Something Different

44.2K 3.3K 368
                                    

Siapapun pasti setuju soal waktu yang berjalan begitu cepat. Dan di hari pertama ujian kenaikan kelas ini, Kia pun menyadari hal itu benar-benar terjadi. Tidak terasa berbulan-bulan sudah ia lewati di lingkungan baru ini, padahal rasanya hari pertama masuk ke kelas unggulan SMA Gading yang penuh kecanggungan itu baru terjadi kemarin.

Di dalam taksi, Kia duduk berdua dengan Nazla. Ujian membuat siswa-siswi bisa pulang lebih awal, dan Nazla mengambil kesempatan itu untuk mengajak Kia ke toko buku. Yang diajak sama sekali tidak keberatan, mau sekalian cari novel terjemahan favoritnya.

Nazla merasa bosan terus memandangi jalanan dati balik kaca taksi. Ia menoleh ke samping dan melihat Kia begitu serius dengan gamenya-sudah begitu sejak baru masuk taksi tadi. "Gimana Ki, hari pertama ujian kenaikan kelas susah nggak?" Nazla coba memulai percakapan, direbutnya ponsel Kia dengan sengaja.

Kia hanya bisa menghela napas melihat Nazla sudah mengantongi ponselnya. Kalau saja yang melakukan hal itu adalah Alfryda, Kia pastikan dirinya akan mengomel sampai telinga Alfryda berdarah sekalipun. Pasalnya ulah Alfryda pasti diniati sebagai keisengan semata. Tapi ini Nazla, Kia paham betul tipenya, dan Kia bisa mengerti kalau yang Nazla lakukan ini adalah nasihat tanpa kalimat yang menyuruhnya menghargai keberadaan teman.
"Biasa aja..." jawab Kia seadanya.

"Pasti soalnya gampang kan buat ukuran anak unggulan?"

Pertanyaan Nazla membuat Kia mendengus. "Gampang buat ukuran anak unggulan yang kutu buku, nggak hobi main piano tales, dan masuk unggulan karena otak, bukan karena kepala sekolah adalah sahabat papanya." Balas Kia dengan nada sarkastis.

Nazla terkekeh. "Kamu tuh suka merendah aja..."

"Lo sekarang pinter banget ngejek orang ya, Naz? Hm... Wajar sih, lo kan sepupunya si Andra!"

"Ih nggak kok, ada-ada aja deh!" ekspresi Nazla saat menyangkal terlihat lucu di mata Kia, tak ayal hal itu membuat Kia tertawa dan Nazla ikut tertawa karena melihat Kia tertawa. Siklus tertawa yang membingungkan.

"Eh, Ki, ujian ini kamu dapet duduk sama siapa? Tempat duduknya dibikin sesuai urut nomer atau diacak? Kalau kelas aku sengaja diacak karena wali kelas maunya begitu..." Nazla buka suara lagi, ia harus mengajak Kia banyak bicara supaya sahabatnya tidak ingat ponsel.

"Duduknya diacak. Dan secara kebetulan gue dapet duduk sama sepupu lo yang anti contek-mencontek itu." Tak hanya sekali Kia memutar bola mata saat bercerita.

"Jadi kamu harus selalu belajar dari rumah karena nggak bisa berharap ke tetangga sebelah." Nazla menggigit pipi bagian dalamnya demi menahan tawa.

"Keadaan nggak ngasih gue pilihan lain..."

Taksi berhenti di tempat tujuan, Nazla membayarnya kemudian turun bersama Kia sambil membetulkan letak tak masing-masing. Toko buku tak terlalu ramai sehingga Nazla dan Kia leluasa meneruskan percakapan.

"Masa ya, Naz, si Andra tuh kalo ngerjain soal seriusnya kebangetan! Kayak nggak mau waktu buat ngerjain soal kepotong barang cuma sedetik. Gue pinjem bolpoin dia cuma ngangguk, pinjem tipe-x ngangguk lagi, dia suruh gue ambil sendiri gitu deh, sama sekali nggak mau gerakin tangan buat ngambilin." Kia melanjutkan pembahasannya tentang Andra. Nazla memang memaksanya menceritakan lebih banyak hal.

Sambil melihat-lihat buku di rak, Nazla menganggapi, "Yang penting kan dipinjemin. Seenggaknya itu membuktikan dia udah nggak nganggep kamu sebagai musuh kayak dulu?" Kia hanya mengendikkan bahu. Tampak sedang membaca blurb novel yang ia pegang.

Pal In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang