Chapter 9 - Sierra

140 7 6
                                    


But, seriously,

Just by hearing someone mentioning one name,

My bright mood evaporates quickly too.

-Sierra's scribbles on Sebastian's history notes ^_^v

SIERRA

"Masih lama gak sih lo, Ther?" Tanyaku dengan ekspresi jengkel.

Therry teman sekelasku yang merupakan calon kapten cheerleader ini berhasil menyeret aku untuk turun ke bawah menemaninya ke kantin di istirahat pertama. Aku ulang, di istirahat pertama. Jadi, dapat disimpulkan bagaimana ramai dan pengapnya suasana kantin saat ini. Konser Coldplay aja kalah ramai dan berisik.

Dan saat ini aku sedang nemplok ke tembok, berusaha untuk tidak menghalangi lalu lalang murid-murid Voltarta yang kelaparan. Padahal, kalau dipikir-pikir jarak waktu antara jam sarapan dan jam istirahat pertama tidak terlalu berbeda jauh. Kenapa mereka cepat sekali laparnya, ya? Dasar, manusia-manusia kelaparan. Sementara itu Therry dengan santainya menunggu pesanan crepesnya sambil bersiul lagu Spice Girls yang berjudul Wannabe. Menyebalkan.

"Ngapain sih lo nemplok di tembok gitu kayak cicak?" Hina Therry. Aku hanya membalas hinaan yang dilontarkannya dengan cibiran. Cibiran itu kemudian dibalasnya dengan memutar kedua bola mata. Kesabaranku memang sedang benar-benar diuji.

"Eh, masa si Bas sakit. Padahal kemaren kayaknya masih baek-baek aja ya." Kepalaku tersentak dan tergerak untuk mengintip ke tempat duduk yang terletak di balik tembok tempat aku nemplok sekarang ini.

Meja panjang di balik tembok ini terisi beberapa anak kelas 11 IPA dan dua sosok familiar sedang duduk menyantap makanan yang telah mereka pesan—Benji dan Lorenzo. Dengan gesit aku menyembunyikan diri lagi di balik tembok sambil tetap memasang pendengaran setajam mungkin.

"Iya. Kemaren kayaknya masih tengil karena menang Clash Royale." Sahut Lorenzo. "Kehujanan kali ya dia? Tapikan hujannya baru turun jam 4an, kita udah kelar dari jam 3." Oh, ternyata kemaren Sebastian main bersama Benji dan Lorenzo makanya pulang sore. Terus, ngapain dia balik ke sekolah lagi kalau gitu?

"Kasian, deh. Kayaknya dia lagi ada masalah. Kemarin rada banyak ngelamun gak sih, Ren?" Benji mengerutkan keningnya. "Perasaan gue aja kali, ya? Bastian kan emang gak terlalu banyak ngomong. Tapi, kayak ada yang aneh aja gitu. Tuh bocah introvert parah, dah. Cerita-cerita ngape."

"Kalo Sebastian extrovert, dia udah jadi fuckboy Voltarta, Ben. Tipikal bad boy yang udah ganteng banget terus tajir lagi." Sela salah satu anak di meja itu. Mendengar pendapatnya aku menahan senyum.

"Bas mana punya fuckboy material sih? Dulu sebelum dia jadian sama Nina pas SMP, gue pikir Sebastian malah tipe-tipe cowok yang benci sama cewek, lho. Dingin banget kalo ngomong ke cewek, anjir. Datar lagi mukanya kayak papan. Dia sebenernya emang fictional character material banget."

"Cowok protagonist FTV material." Koreksi Benji.

Iya. Pas SMP, Sebastian sempat punya pacar namanya Karenina Adristi. Cantik banget, parah. Selain cantik, Kak Nina juga tipe anak pintar yang tidak pernah tertendang dari ranking 10 besar. Tidak hanya itu, cara berjalan, cara berbicara, dan seluruh kelakuannya lembut banget mirip putri-putri keraton.

Sebelum Ginny datang membawa berita bahwa Sebastian mungkin sedang dalam fase PDKT dengan Kak Eve, aku pasti bakalan mengira bahwa cowok itu masih berpacaran dengan Kak Nina. Hubungan mereka dulu eksklusif sekali, tidak begitu menjadi spotlight. Tetapi kembali ke titik awal, Sebastian itu introvert dan Kak Nina juga pemalu dan pendiam. Aku saja tahu kalau mereka berpacaran dari... Ah, tidak usah dibahas dulu manusia yang satu itu. Kapan-kapan saja.

To Love or To Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang