Andra berdiri sendiri di balkon kamarnya. Malam ini udara cukup dingin sebab hawa hujan yang turun sore tadi masih tersisa. Tetapi Andra tampak tidak terganggu, sepasang matanya setia menatapi benda yang ia pegang—sebuah gelang manik-manik plastik dengan bentuk menyerupai mutiara.
Tidak semenitpun Andra menghabiskan tur wisatanya di Bali tanpa memikirkan Kia, atau lebih tepatnya, merindukan cewek itu beserta semua momen bersamanya yang sudah hampir lima bulan ini menghilangkan. Dan alhasil, ragu-ragu untuk membelikan buah tangan kalah juga dengan keinginan hati. Sebetulnya banyak sekali aksesoris cantik yang Andra temui disana. Entahlah kenapa pilihannya kemudian jatuh pada gelang mutiara yang ditawarkan oleh seorang gadis kecil ceria.
Niatnya, Andra akan menyampaikan oleh-oleh tersebut besok. Waktu bertemu Kia di sekolah. Ah tidak, Andra belum akan membahas soal kejelasan hubungan. Tapi sekedar kode saja pada Kia kalau pembahasan itu akan segera terjadi.
“Ndra?”
Andra refleks membalikkan tubuh ketika suara berat khas pria dewasa terdengar dari arah belakang. Ternyata yang baru masuk tanpa mengetuk itu tidak lain adalah Papa Andra sendiri.
“Kenapa, Pa?” tanya cowok itu, lantas segera meninggalkan balkon dan menghampiri Papanya.
Tangan kanan papa Andra bergerak menyodorkan sebuah amplop cokelat. Andra hanya mengernyit, tidak langsung bisa menebak apa isi di dalam amplop tersebut karena yang dapat ia lihat adalah bagian belakangnya. Sampai kemudian, kebingungan Andra terjawab oleh sebuah pelukan dan ucapan selamat yang diberikan sang Papa. “Congrats! You’ll going to Oxford University soon!”
Seketika mata Andra dipenuhi binar, senyuman lebar tidak dapat ia sembunyikan saat sang papa melerai pelukan dan memberikan kesempatan untuknya membaca sendiri isi surat tadi. Bisa mengecap pendidikan di negeri ratu Elisabeth memang sudah menjadi impian Andra sejak lama—impian yang semakin kuat setelah Papanya mengajukan perjanjian tentang Kia—dan sekarang, kata mimpi sudah berubah menjadi kenyataan untuknya. Ah, Andra bahkan tidak punya satu kata pun untuk mengekspresikan bahagia.
Wajah papa Andra pun dipenuhi gurat bangga. “Good job, Son!” puji pria itu sembari menepuk-nepuk bahu putra sulungnya. Andra sekedar mengangguk, masih tidak ingin melepaskan mata dari kertas yang ia pegang.
Teringat tentang istrinya yang sedang menangis tersedu di ruang tengah, Papa Andra pamit untuk beranjak. Ia harus segera menenangkan juga memberi penjelasan kepada sang istri yang memang sejak awal sudah sering bilang dirinya tidak rela kalau harus ditinggal jauh oleh Andra. Yah, begitulah emosionalnya seorang ibu.
“Pa? Remember the deal? Wanna say something?”
Baru juga mencapai ambang pintu, tapi pertanyaan Andra membuat papanya harus berhenti dan membalikkan tubuh lagi. Pria dengan kemeja kotak-kotak itu menatap Andra sejenak. Lalu sempat terkekeh sendiri melihat bagaimana anaknya sudah menjadi laki-laki dewasa sekarang. “Oke. You can being lover again!”
****
Nazla bangun dengan kepala berdenyut hebat. Apa yang terjadi di rumah Kia kemarin membuatnya kehilangan kontrol sampai menangis semalaman. Untungnya Papa Nazla ada urusan bisnis ke luar kota sementara Mamanya sedang di Garut untuk merawat sang ibu yang sakit, jadi Nazla tidak harus mengarang alasan tentang air matanya.
Jarum jam dinding menunjukkan pukul 8:30 tepat. Sangat terlambat pergi ke sekolah kalau saja dirinya masih kelas X atau XI. Tapi untuk kelas XII, jam masuk memang sudah tidak dibatasi sejak setelah ujian nasional terlewati. Bahkan malah tidak diwajibkan masuk kalau tidak ada sesuatu yang penting. Dan melihat Nazla yang sudah kembali berbaring lagi, tampaknya ia tidak akan pergi ke sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pal In Love
Fiksi Remaja[TELAH TERBIT] "Selalu ada luka, diantara persahabatan dan cinta." ÷×+-=Pal in Love=-+×÷ Masuk kelas unggulan di sekolah barunya jelas bukanlah hal yang diharapkan oleh seorang Kia-siswi dari kelas reguler sebelumnya. Kia sendiri malah lebih suka m...