Chapter 3 - Sierra

240 8 0
                                    

harbinger ; something indicating the approach of someone or something

~~~

my life right now may be far from perfect,

those sparks of madness have gone,

but at least,

i'm happy with this.

sometimes, in order to gain something, we should sacrifice something else.

This time,

I sacrifice,

My cheerfulness,

My optimism,

And just live my life.

-sierra martadinata, an excerpt of something I would never reveal.

SIERRA

Pernah penasaran gimana caranya mengindari keharusan untuk berbincang-bincang dengan orang lain hanya karena kamu sebobrok itu dalam berinteraksi? Aku tahu caranya. Walaupun belum tentu ampuh, sih.

Caranya gampang. Kalian tinggal pasang headset, buka novel paling tebal yang kalian miliki, dan ambil cemilan kesukaan kalian. Oh, jangan lupa duduk di pojokkan. Tentu saja melakukan hal-hal tersebut membuat beberapa orang memilih untuk tidak berinteraksi dengan kalian karena mereka pikir kalian sedang benar-benar sibuk dengan buku bacaan yang ada dan tidak bisa diganggu.

Sebenarnya, hal itu sering aku lakukan di jam istirahat. Mereka sudah cukup mengerti kalau aku sedang tidak dalam mood untuk ngobrol ngalor ngidul. Alasannya hanya satu; aku baru saja mendapatkan novel Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Gadis Pantai. Jujur saja, demi mencari harta karun itu, ada sebuah perjuangan yang harus dilakukan. Mengunjungi pasar loak, toko-toko buku tua, kediaman collector karya Sastra Indonesia, dan masih banyak lagi tempat yang harus dikunjungi demi mendapatkan novel-novel legendaris Indonesia yang sayangnya sudah mulai tertelan oleh zaman dan tergantikan dengan cerita-cerita romantis khas remaja.

Namun, setelah membaca bab pertama dari novel yang seharusnya menjadi sebuah trilogy ini membuatku sadar bahwa segala perjuangan datang ke pasar loak, setengah mati mencari alamat-alamat toko buku tua di google maps, dan mengunjungi rumah para collector yang unik-unik itu worth it. Gadis Pantai was beautifully written and timeless. Finger cross.

BRAK

Saat aku sedang berusaha keras menahan air mata ketika membaca bagian dimana si gadis pantai memberontak untuk membawa putrinya dari para ajudan si bendono jahat, tiba-tiba gebrakan terdengar. Dengan terlonjak, aku mendongak hanya untuk mendapati seorang anak laki-laki berdiri dengan ekspresi congkak.

"Kenapa, sih?" Sambil menghela nafas berat, aku menutup novel indah itu, setelah menandai bagian mana tempat terakhir kali kubaca. "Enggak suka banget ya ngeliat orang duduk anteng baca novel, Jul?"

Sedetik kemudian si congkak ini nyengir. Ekspresi sombongnya tiba-tiba sudah berubah menjadi ekspresi jenaka. "Sierra, jangan baca novel terus. Nanti lo tambah pinter. Sayang duit orangtua lo buat bayar uang sekolah bakal terbuang sia-sia karena anaknya udah terlalu pinter."

???

Oh, semuanya, perkenalkan, Julian Edgar Hermawan. Your typical bad boy. Seragam berantakan, gaya slengean, motor yang bagi beberapa orang keren abis-namun bagiku, berisik banget-dan, penakluk wanita nomor satu. Jujur aja, dia emang enggak jelek. Tulang rahangnya tajam, tatapan matanya intens, dan hidungnya bisa dijadikan perosotan. Oke, dia bukan hanya 'enggak jelek'. Julian adalah 'ganteng banget'. Tsk, aku harus mengakuinya.

To Love or To Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang