I want my soul to touch your wrenching heart, I want to relieve your pain away, I want to be the little light that guide you in the darkest alley, and I'd let my life evolves around yours.. But, Baby, you're too down to earth that you'd never let anyone put you on the center of their lives.
-Sebastian.
SEBASTIAN
Gue mengerutkan kening dalam-dalam sambil membaca modul kesetimbangan kimia. Tangan gue boleh aja memegang buku kecil berisi rumus kesetimbangan ini, tetapi sebenernya daritadi pikiran gue gak sedikitpun menggubris jeritan-jeritan soal yang minta dikerjain. Bahkan, gue yakin, penjaga perpustakaan Rimba Baca ini heran ngeliatin ada anak Voltarta—sekolah seberang—gak jelas mampir dan nongkrong di lantai dua dengan sebuah buku kimia yang hanya dibengongin. Jelas-jelas belajar kimia harus ngerjain soal.
Sebenarnya, gue memang lagi butuh waktu sendirian merenung. Gue butuh waktu untuk menata ulang pikiran karena akhir-akhir ini karena otak gue terlalu penuh, daya konsentrasi gue ikut menurun juga. Sejujurnya, selama ini gue yang terlalu takut untuk menyelami pikiran sendiri karena terus terang, gue gak siap.
Rasa takut karena hubungan Mama dan Papa yang membingungkan. Mereka boleh tiba-tiba mesra di hari Sabtu kemarin, tetapi itu gak menjamin apa-apa. Rasanya, gue dan Gerald sedang nungguin bom waktu yang akan meledak kapan saja dalam bentuk pecahan piring dan kaca. Gue penasaran tentang kenapa mereka ribut sampai sebegitunya. Namun, di saat yang bersamaan, gue gak yakin udah siap untuk mendengar alasan perang aneh ini. Shit, gue gak mau musingin soal ini berulang-ulang.
Lalu, Eve. Apa gue bener-bener sayang sama dia? Atau, gue hanya nyaman sesaat karena dia dulu yang selalu ada saat hubungan gue dan Nina mulai terombang-ambing? Iya, dia yang nemenin dan ngehibur gue saat kelas 10 dulu pas Nina setiap hari menyalahkan gue sebagai alasan kenapa hubungan beda sekolah kita gak berjalan lancar.
Di malam prom, Nina dan gue berjanji dengan untuk tetap saling mempercayai satu sama lain sekalipun kita melanjutkan SMA di sekolah yang berbeda. Nina memilih untuk pindah ke Immaculata dan gue sebagai manusia paling mager untuk beli formulir dan tetek bengeknya, tetap lanjut di Voltarta. Saat itu gue yakin banget hubungan kita bakalan berhasil karena kita berdua gak pernah berlebihan. Berantem gak pernah berlebihan, sayang-sayangan juga masih batas normal. Hubungan kita gak meledak-ledak dan yang paling penting; kita percaya satu sama lain.
Tetapi, itu semua berubah tiba-tiba aja.
Waktu kelas 10, gue sekelas dengan cewek yang intinya hits banget lah di ibukota. Namanya Windy. Kontestan gadis sampul, beberapa kali masuk majalah remaja, photoshoot endorsement setiap pulang sekolah. Saat itu, Windy jadi inceran semua cowok. Semua orang berlomba-lomba ngechat dia lewat dunia maya, nyapa dia dengan lebay jika kebetulan berpapasan di sekolah, dan modus dalam bentuk lainnya yang ogah banget gue jelasin dengan terperinci. Gue gak ada hubungan apa-apa dengan si selebgram itu, gue aja gak punya instagram. Eh, gak nyambung.
Intinya, Windy gak ada hubungannya dengan gue kecuali kenyataan kalau kita sekelas. Denah tempat duduk gue di kelas aja jauh banget dari dia. Tetapi, entah kenapa Nina yakin gue naksir Windy. Heran deh gue darimana coba dia bisa mikir kayak gitu. Selama setahun sekelas bareng aja, frekuensi gue ngobrol dengan Windy bisa dihitung menggunakan jari satu tangan. Tapi Benji cerita kalau cewek udah insecure dan curigaan, udah sulit untuk dimengerti dan gue harus sabar kalo masih sayang dan mau bertahan dengan Nina.
Gue masih sayang banget sama Nina waktu itu. Jadilah gue memilih untuk sabar dan ngertiin dia. Gue gak boleh marah kalau dia pulang dianter cowok lain sementara gue foto sekelas dalam satu frame dengan Windy langsung dipermasalahin. Demi menjaga perasaan dia, sering banget muka gue gak ada di foto kelas X1 biar gue tidak terkesan foto bareng dengan Windy. Tetapi, ternyata itu semua gak cukup. Dia tetep curiga dan selalu nanyain Windy ke gue. Windy tadi ngapain. Windy masuk sekolah apa enggak. Ketika gue jawab, dia bakalan marah karena menurutnya gue terlalu memperhatikan Windy. Ketika gue bilang gak tahu, dia yakin gue berbohong.

KAMU SEDANG MEMBACA
To Love or To Be Loved
Dla nastolatkówTak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu, Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni Dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu Tak ada yang lebih bijak d...