hiraeth ; homesickness for a home you can't return to or that never was
~~~
Isn't it funny?
You think that there's nothing really wrong on your life,
Until,
One person comes, walking inside it
Now you question everything, every decision that you've made before this person comes because,
They all feel like such ratchet shenanigans after this person comes and colors your life
-Sebastian Steijn (about a friendly banter on October, written in the last page of Biology's notebook because really, nothing's inside the goddamn notebook except my pointless doodles)
***
SEBASTIAN
"Duluan, Boy!" Dari boncengan motor Lorenzo, Benji berteriak antusias. Gue hanya melambaikan satu tangan sebagai tanda perpisahan kita di Pejaten Barat. Rumah Lorenzo dan Benji emang ada di arah yang sama, sementara cluster tempat gue tinggal ada di daerah Jakarta Selatan yang sedikit lebih sepi.
Jadi, untuk kembali ke rumah, gue terlebih dahulu melewati Voltarta. Jam tangan yang meliliti pergelangan tangan kiri gue masih menunjukkan pukul 15.35 yang berarti ekstrakurikuler basket baru aja mulai selama kurang lebih 20 menit. Harusnya, gue masih bisa ketemu beberapa temen di sekolah yang emang anak basket. Entah kenapa untuk hari ini rumah bukan menjadi tempat yang paling gue suka. Padahal, satu kelas gue—11 IPA 3—aja tau betapa cintanya seorang Sebastian Ezequiel Steijn dengan rumahnya. Ajakkan ke dufan, ke Sentul, dan kemanapun itu selalu gue tolak karena gue anak rumahan. Kasian deh, Benji sama Lorenzo selalu gak full team dengan gue ketika lagi jalan-jalan sekelas.
Selama perjalanan, pikiran gue mengembara. Tadi akhirnya gue, Benji, dan Lorenzo gak jadi ke Kemang Village untuk nyari kado. Kita mendatangi Batik Keris di Pasaraya Grande dan dalam waktu singkat Lorenzo langsung menjatuhkan pilihannya ke scarf batik yang menurut gue bagus banget. Waktu kita mampir buat makan di KFC Kemang, Lorenzo bilang kalo bokapnya sering muji Tante Lenny cantik kalo make scarf. Menimpali cerita itu, Benji cerita gimana bokapnya selalu minta dipijetin anak-anaknya saat weekend. Walaupun biasanya saat Benji melakukan tugas itu, Om Hendrik bakalan selalu mencerca Chelsea—grup sepakbola favorit teman gembul gue.
Mendengarkan cerita mereka, gue sadar. Memori gue akan Papa gak begitu banyak. Okelah Benji dan Lorenzo sering bilang karena pekerjaan Papa gue jadi sering ke luar negeri buat liburan. Tapi gue juga pengen melakukan hal-hal kecil sehari-hari dengan beliau. Gue pengen malem-malem kita sekeluarga beli martabak kayak kebiasaan Lorenzo dan keluarganya atau subuh-subuh kabur dari kamar dan radar Mama untuk nonton pertandingan sepak bola. Gue menghela nafas berat.
Saat memasuki pelataran halaman sekolah, gue baru sadar kalo langit udah bener-bener gelap. Mungkin gue dari tadi gak sadar karena pikiran gue sendiri juga sama gelapnya? Siapa tahu. Akhirnya, air tumpah dari langit setelah gue duduk santai di kursi kayu panjang pos satpam. Gue meringis begitu mendapati lapangan basket kosong. Pak Andri pasti udah ngebatalin ekskul hari ini karena langit yang mendung. Great. Sekarang udah pukul 15.44 dan sekolah udah sepi. Jangan-jangan gue satu-satunya murid Voltarta yang masih ada di sekolah?
"Lah, Bas? Elu belon pulang?" Sesaat setelah gue mengeluarkan HP dan mau ngechat Benji untuk ngadu main Clash Royale, terdengar suara perempuan yang berlogat Betawi khas. Saat menoleh ke belakang, tatapan mata gue bertemu dengan tatapan mata Bu Wati

KAMU SEDANG MEMBACA
To Love or To Be Loved
Teen FictionTak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu, Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni Dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu Tak ada yang lebih bijak d...