi tersangka dalam peeroran yang aku alami.

Dan ya semua terbukti, sahabatku sendiri yang telah melakukan semua ini. Mereka orang yang sangat aku percayai justru mereka pula yang melukai hatiku.

"Cle...biarkan mamamu istirahat," kata Indra sambil menepuk pundakku.

Aku berbalik menatapnya dalam. Aku beranjak dari dudukku dan langsung memeluknya. Sebuah pelukan tanda terima kasihku padanya.

Ya, dia yang dulu aku benci tapi justru dia yang telah menolongku, menyelamatkan hidup mama. Dia yang telah menghancurkan hatiku, tapi kini justru menyelamatkan hatiku dari hancurnya kehilangan mama.

"Terima kasih Dra," kataku sambil melepaskan pelukanku.

"Tak apa Cle, anggap saja ini sebagai penebus dosaku selama ini yang telah membuat hatimu hancur dan membenciku,"

"Tapi Dra...,"

"No Cle, aku tahu kamu terluka atas kejadian dulu walau kamu telah memaafkanku. Aku tak pernah mampu melupakanmu Cle,"

"Dra...,"

"Yes, aku selalu mencintai dan menyayangimu Cle walau waktu telah berlalu sangat lama,"

"Sorry Dra, saat ini aku hanya ingin terfokus pada mama. Aku belum ingin memikirkan diriku untuk saat ini,"

Ya, aku memang tak ingin memikirkan hidupku dulu. Aku ingin mama sembuh dulu dari semua sakit yanh di deritanya. Terlebih akulah yang telah menyebabkan mama terluka sampai seperti ini.

Memang bukan fisik mama yang terluka, tapi hati mama yang terluka karena kehilangan papa. Dan semua karena aku yang tak pernah peka terhadap perasaan orang yang ada di sekitarku.

Ya, karena ketidak pekaanku kepada perasaan Riana dan Devan hingga membuatku dalam keadaab seperti sekarang ini. Papa menjadi korban mereka dan mama juga hampir menyusul papa.

Dengan berat hati aku keluar dari ruang ICU dan membiarkan mama beristirahat agar kondisinya segera pulih. Aku hanya ingin mama segera pulih dan kembali tersenyum seperti dulu.

"Devan dimana Dra?" tanyaku pada Indra saat aku telah berada di luar ruang ICU.

"Devan dan Riana ada di kantor polisi. Apa kamu mau ke sana sekarang?"

"Tidak, mungkin besok Dra setelah mama benar-benar pulih. Aku ingin memastikan bahwa mama baik-baik saja, baru aku menemui mereka,"

"Kamu yakin bisa menahan emosimu?"

"Aku yakin Dra, walau sesungguhnya hatiki sakit karena yang melenyapkan papa justru sahabatku sendiri,"

Tanpa perlu diminta, Indra langsung menarikku ke dalam pelukannya. Dia seolah ingin membirakan ketenangan padaku. Ingin melakukan apa yang seharusnya dia lakukan padaku sedari dulu.

Tanpa kata, sebulir air mata jatuh membasahi pipiku. Rasanya hatiku benar-benar sakit memdapati sebuah kenyataan yang sangat menggores hati.

"Menangislah," kata Indra sambil membelai rambutku lembut.

Setelah beberapa saat aku menangis, akhirnya aku amelepaskan pelukan Indra dan menghapus sisa air mata yang membasahi pipiku.

"Kamu tidak ke Polres Dra?" tanyaku.

"Aku Sat-Lantas Cle, jadi aku tak menangani ini,"

"Lalu tadi...,"

"Aku memohon pada temanku agar di izinkan ikut dalam operasi ini, aku sangat khawatir sama kamu,"

Aku tak pernah tahu kalau Indra akan begitu perhatian padaku setelah apa yang terjadi. Aku bersikap ketus dan jutek padany, hanya karena kesalahan yang pernah dia lakukan padaku di masa lalu.

"Maaf ya Dra," kataku sambil menyandarkan kepalaku ke bahunya.

"Maaf untuk apa Cle?"

"Maaf aku sudah bersikap ketus dan jutek padamu. Maaf karena belum bisa menerima cintamu kembali,"

"Jangan dipikirkan Cle, aku sangat memahami bagaimana perasaanmu. Aku pun tak menyalahkanmu atas semua sikapmu, karena akulah yang salah dalam hal ini. Aku yang telah melukai hatimu beberapa tahun lalu,"

Perlahan aku meresapi perkataan Indra. Dia dengan begitu lapang dada mengakui kesalahannya, sedang aku. Aku telah melakukan banyak kesalahan pada Devan dan Riana hingga membuat mereka melakukan semua itu.

Ya, kesalahanku adalah aku yang tak bisa peka terhadap perasaan mereka. Aku sampai tak tahu bahwa Riana begitu mencintai Indra. Dan Devan, aku tak tahu dia mencintaiku hingga mamanya harus meninggal hanya karena dia mencintaiku.

Sejujurnya aku masih belum paham bagaimana mama Devan dapat meninggal hanya karena Devan mencintaiku. Setauku, mama Devan sangat menyukaiku dan tak masalah ketika aku main ke rumahnya.

Ada apa sesungguhnya hingga mamanya Devan meninggal? Apa kesalahan yang telah aku lakukan hingga membuatnya meninggal?

"Jangan dipikirkan, besok juga kamu tahu jawabannya," kata Indra yang seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan.

Aku sedikit lupa bahwa Indra dulu adalah seorang polisi yang telah diajarkan untuk membaca dan menilai orang lain dari gestur tubuhnya dan juga lirikan matanya.

"Entahlah Dra, semuanya begitu aneh bagiku. Aku masih tak percaya jika mamanya Devan meninggal karena aku,"

"Kita belum tahu apa yang terjadi sesungguhnya pada mamanya Devan. Tunggu sampai besok maka kamu akan mengetahui semuanya,"

"Tapi Dra...,"

"Tidurlah sudah malam,"

CLEOPATRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang