Andraphobia(2)

33.5K 2.8K 312
                                    

Azka menahan bahu Evan yang baru saja mencangklek tasnya. Mata cowok itu menajam, “Lo mau kemana?” suara Azka terdengar lebih dingin dari biasa.

Evan menaikkan sebelah alis. “Ya pulang. Latihannya udah selesai, kan?”

“Tapi ini hari Senin. Lo nggak nunggu Nazla? Kayaknya latihan PMR-nya belum selesai?”

Pertanyaan Azka agaknya menyentak Evan, terbukti dari cara cowok itu membuang napas dengan berat. Tapi jawaban Evan setelah itu justru membalik keadaan, “Biarin dia pulang sendiri kalau selesai latihan.” Mendengar itu, wajah datar Azka berubah, dan raut tidak percaya muncul.

“Tapi dia pacar lo!” teriakan Azka berhasil menahan langkah Evan di dua langkah yang baru diambilnya.

“Ka, gue rasa lo nggak perlu ikut campur soal hubungan gue sama Nazla.” Balas Evan, namun tak mau menoleh.

“Lo pengecut!”

Seketika Evan memutar tubuh. “Lo bilang apa?” tanyanya seolah-olah meminta Azka mengulang.

Sambil memantulkan bola di tangan Azka menarik sudut bibir, tersenyum remeh. “Cowok yang mainin perasaan cewek itu pengecut!” ulangnya, lebih lengkap.

“Gue kira lo sahabat gue? Kenapa lo malah—“

“Tugas sahabat itu ngingetin sahabatnya yang salah. Dan begini cara gue ngingetin lo!” potong Azka.

Evan mengeratkan giginya. Azka menunggu cowok itu menjawab. Tapi tampaknya Evan tak ingin memperpanjang perdebatan dan kembali berbalik, meneruskan langkah dengan acuh tanpa menoleh ke belakang lagi.

Mikko yang sedari tadi pura-pura sibuk minum mengepalkan tangan diam-diam. Sikap Evan benar-benar menyulut emosinya. Ingin rasanya Mikko mengejar Evan dan menghajarnya sampai babak belur, tapi ia tak benar-benar melakukan hal itu karena tahu saat ini ada yang lebih penting untuk dilakukan.

Azka yang melihat Mikko berjalan cepat meninggalkan area lapangan bergumam sendiri. “Kelihatannya gue bisa bilang ke Andra buat nggak usah terlalu khawatirin sepupunya...”

****

Kemana-mana selalu diantar supir atau naik taksi membuat Kia belum terlalu mengenal jalanan kota Jakarta. Tapi tentang aksinya pergi ke sembarang arah tanpa tujuan ini, Kia tidak terlalu khawatir karena ia bawa ponsel bila perlu peta elektronik dan uang yang cukup untuk naik taksi kalau-kalau sudah ingin pulang ke rumah nanti. Untuk sekarang, Kia hanya ingin berjalan dan terus berjalan menyusuri trotoar.

Pergi les dengan seragam basah pasti membuatnya seperti seseorang yang terlihat sedang mencari perhatian dan ingin dikhawatirkan. Jadi, setelah cukup lama menangis di kamar mandi tadi, Kia putuskan mengeringkan diri di bawah terik matahari sore. Sekaligus, mencoba menghibur diri sendiri dengan mendengar kebisingan jalanan. Setidaknya orang-orang di jalanan tidak akan terlalu peduli dengan keadaan orang yang tidak mereka kenali bukan?

Kia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Tidak terasa sudah setengah jam ia berjalan, pantas saja seragamnya juga sudah kering. “Astaga... Hari ini kacau banget...” gumamnya sambil menendangi krikil-krikil kecil.

Yah, sekarang Kia mulai bertanya-tanya kenapa kota Jakarta bisa berubah begitu jauh. Seingat Kia, kota ini tak begitu rumit saat ia masih menjadi penghuni panti asuhan dulu. Beberapa saat kemudian ia menghela napas, tersadar kalau mungkin waktu itu ia belum banyak menjelajahi kota Jakarta sepenuhnya—belum sebanyak sekarang saat ia sudah mulai mengeluh lelah.

Pal In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang