Chapter 15 - Sierra

133 5 2
                                    

Bring your love, baby I'll bring my shame. Bring your protection, I'll bring you my pain. And that's my motherfucking words do, just don't let me love you.


SIERRA

"Perasaan gue aja, atau lo emang lagi ngejauhin Julian?" Ginny bertanya dengan nada penasaran begitu aku duduk di kursi sebelahnya. Sudah 4 bulan sekolah berjalan, aku dan dia masih dijadikan teman sebangku dan diberikan tempat di pojok belakang.

"Hah? Masa? Hahaha," aku tertawa kering.

"Iyalah." Dengus temanku ini. "Lo bahkan gak ngeliat ke matanya dia pas lagi ngomong tadi. Padahal, seorang Nicole Lasierra selalu melihat lurus ke mata lawan bicaranya saat lagi ngobrol, ya."

"Matanya Julian kan serem. Pandangannya itu lho, tajem banget."

"Halah!" Ginny menggeplak kepalaku. "Lo kenal Julian bukan baru-baru ini. Semua orang juga tahu kali kalo Julian nyaman ngobrol sama lo doang sebenernya. Dia kan juga bukan tipe manusia terbuka-terbuka banget. Jadi, kenapa lo tiba-tiba jauhin dia? Lo gak mikirin apa perasaan dia?"

Aku terdiam. Disini bukan hanya perasaan Julian yang harus aku pikirkan.

"Apa karena dia nyebat lo jadi ogah deket-deket sama dia?" Ginny masih mendesak. Aku menghela nafas berat.

Kenyataan bahwa Julian merokok sebenarnya telah lama aku ketahui. Bahkan mungkin sebelum anak-anak kelas atau anak-anak laki-laki di kelas tahu akan fakta itu. Malah sebenarnya, aku sendiri mengetahui kebiasaan buruk itu tanpa disengaja 2 bulan yang lalu. Di awal bulan Agustus yang panas.

Saat itu, aku sedang berjalan terburu-buru di ruko seberang Voltarta karena harus membeli bahan-bahan seperti kertas, lem, origami, dan sebagainya untuk menghias mading kelas yang akan dilombakan dalam rangka kemerdekaan Indonesia.

Waktu itu, persaudaraan antar murid-murid X8 belum begitu erat sehingga hanya ada 4 anak yang mau rela mengorbankan waktunya untuk menghias mading. Aku sebagai koordinator seksi mading kelas tentunya sangat terlibat aktif bersama dengan Elena yang merupakan koordinator seksi lomba serta Ginny sebagai teman baikku dan Kara sebagai teman baik Elena.

Di hari pertama pembuatan mading, Ginny sakit dan Kara tidak bisa ikut karena harus mengikuti ekstrakurikuler basket sebab sekolah sebelah mengadakan PORSENI di bulan yang sama. Sementara Elena sibuk membenahi kelas, aku harus berjuang sendirian membeli bahan-bahan ke Intermedia yang terletak di seberang sekolah.

Bahan-bahan yang terbeli terlampau banyak hingga kedua tanganku kebas dalam memegangi kantung plastiknya.

Saat itulah di dekat gerobak Es Doger di depan ruko samping Intermedia, aku mendapati Julian sedang berdiri dengan satu tangan disembunyikan di dalam saku celana panjang seragam berwarna abu-abu sementara pada tangannya yang lain dapat terlihat sebatang rokok terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengah.

Aku belum mengenal Julian secara dekat. Hanya sesekali ngomong jika perlu.

Awalnya, aku berencana akan berpura-pura tidak lihat dan menyelinap pergi. Tetapi, usahaku gagal ketika cowok berhidung mancung tadi memalingkan kepalanya. Sedetik kemudian mata tajam Julian menusuk ke dalam diriku. Dia sepertinya tidak begitu senang mendapati bahwa seorang teman sekelasnya berdiri, memperhatikannya menghembuskan asap rokok dari depan pintu kaca Intermedia.

Dengan mata memicing, kedua kaki panjangnya melangkah mendekati aku. Jujur saja, sempat ada rasa takut menjalari diriku melihat tubuh jangkung Julian mendekat. Apalagi, dia telah mencopot kemeja seragam dan hanya mengenakan kaus oblong berwarna abu-abu. Aura tukang pukul terpancar kuat dari wajahnya, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa Julian ahli dalam olahraga judo.

To Love or To Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang