+ 15 +

10K 1K 14
                                    

Adrian mengabaikanku lagi. Tak mau memandangku. Tak mau bicara denganku. Tak mau berpapasan denganku. Dia berhasil membuat seorang Amanda Clarissa yang tangguh jadi lebih sering menangis daripada tertawa. Aku lelah dibeginikan. Tapi aku juga tidak mau melepaskan dia dan pergi begitu saja. Tidak setelah aku tahu bagaimana dia merespon setiap sentuhanku. Dia pun pernah berkata bahwa dia mau mencoba.

Oh God what should I do?

"Jangan ngelamun. Ketabrak troli lo ntar,"

"Eh,"

Aku menoleh dan ternyata sebuah troli berisi barang baru melewatiku. Jane berdiri di samping sambil berkacak pinggang.

"Mikirin Adrian lagi? Udah deh,"

Jane sudah kuceritakan tentang kejadian di Bandung. Dia kembali mengumpat Adrian berkali-kali.

"Gimana ya Jane..."

"Lupain dia. Lupain! Cari cowo lain. Anak IT yang gue bilang dulu itu nanyain lo. Gue kasih nomer telepon lo ke dia ya."

"Eh apaan sih?"

"Done," Jane memperlihatkan layar iPhone-nya. Disitu terlihat bahwa dia baru saja mengirim kontak Amanda Clarissa kepada seseorang bernama Teddy.

"Eh Jane ah,"

"Udah. Biar lo gak mikirin Adrian mulu."

"Gue gak mikirin dia," sanggahku. Iya bohong besar. Gimana gak mikirin kalau setiap di kantor selalu ketemu? Sekarang pun project yang kami kerjakan bekerja sama dengan dia.

"Bagus. Sekarang mending lo bantu gue buat arrange dekorasi dan ngobrol sama vendor."

"Iya,"

Aku mengikuti Jane menemui vendor. Hari ini kami sedang bersiap-siap untuk acara penutupan project Divisi Marketing lainnya. PIC Project ini Jane dan Satrio. Tapi karena aku masih satu tim dengan Jane, jadi aku juga banyak membantunya. Sebagai atasannya Satrio, maka Adrian juga ada disini. Di ruangan yang sama.

"Tinggal nunggu satu saung-saungan sama backdrop ya," Jane menyimpulkan ketika jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Hampir semua dekorasi dan persiapan sudah selesai kecuali 2 hal tersebut. "Yuk pulang."

"Gue disini dulu deh. Gue yang nungguin dua hal itu,"

"Eh gak usah. Ada Satrio. Biarin dia aja," bujuk Jane sambil menarik lenganku.

"Kasian dia sendirian," Aku menunjuk Satrio yang sedang menelepon.

"Biarin. Palingan ada yang lain yang nemenin,"

Kami berdua mengikik.

"Gak apa-apa. Biar lo tenang juga. Daripada besok pagi ribet kan,"

"Tapi kalau sampai jam 11 belum dateng juga. Lo pulang ya! Gue pastikan lo pulang. Gue mau nungguin juga tapi kasian adek gue di rumah gak ada temennya."

Aku teringat Alex, adik Jane yang masih SMP.

"Iya. Ntar gue kabari ya,"

"Oke. Take care, nona."

"Iya tante,"

Jane melambai dan keluar dari kafe yang salah satu ruangannya kami sewa untuk acara ini. Aku duduk di kursi paling depan yang rencananya akan diduduki oleh Board of Director besok.

"Lo belum pulang, Manda?" tanya Satrio yang sudah selesai menelepon. Ia duduk di sebelahku.

"Belum. Gue mau nungguin vendor dulu. Nanggung,"

"Tadi gue telepon. Katanya baru berangkat. Parah. Janjinya jam 9 udah nyampe sini. Harusnya udah jam segini jalanan agak lowong sih. Jadi cepet,"

"Ya udah kita tungguin aja deh."

The Cure of Our Secrets - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang