Chapter 1 - Sierra

352 11 8
                                    

cynosure ; something that strongly attracts attention and admiration

~~~

I've come to a conclusion that,

life has started without him,
therefore,
why should it stop with him leaving?
But,
don't let anyone get too close so they wouldn't have the authority to abuse you emotionally.
-s. m. 03:21 am, jakarta city.

2016

SIERRA

Siapa sih anak sekolah di dunia ini – atau setidaknya di Indonesia – yang membenci kantinnya? Sejelek-jeleknya tempat itu, pasti seluruh siswa memilih untuk berada di kantin daripada berada di kelas mempelajari ikatan kovalen polar. Maaf, aku memang baru saja pengambilan nilai praktek ikatan kimia, jadi pembicaraanku ngalor ngidul.

Intinya, kita semua suka berada di kantin. Entah itu memang untuk makan, bersenda gurau, atau hanya sekedar menghirup oksigen tanpa melakukan apa-apa. Yang terakhir ini yang paling sering aku lakukan. Hanya saja, meskipun tidak terlihat melakukan apa-apa, aku sebenarnya sedang memperhatikan seseorang.

Namanya Sebastian Ezequiel Steijn, atau panggil Bastian atau Bas untuk lebih singkat. Kelas 11 IPA 3, nomor absen 31, punya 2 orang adik, tinggi, agak kurus kerempeng, kulitnya berwarna tembaga dan amat sangat ganteng. Dari sekian detail berupa fakta di atas, aku harus menyelipkan opiniku di akhir. Ganteng kan relatif.

"Sierra! Oi, lagi merhatiin Sebastian?" Sebuah tepukan keras pada pundakku membuat aku terlonjak dan tersedak bakwan gorengku sendiri. Butuh waktu beberapa saat bagiku untuk mengatur nafas kembali setelah tersedak, ditambah hidungku yang terasa benar-benar pedas karena tersedak sambal kacang juga. Saat menoleh ke belakang, oknum yang membuatku tersedak itu sedang tertawa dengan pundak naik turun. Bahagia.

Oknum tadi bernama Ansellia Virginia Tjajahdi. Biasa dipanggil Ginny. Teman paling dekatku semenjak aku menapaki kaki pertama kali di kelas X8. Sama seperti aku, rambutnya acak-acakan dan mengenakan seragam yang super kebesaran. Habis, mau gimana? Aku kan tidak ingin mengambil resiko dilemparkan tatapan sinis oleh kakak kelas karena ketahuan mengecilkan seragam. Meskipun begitu, sebenarnya kakak-kakak kelasku baik, kok!

"Apa sih lo, Gin? Siapa yang merhatiin Sebastian? Emangnya Sebastian ada di kantin?" Aku pura-pura bego. Padahal, jelas-jelas Sebastian ada di sudut lain kantin sedang berbincang-bincang diselingi gelakan tawa dengan anak-anak kelasnya. Laki-laki semua. Tolong jangan pikirkan kenapa aku menambahkan detail tidak penting tadi.

"Iya deh. Si Sebastian mah lagi make invisibility cloak jadi nggak keliatan sama lo." Ginny mendecak dan duduk di sebelahku. Kantin memang tidak seramai pada istirahat pertama, jadi kami, anak-anak kelas 10 berkasta sudra ini sudah bisa duduk di kursi-kursi panjang kantin. Apalagi sebenarnya menu-menu makanan kantin sudah tinggal sisanya di istirahat kedua.

"Iya deh. Gue ngeliatin dia." Aku akhirnya mengalah dengan Ginny, suatu hal yang langka.

"Gotcha!" Ginny menepukkan kedua tanganya dalam kemenangan. "Walaupun begitu, gue harus mengatakan bahwa, lo itu super amat sangat obvious tau nggak? Kalo aja si Sebastian dan kawan-kawan itu tipe cowok kayak anak-anak mini soccer, pasti daritadi mereka udah sadar kalo ada cewek cupu kelas 10 lagi diem-diem merhatiin dari sudut kantin."

"Kok lo membuat gue terdengar seperti penguntit creepy sih?!"

Ginny tergelak. "Lha, emang lo kayak gitu!" Aku melengos. "Untung aja Sebastian oblivious dan baik dan emang ganteng. Mungkin udah biasa juga diliatin sama cewek-cewek nggak jelas."

To Love or To Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang