You were my universe and I was your little lonely star. We didn't last long because you're immortal and I'm not. But foolishly, for a brief moment I thought you'd grieve over my death. Oh fool me, as everybody's universe, you have watched a lot of stars' dead. I was just a lonely star compared to the planets that you embrace, why did I expect a lot from you?
-Sierra.
SIERRA
"Jangan nangis."
Selama beberapa saat aku hanya bisa mematung, menatap tubuh tinggi ceking Sebastian dengan mulut terbuka sementara jemari si Pangeran Persia ini masih menghapusi airmata yang tersisa di pipiku.
"Siapa yang nangis?" Tanyaku bodoh. Sebastian lagi keliatan ganteng banget sekarang dengan hoodie thrasher hitam memeluk tubuhnya. Pertanyaan tadi semata-mata hanya aku keluarkan untuk formalitas semata, karena sebenarnya aku sedang benar-benar terpesona dengan ciptaan Tuhan di hadapanku ini. Bahkan, sampai aku lupa bahwa beberapa saat sebelum dia muncul dengan magisnya, rasa percaya diriku sedang terkubur dalam.
Serius deh, kalau dilihat-lihat, kayaknya wajah Sebastian dipahat langsung oleh tangan sang Maha Kuasa. Tulang rahangnya yang begitu tajam, hidungnya yang benar-benar mancung, ditunjang dengan dua pasang mata tajam yang menatapku dengan sayu saat ini. Biasanya, kedua bola mata berwarna cokelat gelap itu menatap tajam dan memancarkan aura yang tidak terlalu ramah.
"Gak ada yang nangis." Aku menambahkan dengan penuh rasa putus asa karena cowok ganteng di hadapanku ini hanya memicingkan mata, tidak mempercayai kata apapun yang keluar dari mulut lawan bicaranya saat ini alias mulutku.
Sebastian menarik tangan kanannya dari pipiku dan memasukkannya ke dalam kantung celana seragam yang berwarna abu-abu. Aku bersedekap begitu pipi yang tadi terlindungi oleh tangan Sebastian bersentuhan kembali dengan udara. Rasanya dingin dan tidak aman. Dari ekspresinya, kelihatan kalau dia udah gak mau lagi membicarakan apa aku nangis atau tidak. Sepertinya, dia cukup memiliki rasa respect akan privasi orang lain. "Tadi gue dari Rimba Baca, terus lewat sini. Eh, ternyata ada lo di dalem. Sekalian nih, gue bawain,"
Belum selesai Sebastian ngomong aku udah nyerocos, "Ih Rimba Baca! Disana lantai duanya pewe banget. Banyak buku bagus. Gue sering baca Franklin disana."
"Franklin si kura-kura yang gak berani tidur di dalem cangkangnya?" Sebastian mengggeleng-gelengkan kepala sambil meletakkan sesuatu tepat di hadapanku.
Sekarang, ada sebuah buku berwarna putih yang dihiasi dengan huruf timbul berwarna hitam bertuliskan; The Black Echo. Sederetan apresiasi akan novel debut Michael Connelly ini juga menghiasi cover depan buku tersebut. Aku hanya bisa membuka mataku lebar-lebar dengan tidak percaya. Terus terang, sampai beberapa saat yang lalu, aku yakin hal pinjam meminjam buku ini hanya akan berakhir menjadi wacana semata. Alias, tidak akan pernah terjadi. Sekarang, novel ini ada di hadapanku, aku tiba-tiba malu mengingat kenyataan bahwa sweater hitam milik Sebastian masih nangkring di meja setrikaan Mbak Ijen.
"Lho, kok bengong? Minum lo udah abis? Mau beli lagi, gak?" Sebastian kembali menarik kesadaranku kembali ke dunia nyata. Aku mendongak, mendapati cowok itu telah duduk dengan nyaman di hadapanku dengan kedua lengan diletakkan di atas meja. Matanya menyipit begitu melihat gelas Caramel Milk Tea berukuran large yang aku beli beberapa saat yang lalu telah kosong.
Emang dasar Sebastian. Belum juga aku selesai terpesona karena kehadiran dia, setelah itu dengan gampangnya menyodorkan novel yang telah lama aku cari. "Emang ada peraturan gak boleh bengong, yah..."

KAMU SEDANG MEMBACA
To Love or To Be Loved
Teen FictionTak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu, Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni Dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu Tak ada yang lebih bijak d...