"Hey, um, I'm just thinking that you're gonna like it," dengan modal wajah tebal aku menghampiri meja Adrian. Dia mengangkat wajah dari dokumen yang penuh coretan. Bergantian memandang aku dan kotak Tupperware yang kubawa.
"Apa ini?" tanyanya dingin.
"Nasi bakar. Gue buat sendiri, dibantu ibu. Bisa buat makan siang lo. Tapi kalau lo gak mau, gue titip bawain buat mama. Mungkin mama suka,"
Adrian kembali menekuni dokumennya.
"Simpan aja,"
"Oke, um, thanks Dri,"
Aku berbalik dan kembali ke mejaku. Saat ini baru pukul 9 pagi. Masih 3 jam menuju waktu makan siang. Akhirnya kuputuskan untuk kembali maju dan berjuang. Demi harapan mama yang bertumpu di bahuku dan 'janjiku' pada ibu bahwa aku ingin membantu Adrian atas rasa sayangku padanya. Biarlah respon dingin yang kudapat. Setidaknya aku berusaha. Ketika kita berusaha, hasil yang didapat antara berhasil dan gagal kan? Sementara ketika kita tidak berusaha sama sekali, hasilnya hanya gagal.
Aku berusaha konsentrasi bekerja dan tak memikirkan bagaimana tanggapan dia terhadap masakanku. Hingga pukul 12 ketika Adrian entah ke mana, Tupperware itu masih berada di tempat dimana aku menaruhnya pagi tadi. Namun ketika waktu pulang, aku melihat Adrian memasukkannya ke dalam tas dan dia pun pulang.
Setidaknya mama dapat mencicipi masakan buatanku.
***
"Good luck for today, Dri," kukirim pesan ke nomor Adrian. Hari ini ada pertandingan basket dalam rangka ulang tahun sebuah lembaga keuangan. Berdasarkan info dari Satrio, Adrian masuk dalam tim. Itulah kenapa dia tidak masuk kemarin. Rupanya bertanding. Pertandingan berlanjut hingga hari Sabtu untuk babak semi final dan final.
Aku sudah siap untuk membawa beberapa bekal dan memberi dukungan untuk tim UF. Pukul 10 aku tiba dan kuhampiri Irna, manager tim basket.
"Hei, Na,"
"Hei Mbak Amanda," sapa Irna sumringah.
"Udah mulai tandingnya?" aku duduk di samping Irna yang menjaga barang-barang para pemain.
"Bentar lagi mulai Mba. Tumben nih datang. Mau nontonin siapa?" Irna melirik iseng, senyum-senyum penuh misteri.
Aku tertawa. "Nonton aja Na. Eh ini ada cemilan buat nanti abis tanding,"
Kuulurkan kotak berisi makanan, buah dan kue, dan diterima Irna dengan berseri-seri.
"Makasih banyak Mba. Pasti pada seneng deh."
Pertandingan dimulai. Siapa lagi yang kuperhatikan selain dia yang bernomor 14. Dia berlari kesana kemari, menerima bola dari rekan setimnya. Melakukan beberapa shoot, ada yang masuk dan ada yang tidak. Wajahnya berkeringat tapi dia begitu bahagia, begitu hidup. Aku makin jatuh cinta. Pertandingan berakhir dimenangkan oleh tim UF. Ini artinya kami bergerak ke babak final.
"Na, kabari kalau finalnya udah mulai ya,"
"Lho Mba Amanda mau ke mana?"
"Mau nunggu di tempat lain aja,"
"Gak mau ketemu anak-anak?"
Aku menggeleng. Menepuk pundak Irna lalu kabur sebelum Adrian menyadari aku hadir di GOR.
Pertandingan final dimulai setelah makan siang. Aku kembali menonton bersama Irna yang sekarang lebih bersemangat. Ia berteriak-teriak memberi dukungan dan arahan. Sementara aku Cuma duduk diam, tegang melihat kejar-kejaran skor yang terjadi. Ada pergantian pemain, Adrian beristirahat di bangku cadangan. Tiba-tiba dia berbalik dan menghampiri tempatku duduk dan Irna. Aku kaget, belum sempat aku kabur, dia sudah berdiri memandangku yang salah tingkah.
"Air Na," ujarnya. Irna menyodorkan dua botol air mineral ukuran 1,5 L kepada Adrian lalu dia kembali ke samping lapangan. Aku menghela nafas.
"Lagi berantem ya Mba?" tanya Irna tiba-tiba.
"Eh? Apa?"
"Mba Amanda sama Bang Adrian pacaran kan? Kok barusan diem-dieman?"
"Eh nggak. Siapa yang bilang begitu?"
Irna terkikik. "Ada beberapa yang pernah liat Mba Amanda dan Bang Adrian jalan bareng. Sekarang juga datang nontonin tanding basket,"
Aku tersenyum masam. Dia tidak tahu bagaimana kenyataannya.
Pertandingan dimenangkan UF. Para anggota tim berpelukan riang, termasuk Irna. Aku menyelinap kabur diam-diam.
***
Seminggu setelah kemenangan di pertandingan basket, aku membuat fruit cake dan mengantarkannya ke rumah Adrian. Waktu menunjukkan pukul 10 pagi saat aku tiba. Mama dan papa menyambut dengan suka cita. Suasana rumah terasa sepi.
"Adrian lagi main basket sama anak-anak kompleks," kata mama seakan menjawab pertanyaan yang kulontarkan dalam hati.
"Oh," aku nyengir.
"Sini duduk, Amanda. Bisa sekalian bantu om isi TTS?"
"Bisa om," Hanya dengan papa Adrian aku masih belum berani memanggilnya 'papa'. Bukan berarti beliau tidak menyukaiku. Hanya saja aku belum berani.
Aku dan Om Ferdi mengerjakan TTS sambil menikmati fruit cake yang kubuat. Mama juga sedikit banyak nimbrung menyelesaikan TTS. Sekitar pukul setengah 11 Adrian masuk dan kaget melihatku duduk di ruang keluarganya.
Adrian masih berkeringat setelah bermain basket. Aku rela saat ini juga mengelap seluruh keringatnya.
"Dri, ada fruit cake nih dari Amanda. Kamu mandi terus makan di sini ya," kata mamanya. Adrian mengangguk lalu menaiki tangga.
Selama 15 menit aku menunggu sambil mengobrol (TTS sudah habis), Adrian muncul dengan wajah segar. Ia mengenakan celana pendek dan kaus. Begitu santai.
"Cobain nih, fruit cake buatan Amanda," mama mengulurkan piring kecil berisi fruit cake yang sudah diiris. Adrian menerima dan langsung mencicipinya.
"GImana?" mama Adrian yang bertanya, tapi aku juga mencondongkan tubuh, penasaran. Adrian memandang dua perempuan di depannya bergantian.
"Enak," jawabnya singkat lalu menghabiskan jatahnya. Aku tersenyum tulus ke arahnya. Namun dia nampaknya tak melihat senyumku atau sengaja tak melihat ke arahku.
"Amanda mau bantu mama masak untuk makan siang?"
"Boleh ma," Dengan bersemangat aku mengikuti mama ke dapur dan mulai mengeluarkan bahan untuk menu makan siang.
Samar-sama kudengar suara papa Adrian. "Boleh tuh Amanda jadi menantu papa," Aku tidak mendengar jawaban Adrian tapi aku tersenyum mendengar komentar tersebut.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
The Cure of Our Secrets - END (GOOGLE PLAY)
Roman d'amourMencintai seorang Adrian bukanlah perkara mudah. Selangkah mendekat, sepuluh langkah dia menjauh. Tapi tak ada kata menyerah dalam kamus Amanda. Apalagi saat ia tahu bahwa Adrian punya rahasia. Rahasia yang membuatnya seperti Pangeran Es. *** Cerit...