+ 6 +

10.5K 1K 16
                                    

Seminggu setelah pertemuan dengan Susan, aku berusaha tidak memikirkan dia. Aku tidak tahu dan tidak menyangka Adrian pernah punya calon istri. Kapan mereka rencananya akan menikah? Kenapa mereka tidak jadi menikah? Mereka kenal dimana? Lalu kenapa sekarang Susan sudah menikah dan sedang hamil? Berbagai pertanyaan muncul di benakku. Ingin kutanyakan itu kepada Adrian ataupun mamanya. Tapi Adrian bahkan tidak tahu bahwa aku pernah bertemu dengan Susan. Mama Adrian pun tidak membahas perihal itu lagi. Setelah bertemu Susan bahkan mama Adrian agak lebih pendiam. Aku mau tahu, tapi aku tidak tahu harus bertanya pada siapa. Aku perlu tahu, karena aku suka pada Adrian, aku butuh informasi lebih tentang dia.

Adrian masih menganggapku tidak ada. Aku sendiri sekarang sudah kembali seperti dulu. Diam-diam memandangi dia yang sedang bekerja. Pernah suatu kali aku sedang melamun sambil memandanginya. Dia menyadari bahwa aku sedang menatapnya. Dia balas memandangku tapi saat aku tidak kunjung menunduk, dia yang menyerah. Menghela nafas lalu berdiri.

Pertanyaan tentang Susan selalu menghantui aku.

Sepertinya aku dan Susan sama-sama penasaran akan satu sama lain. Katakanlah perasaan kami nyambung. Di hari Sabtu sore setelah selesai membuat kue untuk dikirim ke rumah calon mertua (tsailah, tentu saja ini konspirasi para emak), ada nomor asing (literally asing, karena bukan nomor Indonesia dan aku tidak tahu siapa. Apa ini Tom Cruise tiba-tiba nelepon aku?) yang meneleponku.

"Halo?" kataku saat kuangkat dengan ragu-ragu.

"Amanda?"

"Amanda disini," aku mengurangi kebiasaan berkata 'iya' setelah mendengar info bahwa ada oknum-oknum tertentu yang merekam percakapan telepon. Percakapan itu mereka gunakan sebagai bukti pendukung bahwa orang yang mereka hubungi setuju untuk menjadi nasabah program asuransi.

"Ini Susan,"

Aku diam. Masih ingat kata-kata mama Adrian pasca bertemu dengan Susan. Rasanya aneh kan kamu bisa akrab dengan mantan pacar (calon) pacarmu. Pede banget aku ya bakal jadi pacarnya Adrian.

"Ada apa Susan?" Aku mengatasi kekagetanku dan melanjutkan obrolan.

"Ada yang harus aku sampaikan ke kamu. Tapi ga bisa lewat telepon. Kita harus ketemu langsung,"

"Oke," oh mungkin inilah jawaban atas rasa penasaranku selama ini.

"Tapi aku tidak memungkinkan untuk naik pesawat. Kamu bisa ke Singapore? Mungkin sekaligus liburan?"

Ebuset. Dia minta aku ke Singapore seakan-akan minta aku ke Bekasi. Kalau bekasi sih tinggal naik Commuter Line. Tapi ke Singapore?

"Ini tentang Adrian. Menurutku ini penting kamu ketahui. Bukan hal yang buruk kok. Malah, kamu bisa menolong Adrian," Susan menambahkan.

Kali ini aku sukses penasaran. Aku duduk di tepi tempat tidur. Bimbang menentukan apakah akan berangkat atau tidak. Kumainkan gelang yang melingkar di pergelangan tanganku dan kutatap langit-langit.

"Oke, tapi mungkin aku baru bisa kesana pekan depan. Dengan segala urusan tiket dan ijin yang harus kubuat,"

"Ya. Aku akan menunggu kamu di Bandara. Kamu bisa hubungi aku di nomor ini. Terima kasih Amanda."

"Ya Susan," kututup teleponnya. Urusan apa yang tidak bisa dibicarakan sampai aku harus menempuh ratusan kilometer menuju Singapura?

***

Aku sampai di Singapura malam hari karena aku berangkat sepulang urusan kantor. Tidak ada yang tahu bahwa aku berangkat ke Singapore untuk bertemu Susan. Aku hanya bilang ingin sedikit liburan. Ibu tidak banyak bertanya dan ayah pun menyetujui. Mama sempat menyipit curiga saat aku bilang tidak bisa menemaninya makan siang di akhir pekan karena akan berangkat ke Singapura. Namun beliau tidak banyak bertanya. Hanya mendoakan keselamatanku ke sana dan kembali ke tanah air.

The Cure of Our Secrets - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang