+ 17 +

9.7K 1K 17
                                    

Keputusanku sudah bulat. Daripada hati dan perasaanku kembali hancur berkeping-keping, aku akan menyerah saat ini juga. Hari ini juga, hari pertama aku kembali bekerja, aku akan menemui Pak Urip dan meminta ijin untuk pindah ke tempat lain.

"Kenapa?"

Adalah pertanyaan pertama Pak Urip saat kuutarakan keinginanku untuk pindah dari Divisi Marketing.

"Ada...alasan pribadi Pak. Yang membuat saya merasa gak nyaman untuk terus berada disini. Saya tahu bahwa saya gak bisa mencampurkan urusan pribadi dan profesional. Tapi lingkungan kerja itu penting kan Pak dalam kehidupan sehari-hari? Jadi kalau saya merasa kurang nyaman dengan lingkungan kerja, saya khawatir ini bisa berdampak ke pekerjaan saya juga."

"Sebenernya saya tinggal bilang, kamu harus bisa menerima kondisi lingkungan kamu. Tapi gak bisa semudah itu. Saya paham sekali bahwa lingkungan yang mendukung bisa membuat seorang karyawan makin nyaman bekerja. Yang saya sayangkan, kamu salah satu andalan saya dalam menjalankan ide-ide kreatif untuk United. Kalau kamu mau pindah, saya akan merasa sangat kehilangan."

"Maaf Pak," aku Cuma bisa meminta maaf saja.

"Saya diskusikan dulu dengan Pak Kiki ya. Nanti saya kabari kamu lagi,"

"Iya Pak. Terima kasih,"

Aku pamit undur diri dari ruangan Pak Urip. Berjalan pelan kembali ke mejaku. Aku baru sadar bahwa mejaku penuh dengan dokumen, ucapan semoga cepat sembuh, dan beberapa paket kiriman dari cabang. Sepertinya hari pertama aku kembali bekerja adalah merapikan hal-hal yang berantakan sejak aku izin sakit. Termasuk membereskan hatiku yang berantakan.

"Mau gue bantu?" tawar Jane.

Aku menoleh pada Jane yang menggeser duduknya ke sebelahku.

"Boleh. Tolong beresin semua ini ya," kataku menunjuk semua dokumen di meja.

"Duh kalau itu gue gak berani deh. Ntar kalau ada yang ilang, gue yang kena. Gue beresin kartu dan surat aja ya,"

"Oke,"

Kami berdua mulai membereskan barang-barang di mejaku yang sudah kutinggalkan satu minggu.

"Gue minta pindah, Jane," kataku pelan.

"Serius?" Jane ikut berbisik.

"Iya. Gue kayaknya gak tahan kalau terus disini dan liat Adrian setiap hari. Sementara hubungan kami udah ancur berantakan kayak kalau lo mecahin vas bunga."

"Lo menyerah dengan dia?"

"Akhirnya, iya."

"Terus boleh sama Pak Urip?"

"Dia gak bilang nggak dan gak bilang iya. Katanya mau ngobrol sama Pak Kiki dulu,"

"Ya ampun gue pasti sedih kalau lo pindah. Kenapa gak Adrian aja sih yang pindah?" Jane mendengus dan melirik ke meja Adrian. Aku ikut melirik takut-takut. Adrian sedang menelepon. Wajahnya terlihat serius.

"Dia mungkin betah disini, Jane," kataku pelan. Beres memilah dokumen penting dan tidak, mendesak dan tidak.

"Lagian dia juga baru di sini 2 tahun sih ya. Pindah-pindah mulu kerjanya kalau bener dia yang pindah,"

Aku mengangguk.

"Amanda,"

Aku mendongak. Steve melongok dari kubikel sebelah.

"Dipanggil Pak Kiki di ruangannya sekarang,"

"Oh oke. Thank you Steve,"

"Sama Adrian juga,"

The Cure of Our Secrets - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang