Cewek yang terbaring di atas hospital bed itu menghela napas sambil mengamati cairan infus yang menetes satu-satu, mengalir melewati selang untuk kemudian masuk ke tubuhnya lewat jarum di punggung tangan.
Wajah Kia tampak sedikit pucat dari biasanya, tapi walaupun sudah disuruh banyak tidur ia tetap saja belum bisa memejamkan mata. Memang selalu susah tidur kalau bukan di kamar sendiri. Apalagi ditambah kehadiran Bundanya yang tidak berhenti mengomeli sang suami.
“Gimana sih, Pa?! Masa dua kali Kia sampai masuk rumah sakit perkara DBD?! Jaraknya deket banget pula?!”
“Yang Papa beli itu rumah atau istana nyamuk?!”
“Pokoknya Mama nggak mau tahu, panggil siapapun, pemadam kebakaran kek, polisi kek, atau tim SAR buat basmi seluruh nyamuk di rumah beserta keturunannya semua!”
Mendengar kalimat-klimat yang terus mengalir deras dari mulut istrinya, Papa Kia cuma bisa melongo. Mau membela diri juga belum bisa dapat kesempatan bagus untuk menyela. Pria itu sampai takjub bagaimana sang istri bisa tidak kehabisan napas dengan cara bicaranya yang luar biasa cepat.
“Atau kita jual aja rumah itu terus beli baru biar Kia nggak digigit nyamuk terus?!”
“Wooo!! Selow Bun!!!” kali ini Kia sudah tidak bisa tinggal diam. Usulan Bundanya terdengar sudah terlalu berlebihan untuk Kia. Harus dihentikan sebelum berita sebuah keluarga memutuskan pindah rumah cuma karena teror nyamuk betulan terjadi.
“Problemnya kan nggak di seluruh rumah, Bun... Mungkin salah Kia juga karena kurang bisa jaga kebersihan kamar. Yah walaupun Bibi selalu bersihin, tapi Kia sendiri tuh masih suka numpuk cucian kotor di keranjang, buang bungkus snack sembarangan ke kolong ranjang. Jadi mungkin disini emang Kia sendiri yang salah.” Akunya.
Papa Kia tampak mengelus dada karena penjelasan Kia mungkin akan menyelamatkan dirinya.
“Nggak, Kia nggak sepenuhnya salah kok. Ini tetep salah Papa...” Bunda Kia memang begitu. Tidak pernah mau membuat Kia bersedih sedikit pun dengan menyalahkan putri angkatnya walaupun Kia sudah mengaku sendiri kalau dirinya bersalah.
“Kok tetep Papa yang salah?” pria berkemeja putih yang sedang memegangi jas kantornya itu tampak frustasi sendiri.
Tadi, saat diberitahu oleh sang istri kalau Kia masuk rumah sakit, Papa Kia yang baru semalam berangkat ke Surabaya untuk mengurus kantor cabang langsung terbang lagi ke Jakarta karena khawatir dan tentunya tidak mau kena talak oleh sang istri yang memang tidak menerima alasan apapun kalau sudah menyangkut Kia.
Bunda Kia berkacak pinggang. “Ya iya dong! Sebagai kepala rumah tangga yang baik, Papa harusnya bisa ingetin asisten rumah tangga biar mengutamakan kebersihan kamar Kia! Sekarang Papa minta maaf sama Kia! Kasihan kan dia tangannya harus ditusuk jarum begini!”
Dipelototi oleh sang Istri, Papa Kia mana berani membantah. “Iya iya... Papa yang salah...” ujarnya pasrah.
Kia tidak bisa menahan tawa saat Papanya untuk alasan yang absurd berlutut di sebelah hospital bed dan meminta maaf seperti remaja laki-laki yang pacarnya sedang ngambek. Kadang Kia sendiri heran kenapa keluarganya itu unik sekali. “Biar impas, Kia bilang aja ke Papa deh mau apa? Nanti pasti diturutin.” Kata Pria itu.
Mata Kia bersinar. “Beneran Pa? Kalau Kia mintanya banyak nggak apa-apa?” cewek itu menyeringai. Sang Bunda terus membuat gerakan bibir untuk menyemangati anaknya. Wanita itu malah mendukung sepenuhnya supaya Kia morotin uang Papanya.
“Iya Sayang, semuanya boleh. Mau apa? Tas? Sepatu? Baju? Atau mau tokonya?”
“Emmm...” Kia mengetuk dagu sembari berpikir. Yang ditawarkan Papanya jelas tidak akan Kia pilih karena ia memang bukan tipe maniak belanja yang suka beli barang-barang yang tidak terlalu dibutuhkan sekedar karena trend saja. “Kia punya tiga permintaan!” putusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pal In Love
Teen Fiction[TELAH TERBIT] "Selalu ada luka, diantara persahabatan dan cinta." ÷×+-=Pal in Love=-+×÷ Masuk kelas unggulan di sekolah barunya jelas bukanlah hal yang diharapkan oleh seorang Kia-siswi dari kelas reguler sebelumnya. Kia sendiri malah lebih suka m...