Sometimes, us, is too good to be true. But, sometimes, us, is too mundane to be written. But, do the word 'us' really exist for us? Because, I'm afraid it's just my imagination. And in our case, we're the 'us' on the word ridiculous. Why? It's because I'm deep down here, while you're up on the constellation. We should have never met, because the earth will never reach the stars. And it will hurt itself for trying hard to do so. You know that.
SIERRA
"Neng, kamu kenapa ada di sekolah liburan gini?"
Tepukan lembut mampir di pundakku. Aku tersenyum tipis pada Bu Wati sambil menutup novel berjudul Larung karya Ayu Utami yang sejak tadi kubaca sebagai teman pengusir bosan. Aku jadi ingat kata-kata Enlai bahwa ketika semua orang akan panik jika tidak membawa ponsel atau dompetnya, Sierra akan jauh lebih panik ketika dia tidak membawa sebuah novel.
Padahal, aku selalu panik jika ada barang yang tertinggal.
"Aku mau ngambil majalah dari sponsor yang harus dijualin awal bulan November, Bu. Kak Ariella kan hari ini ikut ke Balai Sarbini buat Lustrum yayasan." Jawabku sopan sambil sedikit bergeser untuk memberikan tempat bagi Bu Wati untuk duduk di kursi kayu panjang.
Kursi kayu panjang yang dilindungi rindangnya pohon dan tepat berada di beranda pos satpam ini adalah kursi yang aku duduki dengan Sebastian beberapa minggu lalu. Aku meneguk ludah pelan, berusaha untuk menghapus bayangan kejadian kemarin dimana cowok itu dengan entengnya menawarkan dirinya untuk menggunting kuku-ku—yang tentu saja aku tolak. Meskipun ada jeda keheningan canggung di ruang guru lantai tiga setelah Sebastian menawarkan diri, lebih tepatnya, dia menawarkan diri dengan sarkastik.
"Lho, kamu kenapa gak ikut? Kan OSIS juga?"
Aku tersenyum takzim. "Kan belum dilantik, Bu. Baru juga pengumuman minggu lalu."
Bu Wati mengangguk-angguk pelan dan mengajakku berbincang banyak hal. Mulai dari kehidupan keluarganya, kehidupan sehari-hariku di sekolah, OSIS, dan banyak hal lainnya hingga sebuah mobil avanza berwarna hitam dengan sticker nama majalah remaja terkenal ibukota memasuki pelataran sekolah. Hal ini membuat aku dan Bu Wati bangkit dari tempat duduk kami untuk menyambut kedatangan pihak majalah remaja yang telah mensponsori sekolahku entah dari kapan.
"Siang, Bu Wati." Sapa salah satu dari dua pria muda yang mengantarkan 2 tumpuk tinggi majalah yang telah diikat dengan tali rafia tiap tumpuknya.
"Siang, Mas Danu." Sapa Bu Wati balik.
"Ariella mana, Bu?"
"Lustrum yayasan di Balai Sarbini, Pak. Ini yang tanggung jawab namanya Sierra, adik kelasnya Ariella." Bu Wati memperkenalkanku pada dua kurir tadi yang bernama Mas Danu dan Mas Erik.
Perbincangan kami tidak berlangsung lama karena Mas Danu dan Mas Erik masih harus mengantarkan beberapa tumpuk majalah lagi ke sekolah-sekolah lain di bilangan Jakarta Selatan ini. Setelah kepergian mereka, aku langsung berinisiatif untuk mengangkat kedua tumpuk majalah tadi dan berjalan masuk ke gerbang sekolah.
"Neng Sierra, bisa sendiri?"
"Bisa, Bu." Jawabku tenang, meskipun sebenarnya lenganku mulai terasa ketar-ketir dengan beban yang harus ditanggung dari dua tumpuk majalah ini.
"Diletakkan di ruang komite aja, neng. Selalu disitu, kok. Lagian kasian kalo harus ke ruang OSIS. Rada jauh." Bu Wati mengangguk-angguk dan mempersilakan aku pergi. Aku memang tidak berani meminta tolong padanya karena sudah sedari tadi HT yang dipegangnya berbunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Love or To Be Loved
Teen FictionTak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu, Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni Dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu Tak ada yang lebih bijak d...