Tiga remaja SMA itu duduk di dalam caffe yang dekat dengan sebuah bioskop. Sebab bosan di rumah, Kia, Nazla, dan Alfryda memang memilih menghabiskan malam minggu mereka dengan nonton film. Tapi karena datang tanpa mengecek jadwal, setelah membeli tiket, ketiganya masih harus menunggu karena film pilihan mereka baru akan diputar sekitar satu jam lagi.
“Heran deh gue, lo berdua tuh punya pacar, tapi malam minggu begini nggak ada yang nge-date?” Alfryda yang sedang asyik memainkan ponsel—menikmati free wifi—menyindir Kia dan Nazla tanpa mau repot-repot melirik, takut tidak bisa menahan tawa saja kalau harus melihat ekspresi kedua sahabatnya.
Baik Nazla atau Kia tidak menyahut sama sekali. Kia menganggap ucapan Alfryda sebagai angin lalu saja. Terlalu malas menanggapi karena sudah hafal betul dengan hobi tidak berfaedah milik cewek itu: nyinyir!
Sementara Nazla sendiri diam saja karena kata ‘pacar’ dalam kalimat Alfryda tadi membuat kejadian di atas biang lala sepuluh hari lalu—kejadian yang sampai sekarang sama sekali tidak Nazla ceritakan kepada siapapun—berputar cepat di otaknya, dan jujur hal itu seketika membuat suasana hatinya berantakan.
Alfryda yang mengangkat kepala ketika meraih minumannya dari atas meja tanpa sengaja menangkap air muka Nazla yang berubah muram. Sekarang ia jadi merasa bersalah, dalam hati tidak berhenti merutuki bibir sendiri yang asal jeplak. Alfryda lupa kalau keadaan hubungan Nazla dan Evan benar-benar dalam fase yang tidak baik sehingga bercandaan tadi pasti terdengar sebagai kalimat yang sangat sensitif di telinga Nazla.
“Heh, Ki! Lo kan udah hampir dua minggu pacaran sama Andra, masa sampe sekarang kalian belum pernah jalan bareng?!” memfokuskan sindiran pada Kia. Yah, cara itulah yang Alfryda pilih untuk mengalihkan suasana sedih yang mengungkung Nazla saat ini.
Kia berdecak malas. “Ck! Si Andra kan sibuk sama persiapan olimpiade, jadi belum ada waktu aja... Lagian gue yang pacaran biasa aja, kenapa malah lo yang ribet?” sinisnya.
“Ye! Ya nggak so sweet aja gitu! Masa lo kalah saingan sama buku, sih?” si cerewet Alfryda tak mau kalah sinis.
“Huh! Nyinyir aja lo jadi jomblo!” ejek Kia.
Alfryda menjulurkan lidah. “Laku nggak harus taken!” cewek itu membela diri sendiri sambil mengibaskan rambut.
Sontak Kia bergidik sendiri. “Bodo amat lah! Mau ke toilet dulu gue!” Kia meninggalkan kursinya dan beranjak keluar caffe begitu saja.
Kekesalan di wajah Kia tadi menjadi hiburan tersendiri untuk Alfryda. Selain itu, bonus yang lebih penting adalah adu mulutnya dengan Kia tadi sudah berhasil mengembalikan tawa Nazla. Alfryda bernapas lega merasakan rasa bersalahnya sedikit demi sedikit mulai hilang.
Sementara itu, di luar caffe, sebetulnya Kia tidak benar-benar menuju toilet. Cewek itu pergi ke area food street untuk beli pempek salmon dan makan sendiri sambil menjawab telepon dari Andra. Dan telepon itulah yang menjadi alasan utama Kia cepat-cepat meninggalkan Caffe tadi. Kia tidak mau saja direcoki oleh Alfryda saat sedang menerima telepon.
“Jadi nonton?” suara Andra terdengar dari ujung.
“He.em. Tapi masih harus nunggu seperempat jam lagi...” jawab Kia sembari mengunyah.
“Oh. Terus sekarang lagi dimana? Kok berisik banget kayaknya?”
“Lagi makan pempek salmon di area food street.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Pal In Love
Teen Fiction[TELAH TERBIT] "Selalu ada luka, diantara persahabatan dan cinta." ÷×+-=Pal in Love=-+×÷ Masuk kelas unggulan di sekolah barunya jelas bukanlah hal yang diharapkan oleh seorang Kia-siswi dari kelas reguler sebelumnya. Kia sendiri malah lebih suka m...