How the hell I'm meeting you just now.
Truth is,
I envy everyone who has met you earlier,
I'm jealous with the fact that they may have more memories with you than I do.
Sucks.
Big time.
-Sebastian Ezequiel on 101 Confessions to Sierra.
SEBASTIAN
"Sebastian, sakit?" Gue mengerjapkan mata beberapa kali begitu mengidentifikasi sosok perempuan dengan rambut bergelombang indah jatuh di bahunya berdiri dengan wajah cemas di bibir pintu kamar. "Kenapa? Kehujanan?"
Dengan bersusah payah gue mengatur posisi menjadi duduk tegak di tempat tidur. Pancaran kecemasan dari wajah bertulang rahang halus itu menghangatkan rongga-rongga di dalam tubuh gue. Lalu, kening gue berkerut. "Sierra?"
"Kok bisa sakit, sih?" Dia bertanya sambil berjalan mendekat dan duduk di pinggir tempat tidur. Selama beberapa saat yang dia lakukan hanya melihat gue dalam-dalam dan tangannya terulur untuk meletakkannya di kening gue. "Panas banget."
Gue tersenyum simpul sambil memegang pergelangan tangannya. "Sierra..."
"Kak Bas! Bude Onah mau ke kondangannya Nori, ya! Ditinggal dulu!" Teriakkan Bude Onah membuat gue terlonjak dari tempat tidur. "Ngomong-ngomong, kenapa manggil-manggil nama Sierra, sih? Siape itu?" Untuk beberapa saat pandangan mata gue ngeblur sebelum akhirnya menyadari wajah keriput Bude Onah di ambang pintu kamar.
Detik itu gue sadar kalau bayangan Sierra duduk di pinggir kasur gue adalah sebuah mimpi... Man, gue ngigo manggil-manggil Sierra tadi?! Sialan. Sialan. Sialan. Kok bisa, sih? Gue bahkan kenal dia belum sampai 24 jam. Dan kenapa dia mampir ke mimpi gue? Kenapa gue terdengar kayak remaja pria frustrasi yang mimpiin cewek?
"Sierra itu Bahasa Inggris dari pegunungan kali, Bude." Jawab gue datar. Padahal, ngeles doang anjir. "Nori yang keponakan Bude itu? Oh iya, iya. Ucapin selamat menempuh hidup baru ya."
"Oke, deh. Mama Papa kamu lagi ke Sentul nengokkin si Eyang. Gerald tadi izin main futsal di sports club terus hari ini Lilia latihan tamborin di Gereja selesai jam 6 sore. Kalo Kak Bas belom kuat biar Gerald aja yang jemput, ntar."
"Ah iya, iya, Bude."
Setelah itu Bude Onah berlalu, meninggalkan gue yang masih mijet-mijet kening. Sampai saat ini gue masih tidak habis pikir, bisa-bisanya gue mimpiin Sierra. Jelas-jelas seseorang bisa muncul di bunga tidur kita kalau kita kebanyakkan mikirin dia. Gue kenal Sierra baru 24 jam dan-ya, iya, gue ngaku semalem sebelum tidur, bayang-bayang cengiran cewek itu ke kakaknya yang mengantar gue ke alam mimpi.
"Bahkan gue dulu gak pernah mimpiin Nina..."
Kepala pening. Hidung perih dan mampet. Mata berair. Jidat sepanas tungku. Gila, ini hujan kemarin bener-bener dendam karena udah sempat gue remehin kali, ya? Tapi, jahat banget kalau gini hukumannya. Buat nafas aja kayak gak punya tenaga.
Tadi pagi, waktu Mama datang membangunkan gue, hanya erangan penuh penderitaan yang menjawab panggilannya. Mama langsung panik, mengecek suhu tubuh gue dengan termometer. Angka di termometer menunjukkan angka 38,3 derajat celcius dengan hal itu Mama langsung mengambil keputusan; gue gak usah berangkat sekolah hari ini.
Harusnya sih gue senang dengan keputusan Mama, mengingat hari Sabtu bagi kelas 11 IPA 3 diisi dengan pelajaran Fisika, Matematika, dan Kimia secara beruntun. Bikin otak mati rasa biasanya. Harusnya sih gue bersyukur karena kawasan Jakarta Selatan yang penuh pusat perbelanjaan dan pusat anak gaul Jakarta ini bakalan macet banget ketika gue pulang sekolah.

KAMU SEDANG MEMBACA
To Love or To Be Loved
Teen FictionTak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu, Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni Dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu Tak ada yang lebih bijak d...