Menurutmu, kita bisa jatuh cinta pada orang hanya melalui 3 kali pembicaraan? Nggak? Aku bisa.
Obrolan kami yang pertama adalah ketika ia baru pindah ke divisiku. Perusahaan tempatku bekerja adalah perusahaan finance yang terdiri dari puluhan divisi. Aku sendiri bekerja di Divisi Marketing. Kami bertugas untuk membuat program-program marketing yang berguna untuk menarik pasar agar tertarik untuk membeli produk kami. Intinya seperti itu. Program yang kami buat melibatkan nasabah, klien, ataupun stakeholder. Beberapa program melibatkan perjalanan ke luar negeri atau hanya sekedar kerjasama untuk meningkatkan loyalitas berupa program-program diskon. Ada juga Divisi Public Relation yang urusannya mengurusi publikasi dan media. Bagaimana tanggapan media terhadap perusahaan kami juga ditangani oleh divisi ini. Tidak hanya ke luar, perputaran informasi di internal perusahaan pun dilakukan oleh Divisi Public Relation. Ada juga divisi Sales. Nah kalau yang ini bertugas benar-benar terkait penjualan. Mereka yang mengurusi kerjasama dengan dealer, mengatur harga, program penjualan, dan lain sebagainya. Divisi Human Capital juga ada. Dengan jumlah pegawai sebanyak 15 ribu di seluruh Indonesia, Human Capital perusahaanku bergerak tanpa henti demi memenuhi kebutuhan kami para karyawan. Tidak hanya itu, ada juga divisi lain di perusahaanku, ehm, perusahaan tempatku bekerja. Tapi tidak, aku tidak bermaksud menjelaskan divisi apa saja yang ada di United Finance. Aku mau bercerita tentang dia.
Sebuah kebiasaan yang memang patut, bahwa siapapun yang baru masuk ke tempat baru harus dikenalkan. Dia dibantu dengan Mbak Dina, berkenalan ke setiap meja, berusaha keras langsung mengenal siapapun yang dia salami. Beberapa orang sudah mengenal siapa dia, beberapa lainnya masih harus bertanya apakah dia anak baru dari eksternal atau karyawan rotasi. Dia menjawab dengan singkat bahwa dirinya adalah seorang pindahan dari Divisi Human Capital ke Divisi Marketing.
Suaranya yang berat dan dalam mengucap, "Adrian." Sebelum mulai menjawab pertanyaan yang dilontarkan semua orang. "Sudah lama di UF?", "Pindahan dari mana?", "Kenapa pindah?", "Pindah kepengen sendiri atau keputusan perusahaan?"
Begitu dia menyebutkan namanya, aku sudah langsung terpana. Suaranya sontak menggetarkan hatiku yang sepertinya memang sedang HBL alias Haus Belaian Lelaki.
Jane, teman dekatku yang sedang bersamaku saat Adrian dikenalkan, langsung menyenggol tanganku karena tanpa sadar mulutku membuka dan wajahku bengong. Seperti di film-film saat pemeran utama pria yang gantengnya luar biasa, melintas di depan para wanita. Adrian nampak tidak terganggu dengan sikapku yang begitu aneh. Dia hanya mengangguk setelah aku menyebut namaku dan langsung melakukan aksi bengong.
"Kenapa sih lo?" bisik Jane.
Aku menggeleng. Dalam hati bersorak sorai. Dia tipe gue, Jane! Wajahnya yang berkulit putih bersih, matanya yang cenderung agak sipit, hidungnya yang dari samping benar-benar berbentuk segitiga siku-siku, rahangnya yang tegas dan berbentuk persegi, juga bibirnya yang agak tebal langsung membuatku berpikir bagaimana rasanya dicium Adrian. Belum lagi badannya yang tinggi sekitar 175 senti dengan lengan kekar, sepertinya terbiasa berolahraga. Gaya berpakaiannya yang sebenarnya standar, kemeja dengan celana pantaloon, tapi menunjukkan aura kesederhanaannya. Singkat cerita, ya aku sudah tertarik pada Adrian sejak pertama kami berkenalan.
Apalagi ketika Mba Dina, yang memperkenalkan kami langsung nyeletuk, "Kalian kan satu universitas, jangan-jangan kenal lagi di kampus." Ini semacam pertanda bagiku bahwa kami punya hal yang sama dan bisa kujadikan bahan pembicaraan. Adrian mulai bertanya padaku berasal dari fakultas apa dan angkatan berapa.
Ternyata dia 3 tahun lebih tua dari aku sehingga hanya sedikit orang yang sama-sama kami kenal karena jurusannya pun berbeda. Orang yang dia sebut, aku tak tahu. Orang yang aku sebut, dia tak tahu. Bye kesempatan ngobrolin kampus!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cure of Our Secrets - END (GOOGLE PLAY)
RomansaMencintai seorang Adrian bukanlah perkara mudah. Selangkah mendekat, sepuluh langkah dia menjauh. Tapi tak ada kata menyerah dalam kamus Amanda. Apalagi saat ia tahu bahwa Adrian punya rahasia. Rahasia yang membuatnya seperti Pangeran Es. *** Cerit...