+ 12 +

10.3K 1K 5
                                    

"Lo gak usah terpaksa berhubungan sama gue hanya karena gue mungkin sedang hamil," kataku saat Adrian menghentikan motornya di depan rumahku. For the first time ever, he insist to take me home from office together. Ajakannya cukup memaksa sehingga membuat orang-orang memandangi kami berdua. Jane yang sudah tahu ada sesuatu di antara kami memilih tidak banyak berkomentar.

"Hmm," balasnya.

Aku turun dari motornya dan menyerahkan helm yang muncul entah dari mana. Kalau dilihat dari desainnya sih ini milik UF, mungkin dia minta dari gudang.

"Thanks anyway," ujarku.

"If..."

"Gue gak hamil, Dri. Memang gue belum ngecek tapi nggak. Gue gak hamil. Lo gak perlu khawatir. Jadi biarkan gue dapat perhatian lo atas usaha gue sendiri. Bukan karena lo merasa bertanggung jawab."

Kusentuh pipinya dan dia cuma diam. Aku mengecup bibirnya sekilas lalu tersenyum.

"Gue masuk ya. Terima kasih sudah meluangkan waktunya nganter gue ke rumah. Hati-hati di jalan. Salam buat Mama dan Om Ferdi,"

Aku masuk ke rumah sebelum Adrian bisa berkata apa-apa. Sebelum dia menjalankan motornya kembali ke rumah.

***

He took care of me like he never did before. Well, he never really did actually. Keeseokan harinya aku menyempatkan membeli test pack dan langsung mengecek di kantor hari itu juga. Hasilnya hanya 1 garis. Artinya aku memang benar-benar tidak hamil. Begitu tahu bahwa aku sudah membeli tetspack (ini pasti Jane yang terlalu inisiatif memberi tahu Adrian), dia sudah menungguiku di luar toilet perempuan. Tidak peduli saat ini jam istirahat sehingga banyak pengguna toilet perempuan hilir mudik.

"Ngapain?" tanyaku pura-pura polos.

"Kata Jane.."

"Negatif," kujejalkan test pack itu ke tangannya lalu berjalan meninggalkan dia. Ketika kulirik dari balik bahu, dia sedang melihat test pack itu dan muncul raut wajah lega. Adrian buru-buru  memasukkan benda itu ke saku dan menarik tanganku.

"Ayo,"

"Apa? Kemana?"

Dia tidak menjawab tapi terus menarik tanganku agar mengikutinya. Kami memasuki lift dan terus turun menuju basement. Melangkah dalam diam menuju mobil BMW merah mentereng yang sudah sangat kukenali. Iya, dia memegangi tanganku terus seakan takut aku akan kabur.

"Lo bawa mobil sekarang ke kantor?"

Adrian tidak menjawab dan malah membukakan pintu untukku. Sebelum masuk, aku memandangnya lebih dulu. Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku. Kenapa tiba-tiba? Merasa bersalah? Mulai jatuh cinta padaku?

Ternyata Adrian mengajakku untuk makan siang. Dia langsung menjalankan mobilnya menuju Setiabudhi One. Tempat dengan pilihan makanan yang banyak.

"Mau makan apa?" tanyanya begitu kami melangkah masuk.

"Gue lagi gak ngidam lho. Pertanyaan lo kenapa begitu?"

Dia mengangkat bahu. Tangannya terulur ke bagian dalam, seakan menunjukke etalase yang bisa kupilih.

"Ta Wan aja deh. Lagi pengen enoki," Aku pun berjalan lebih dulu darinya. Tak butuh waktu lama kami sudah sampai di Ta Wan dan langsung mendapat meja untuk berdua. Suasana di sekitar kami memang ramai oleh orang yang sedang makan siang. Tapi kami cukup beruntung untuk tak perlu menunggu terlalu lama demi bisa mendapatkan meja.

"Lo lagi pegang proyek apa?" pertanyaan pembuka yang kulontarkan adalah tentang pekerjaan. Oh great. Sama menariknya seperti membahas cuaca.

"Gak usah bahas urusan kerjaan dulu lah," Malah itu jawaban Adrian. Bahkan dia menjawab tanpa memandang kepadaku. Masih asyik memandangi buku menu.

The Cure of Our Secrets - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang