part 10

2K 165 8
                                    

Aku, mama dan Indra dengan setia dan sabar menunggu lampu rung operasi berubah menjadi merah. Tapi entah kenapa rasanya lampu itu sangat lama berubah warna.

Hingga 3 jam telah berlalu dan lampu itu baru berubah warna menjadi merah. Perlahan aku melihat papa di dorong beberapa perawat keluar dari ruang operasi. Mama menjerit histeris saat melihat kondisi papa dan aku hanya bisa diam dan tertegun tanpa mampu berkata apa-apa.

Rasanya aku masih berharap apa yang terjadi ini hanyalah sebuah mimpi dari tidur malamku yang panjang. Perlahan aku mencubit tanganku dan terasa sakit. Aku tahu bahwa semua ini hukan mimpi, ini nyata.

Ini adalah kenytaan terpahit yang pernah aku alami. Ini adalah kenyataan yang siapa pun tak ingin mengalaminya. Kenyataan yang membuat hatiku hancur berkeping-keping.

Seketika kakiku terasa begitu lemas hingga tak mampu lagi menopang berat badanku. Dengan sigap Indra langsung memapahku untuk duduk di kursi depan ruang operasi. Air mata mengalir dengan sangat derasnya hingga aku tak mampu untuk menahannya.

"Dra itu bukan papa kan?" tanyaku pada Indra dengan berurai air mata.

Tak ada jawaban dari Indra. Mulutnya tetap bungkam dan diam seribu bahasa. Dia hanya memelukku dengn erat dan membelai rambutku dengan lembut.

"Cle...kamu yang tabah, yang sabar," kata Indra.

Tabah? Sabar? Kata itu begitu mudah di ucapkan jika kalian tak mengalami apa yang aku alami. Bagaimana aku bisa tabah dan sabar jika papaku direnggut dariku dengan begitu kejam. Apalagi aku tahu, papa direnggut secara sengaja oleh orang gila yang haus akan perhatian.

Samar aku melihat dokter keluar dari ruang operasi. Aku berusaha menguatkan diri untuk berdiri dan menghampiri dokter.

"Dok, itu bukan papa saya kan?" tanyaku masih dengan air mata yang berurai.

"Maaf, kami telah berusaha semaksimal mungkin tapi Tuhan berkehandak lain. Pendarahan di otaknya tak bisa dihentikan,"jawab dokter.

Brruuukkk....seketika aku tersentak saat melihat mama ambruk di lantai rumah sakit. Aku tahu mama sangat terpukul dengan kepergian papa yang begitu tiba-tiba dan dengan cara yang sangat tragis.

Dengan cepat beberapa orang perawat mengangkat mama dan membawanya ke ruang inap rumah sakit. Sedang aku sendiri segera mengurus semua administrasi papa dan mama.

Sekuat tenaga aku berusaha untuk kuat demi mama yang saat ini pasti sangat terpukul dengn kenyataan pahit ini. Aku sadar aku tak dapat mengurus semuanya seorang diri. Aku harus segera mengurus jenazah papa dan harus ada seseorang yang menemani mama.

Ku cari nomor Riana yang ada di ponselku lalu kusambungkan kepadanya.

"Hallo Ri," kataku setelah telpon tersambung.

"Cle kamu kenapa nangis?"

"Papa Ri,"

"Ada apa dengan om?"

"Papa meninggal Ri,"

"Meninggal? Kapan? Kenapa?"

"Barusan Ri, papa kecelakaan. Kamu bisa ke rumah sakit sekarang buat nemenin mam?"

"Tante juga kecelakaan Cle?"

"Gak....mama pingsan saat melihat jenazah pap,"

"Ya sudah aku segera kesana," kata Riana lalu menutup telponnya.

Rasanya beban ini terasa begitu berat saja harus aku tanggung. Kepalaku mulai pusing tapi aku berusaha untuk kuat agar aku bisa menyemangati mama.

Selama jenazah papa masih dimandikan, aku memilih untuk menemani mama. Aku harus berada disamping mama agar mama kuat dalam menghadapi kenyataan ini. Aku menatap wajah mama dengan begitu dalam, aku tahu mama sangat terpukul dengan kepergian papa.

Perlahan mata mama mulai terbuka. Mata cantiknya kini sembab karena air mata yang mengalir dari matanya. Aku memagang dan mengelus punggung tangan mama dengan halus dan penuh cinta. Aku hanya berharap jika ini akan dapat menguatkan mama karena kehilangan papa.

"Mana papamu Cle?" tanya mama dengan suara parau.

"Papa sedang di mandikan mah," jawabku singkat.

Kembali tangis mama pecah saat mendengar jawabanku. Aku tahu mama sepertiku masih berharap jika semua itu hanya sebuah mimpi. Tapi ini bukan mimpi, ini kenyataan yang harus kami hadapi.

"Tante...Cle....," terdengar suara Riana dari belakangku.

"Ri," kataku sambil memeluknya dan menangis di pelukannya.

"Sabar Cle," kata Riana kemudia dia melepaskan pelukanku dan berpindah memeluk mama.

"Cle, jenazah papamu sudah selesai dimandikan," kata Indra yang baru masuk ke ruangan mama.

"Mah, aku pulang dulu ya. Mama biar ditunggui Riana disini," kataku.

"Gak Cle, mama ikut pulang. Mama ingin menemani papamu untuk yang terakhir kalinya," kata mama memaksa.

"Tapi mah....," kataku.

"Cle," kata Indra sambil mengangguk.

"Baiklah, aku panggil dulu suster untuk membuka infus mama sekaligus mengurus semua administrasinya," kataku.

Aku beranjak ditemani Indra untuk mengurus kepulangan mama dan papa dari rumah sakit. Setelah semua pembayaran aku selesaikan, seorang suster mencabut infus mama dan pulang bersamaku.

****
Di rumah sudah dipenuhi sanak keluarga, karyawan serta para pelayat lainnya seperti tentang dan kolega bisnis papa. Semua terlihat sangat sedih dan kehilangan papa.

Aku memapah mama untuk masuk ke rumah dan berganti pakaian. Begitu pun denganku, aku berganti pakaian dengan pakaian serba hitam. Aku masih saja tak percaya jika papa telah tiada.

Setiap aku mengingat papa, saat itu pula aku mengingat si peneror gila yang telah melenyapkan papa. Aku masih tak habis pikir bagaimana dia bisa berbuat demikian hanya karena dia tak mendapatkan perhatian dariku? Dia benar-benar seorang psikopat.

Waktu terus berlalu, setelah semua sanak keluarga berkumpul, aku dan mama memutuskan untuk segera memakamkan papa. Aku tak mungkin berlama-lama membiarkan papa seperti ini, kasihan papa. Papa dimakamkan disebuah pemakaman umum yang tak jauh dari rumah.

Perlahan tanah merah menutupi tubuh papa yang telah kaku. Tangis mama pecah semakin keras saat prosesi pemakaman. Bukan hanya mama yang menangis, tapi kami semua menangis. Papa adalah penyangga hidupku, tumpuanku. Tapi kini papa tiada lagi di sisiku, papa telah tenang disana.

Satu persatu para pelayat dan sanak keluarga mulai meninggalkan pemakaman. Mama pun telah diajak pulang oleh sanak keluarga agar mama bisa beristirahat di rumah. Kini tinggallah aku dan Riana disamping makam papa.

Aku bersimpuh memeluk batu nisan papa, sedang Riana berdiri di belakangku. Derai air mata benar-benar tak dapat aku bendung lagi. Aku menangis sejadi-jadinya, hal yang tak aku lakukan sedari tadi.

"Cle, sudahlah kita pulang yuk," kata Riana.

"Pulanglah duluan Ri, aku masih ingin bersama papa,"

"Tapi Cle..."

"Gak apa-apa Ri, pulanglah!" kataku memaksa Riana untuk pulang terlebih dahulu.

Sepeninggal Riana aku makin dalam dengan kesedihan yang aku rasakan.

"Aku janji pah, aku akan menemukan orang yang telah membunuh papa, aku janji!" kataku.

Tring... terdengar bunyi sms masuk ke ponselku, aku melihatnya ternyata dari si peneror itu lagi.

"Aku turut berduka cita Cle. Tapi itu adalah hukuman yang pantas untukmu karena kamu tak mengingatku,"

CLEOPATRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang