Pukul 9, tanpa sepengetahuan para bos, aku dan Jane sudah berada di lobby Hard Rock Hotel. Sambil menunggu Steve dan Adrian datang, aku dan Jane melihat-lihat pajangan gitar dan alat-alat musik yang ada disana. Aku tak bisa bergerak terlalu banyak karena pakaian yang dipaksakan Jane untukku. Dia meminjamkan aku rok mini dari kulit dan bustier biru tua. Untuk luarannya aku mengenakan jaket milikku sendiri. Sepatu dan tas juga milikku. Sebenarnya ini kupersiapkan untuk jalan-jalan ke tempat yang lebih formal, bukan untuk clubbing. Aku curiga sebenarnya Jane sudah mempersiapkan diri untuk memaksaku ke club. Dia sendiri Cuma mengenakan little black dress.
Berbeda dengan kami para wanita yang dandan heboh, Steve Cuma mengenakan jeans dan kemeja sedangkan Adrian bahkan hanya mengenakan kaos! Kenapa ini tidak adil?!
"Ayo," ajak Steve yang berseri-seri. Dibalas dengan senyuman yang lebar dari Jane. aku melengos dan mendahului mereka berjalan keluar. Entah darimana tiba-tiba sudah ada mobil sewaan Steve yang menunggu kami dan siap mengantar kami ke Engine Room.
Sudah banyak orang di sana. Baik turis lokal maupun mancanegara. Sejujurnya aku tidak nyaman dengan datang ke tempat ini bersama Adrian. Bukan berarti aku nyaman untuk berangkat tanpa dia. Bisa dibilang aku baru dua kali selama hidup berangkat clubbing. Hal-hal seperti ini bukan jiwaku sebenarnya. Apalagi ditambah adanya Adrian di sampingku. Dimana sebenarnya lingkungan seperti ini bisa saja membuat kami lupa. Lupa sedang berdiam diri. Lupa sudah putus dan ingin melupakan satu sama lain.
"Lets go," Jane menarik tanganku dan langsung mengajakku untuk bergoyang. Duh musik ini malah membuatku pening. Tapiiii karena Jane sangat menikmati ini, aku berusaha untuk menikmatinya juga. Steve pun turun ke lantai dansa dan mulai bergoyang di dekat kami. Sesekali mengobrol dan bergoyang bersama perempuan entah siapa. Kasihan istrinya.
Adrian dimana?
Dia rupanya duduk di bar sambil... oke, dia memandangiku. Seperti CCTV yang menyorot satu titik terus menerus. Aku.
Sebisa mungkin aku abaikan pandangan Adrian yang seakan mengikatku bagai rantai. Aku tetap menikmati waktuku bergoyang mengikuti musik. Sampai...
"Hey, you look so pretty,"
Aku menoleh ke arah kiri, memastikan orang yang berkata tersebut merujuk kepadaku atau bukan.
"Edward," dia mengulurkan tangan ke arahku, masih sambil sedikit bergoyang. Kemudian aku sadar bahwa dia benar-benar bicara kepadaku.
"Amanda," aku membalas uluran tangannya dan agak berteriak agar suaraku terdengar.
"Beautiful name," puji Edward. "Jakarta?"
"Yeah. Lo?"
"Singapore actually. But my father was born in Jakarta and then we moved to Singapore. I'm here for fun,"
Wow, anak orang kaya yang jalan-jalan ke Bali Cuma untuk bersenang-senang. Okay I get it.
"Alone?"
"With my friends," Aku bermaksud menarik Jane dan mengenalkannya ke Edward ketika tak kulihat Jane dimana pun. Steve juga. Adrian, memikirkannya pun aku tak berani.
"Guess your friends already got their own interest," kata Edward sambil berkedip.
"Maybe," kataku sambil tertawa garing.
Aku hampir berpamitan dari Edward dan mencari Jane ketika tiba-tiba saja Edward sudah memelukku dan tangannya meraba bokongku.
"Hey," aku berteriak dan menurunkan tangannya.
"Come on. We're here for fun right?"
Dia masih saja berusaha untuk menarikku mendekat. Shoot, aku datang kesini bukan untuk menjadi korban one night stand. Damn it.
"Let your dirty hands off my girl,"
Tiba-tiba saja Adrian sudah berdiri di antara aku dan Edward. Oh yeah, persis yang kuinginkan. Drama percintaan ala Twilight Saga. Cih.
"Who the hell are you? Her guardian?" cibir Edward. Tinggi mereka sama jadi keduanya tidak ada yang merasa terintimidasi oleh satu sama lain. Lagipula wajah keduanya juga sama-sama ganteng.
"She's mine," gumam Adrian, suaranya dingin.
"Ayo pergi," Aku memutuskan untuk menarik keluar Adrian dari sini. Tak peduli dimana Jane dan Steve sekarang berada. Sebelum orang-orang mulai mencurigai ada hal-hal kurang menyenangkan disini.
"Find another woman for you lust," ancam Adrian sebelum dia menyeretku keluar dari Engine Room Bali.
"Ah tenang," seruku begitu kami sudah berada di luar Engine Room. Suasana lebih hening daripada di dalam.
"We should never came to this place," gumam Adrian. Lalu dia mulai berjalan sambil memasukkan tangannya ke saku jeans.
"Kita bakal ninggalin Jane dan Steve?"
"Mereka bisa pulang sendiri," jawab Adrian tanpa berhenti ataupun berbalik memandangku.
Aku mengerti. Kami mulai berjalan pelan kembali menuju hotel. Bahkan belum ada satu jam kami berada di Engine Room. Belum ada satu jam kami menikmati penawaran surga dunia di Bali ini.
Jarak dari dari Engine Room ke Hard Rock Hotel yang kurang lebih hanya 1,2 kilometer kami tempuh dengan berjalan kaki. Bali di pukul 10 malam masih ramai oleh para turis. Hanya saja kami berdua malah tenggelam dalam kesunyian. Tidak ada kata terucap. Hanya bunyi ketukan sepatuku yang menjadi musik latar belakang perjalanan kami.
Aku terus memperhatikan sosok Adrian yang berjalan di depanku. Dia kembali jadi sosok yang hanya bisa aku pandangi dari jauh. Sosok yang hanya berani kubayangkan bagaimana rasanya mengobrol dengan dia, memandang matanya, menyentuh tangannya, menyibakkan rambutnya, tertawa bersamanya. Aku belum berhasil memenuhi permintaan Susan untuk mengembalikan tawa di wajah Adrian.
"Capek?" Adrian tiba-tiba berhenti dan berbalik.
"Eh," Aku jadi grogi sendiri. Menunduk melihat kakiku yang mengenakan heels setinggi 7 senti. "I'm fine."
Adrian tidak berkomentar apa-apa tapi dia memilih untuk menungguku sehingga kami berjalan bersebelahan. Dia memang tidak melakukan apa-apa selain berjalan berdampingan denganku.
Hard Rock Hotel Bali sudah tampak dan kami mulai masuk. Diam-diam aku merangkai kalimat yang akan kuucapkan ketika kami berpisah menuju kamar masing-masing.
"Ehm. Thank you. Er.."
"Ya," Cuma itu balasannya.
Aku memutuskan untuk mengangguk dan masuk ke lift menuju kamarku di lantai 3. Saat aku berbalik, Adrian masih berdiri di depan Resepsionis.
"What happen?"
"Card key dibawa Steve. Aku tunggu Steve disini," jawab Adrian sambil (tumben) memandangku.
"Steve kemungkinan masih akan lama di Engine Room. Kamu bisa..."
Haruskah kukatakan? Katakan tidak? Amanda kenapa kamu plin plan begini.
"Kamu bisa menunggu di kamarku," Kuberanikan diri untuk berkata. Pelan, pelan sekali. Adrian kaget. Sebentar, hanya sebentar. "Maksudku, daripada kamu nunggu disini sambil duduk, di, di kamar kamu bisa sambil istirahat. Aku, aku gak akan mengganggu,"
***
Apa yang akan terjadi berikutnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cure of Our Secrets - END (GOOGLE PLAY)
RomanceMencintai seorang Adrian bukanlah perkara mudah. Selangkah mendekat, sepuluh langkah dia menjauh. Tapi tak ada kata menyerah dalam kamus Amanda. Apalagi saat ia tahu bahwa Adrian punya rahasia. Rahasia yang membuatnya seperti Pangeran Es. *** Cerit...