Chapter 11 - Sierra

163 8 1
                                    

Some people have stopped making memories with me,

But,

I don't want us to stop making memories of each other

So that you'll always be my first thought in the morning,

And my last blink before I sleep during nights.

-Sierra; an introduction of memories with Sebastian

SIERRA

"Gue yakin deh, pasti kalo Roro Jonggrang itu wanita abad ke-21, dia pasti jadi feminist. Menghalalkan segala cara untuk tidak menikahi seorang pria."

"Feminist belum tentu kayak gitu, tahu. Sierra pernah ngasih tahu gue kalo perempuan yang gak mau nikah atau anti cowok itu namanya misandry."

"Mislaundry apaan lagi?"

Di tengah deraan sinar matahari pukul 8 pagi, tiga anak manusia tidak jelas sedang mendebatkan cerita legenda Candi Prambanan di barisan depan kelas X8. Tiga tuyul kesasar itu tidak lain dan tidak bukan adalah dynamic trio; Enlai, Jordy, dan Kieran. Aku heran kenapa mereka bertiga begitu tidak bisa dipisahkan.

Pagi tadi secara tidak sengaja, saat bermain polisi maling di kelas, Enlai menabrak mejaku dan menumpahkan air dari botol minum yang aku bawa. Wajah orientalnya itu langsung dipenuhi rasa bersalah begitu menyadari bahwa seluruh air minumku habis padahal di setiap hari Senin kami wajib upacara atau bisa juga presentasi literasi yang berarti jam pulang sekolah Voltarta mundur sekitar 30 menit. Aku masih membutuhkan banyak cairan dalam tubuh namun persediaan air yang aku bawa telah sirna begitu saja karena anak-anak cowok kelasku memiliki masa kecil kurang bahagia.

"Sierra, Sierra, aduh maaf. Jam segini kantin belum buka. Kalau harus lari ke Indomaret seberang, udah gak sempet. Bentar lagi acara literasi mulai. Nanti pas istirahat pertama gue jadi pejuang kantin, deh. Gue seruduk semua umat manusia kelaparan Voltarta biar gue bisa membelikan lo sebotol air mineral agar dahaga tidak menjadi penghalang bagi otak pintar lo untuk terus berkarya bagi sesama dan Tuhan."

Aku hanya mengedikkan bahu ke Enlai dan berjalan dengan santai keluar kelas. "Turun sekarang aja, deh. Makin lama kita turun, literasi makin lama mulai dan kita makin lama berjemur. Panas panas."

"Sierra, jangan marah!"

Padahal, aku tidak marah dan tidak berusaha untuk berpura-pura akting bahagia, Enlai tetap menyimpulkan aku marah sehingga dia merasa berkewajiban untuk selalu berjalan di belakangku dan marah-marah ke semua orang yang menabraki tubuh letoy yang aku milikki ini saat berdesakan untuk turun ke lapangan.

Dan dimana ada Enlai, secara otomatis dan gaib, disitu ada pula Jordy dan Kieran. Dan apabila Enlai mendadak menjadi bodyguard seseorang, secara otomatis dan gaib pula Jordy dan Kieran juga menjadi bodyguard orang tadi.

"Woy, jangan nabrak-nabrak, Sierra! Ketemu Lucifer lo malem ini kalo gencet-gencet dia!" Seru Kieran.

"Dimana mata lo? Gak liat apa ada Sierra lagi jalan? Awas!" Garang Jordy.

"Kalo Bapak lo pengusaha air minum, baru boleh ngalangin Sierra jalan!"

Gila, malu-maluin abis. Mereka bertiga menyemprot orang tanpa pandang bulu. Mau itu cewek atau cowok, kelas 10, 11, atau 12 semuanya kena hantam kalau ngehalangin jalan aku. Untung aja gak banyak yang ngambil hati kelakuan tiga manusia aneh itu. Kebanyakan malah cengar cengir sambil melirik ke arahku yang hanya mendesah jengah sesekali.

Untuk hari Senin kali ini, karena aku penghuni setia barisan depan saat baris berbaris upacara maupun literasi, tiga orang aneh yang biasanya penghuni barisan belakang itu mendadak menggusur penghuni barisan depan cowok kelas X8. Julian dari barisan belakang menatap ketiga sohib asiknya itu dengan penuh kecurigaan.

To Love or To Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang