Are you gonna hurt? Are you gonna burn? Gonna answer me? Let me take your heart, love you in the dark. No one has to see.
SEBASTIAN
"Lesu amat muka lo kayak anoa lagi PMS." Benji menoel bahu gue saat pelajaran seni perspektif. Pelajaran yang gak ada esensinya di sekolah tapi selalu bikin semua anak IPA gak tidur kalo di rumah demi menyelesaikan tugasnya yang gila-gilaan atau membayar tinggi untuk joki tugas tersebut. Denger-denger ada yang bayar sampai 350 ribu. Mencengangkan.
Lagian gurunya cuma cengar-cengir bentar di depan kelas 20 menit abis itu ngilang ke ruang guru. Padahal pelajaran perspektif dijadwalkan selama 90 menit. 70 menit gabut, 20 menitnya gabut juga sih. Orang apa yang diocehin Pak Pandu gak ada faedahnya. Paling nanti disuruh liat tutorial dari youtube.
"Si Pak Pandu lagi ngomongin apa, sih? Daritadi senyum doang kayaknya." Benji masih terus bersuara, gue hanya melirik datar dari ekor mata. Teman gue yang satu ini kayaknya gak tahan banget satu menit aja gak berkomentar saat Pak Pandu cengar cengir di depan kelas.
Hari ini tepat minggu kedua, gue gak pernah melihat keberadaan Sierra. Aneh aja kayak tiba-tiba gue dan dia ada di dimensi yang berbeda. Yang mengherankan, gue ternyata repot-repot untuk menghitungi hari yang telah lewat setelah gue dan dia tiba-tiba jadi beda alam gini. Seolah-olah keberadaan dia selama kurang lebih seminggu dalam hidup gue memiliki arti besar.
"Bas, ngomong napa!" Benji tiba-tiba memukul kepala gue.
"Aduh." Gue hanya mengucapkan satu kata itu dengan nada datar. Bahkan gak berusaha untuk pura-pura kesakitan karena gue gak peduli sama sekali.
Pagi tadi Papa tiba-tiba udah berangkat aja ke Singapore. Mama bilang Papa nanti malem mau terbang ke Budapest, tapi jelas-jelas kedua bola mata Mama bengkak tadi. Perihal Papa beneran terbang ke Budapest apa nggak itu gak akan gue permasalahin disini. Yang gue kesel adalah, beliau pergi dan membuat Mama nangis.
Dua minggu terakhir, Mama dan Papa gak bisa dibilang mesra sebenarnya. Boleh aja tiap sarapan Mama mengolesi roti buat Papa, dan Papa membuatkan serta menyuguhkan kopi buat Mama. Tetapi, mata gue menangkap keadaan dimana mereka berdua berusaha untuk tidak saling bertatapan satu sama lain. Bahkan, sebenernya mereka gak ngobrol sama sekali.
Biasanya, Mama akan ngajak salah satu dari antara gue, Gerald, atau Lilia ngobrol. Lalu, Papa akan menimpali obrolan kami dengan singkat. Begitu pula sebaliknya. Meskipun kami terlihat ngobrol, atmosfer tegang selalu menemani. Malah, dari 20 menit waktu yang kami gunakan untuk makan bersama, obrolan yang ada hanya akan bertahan selama 3 menit. Jadi, acara makan bersama kami tetap lebih didominasi oleh kesunyian yang tidak nyaman.
Walaupun begitu, setidaknya setiap malam mereka masih tidur di dalam kamar yang sama.
"Bas, tadi pagi Bu Arini bilang ke gue proposal Edu Fair harus udah jadi nanti sore." Kali ini suara Benji terdengar kembali dan gue segera menoleh, kaget.
"Sumpah?"
"Hehehe," dia cengengesan. "Bercanda. Akhirnya gue diperhatiin juga."
Rasanya gue mau teriak kata-kata kasar. Namun gue berhasil menahan keinginan itu dan hanya memelototi Benji garang. Yang dipelototin malah menatap gue memelas membuat gue menghela nafas berat.
Lorenzo udah 4 hari gak masuk sekolah karena dia mau siap-siap operasi arthroscopic. Si member Super Junior Indonesian Version itu baru aja cedera karena olahraga basket yang memang giat dia tekuni. Minggu lalu, meniscus atau jaringan yang berperan sebagai bantalan antara tulang-tulang bagian bawah dan atas dari kaki pada lutut Lorenzo robek. Nyeremin juga sih, soalnya gue dan Benji yang gotong dia melihat langsung bagaimana menderitanya Lorenzo.

KAMU SEDANG MEMBACA
To Love or To Be Loved
Teen FictionTak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu, Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni Dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu Tak ada yang lebih bijak d...