Day 4

4.2K 328 37
                                    

Day 4

(Pukul 06.00 - Apartment Devan)

Sudah pukul enam pagi dan pria itu tampak belum bangun. Mungkin dia menikmati sedikit bermalas-malasan karena ini weekend.



(Pukul 06.00 - Rumah Michelle )

"Ni ma, lihat ni." Papa tampak menyodorkan koran yang sedang ia baca.

"Apaan sih pa?" mama mendekat dengan wajah penasaran.

"Ini anak pengacara terkenal, udah lulus sekolah kedokteran ambil spesialis bedah ortopedi." Papa menunjuk pada sebuah gambar di koran tersebut "Dia malah udah langsug di terima di rumahsakit tempat papa praktek."

"Wah... cantik ya pa." Mama tampak terkagum-kagum melihat gambar itu.

Sementara Michelle mendekat masih dengan muka bantalnya.

"Michelle, kok tumben bangun pagi?" Perhatian mama beralih pada Michelle.

"Biasanya kalau weekend udah kaya kebo deh kamu bangunnya ntar nunggu beduk magrib." Ledek mama.

"Lagi liatin apaan sih?" Michelle membungkuk di dekat sang papa.

"Ini lho, dokter baru di rumahsakit tempat papa praktek, anak pengacara terkenal, masih muda, cantik, udah dokter spesialis bedah ortopedi." Papa menunjuk pada sebuah gambar dan mata Michelle mengikuti kemana arah telunjuk sang ayah, dan betapa terkejutnya dia saat melihat foto itu. Matanya membulat penuh, bayangannya terlempar pada sebuah frame photo di ruang kerja Devan.

Michelle berbicara setelah berhasil menemukan kesadaran setelah keterkejutannya "Siapa namanya pa?"

"Dokter Archangela Aurellie Saragih." Papa menatap ke wajah Michelle yang terlihat bingug.

"Dia belajar enam tahun di Frankfurt, German, dan baru sekitar dua atau tiga hari balik ke Indonesia." Jelas Papa dan seketika binar di mata Michelle meredup.

"Oh," dia bergegas meninggalkan meja makan dan kembali ke kamar.

Pikirannya campur aduk, pertama dia sudah kehilangan muka di depan Devan karena kecerobohan dirinya mengakui perasaannya pada pria itu. Kedua mengatakan "Cinta" pada pria yang baru beberapa hari di kenal terlihat sedikit "maksa" dan last but not least dia sudah ditolak terang-terangan oleh pria yang dia gilai itu. Kesialan tidak berakhir di situ, mantan atau justru kekasih pria yang di gilainya sudah kembali dari negeri antah brantah setelah berpetualang selama enam tahun di negeri itu, dan parahnya dia kembali dengan membawa gelar yang tidak main-main "Dokter spesialis bedah ortopedi". Apa yang bisa di banggakan dari dirinya untuk bersaing dengan gadis sempurna itu, apalagi selain pendidikan cemerlang, dia juga akan segera bekerja, berpenghasilan bersar, dia juga anak pengacara terkenal.

Bagi Michelle ini rasanya seperti dia terjatuh, bukan saja tersungkur ke tanah, tapi dia nyusruk, masuk ke got, isinya lumpur yang lembek, bau, udah gitu tertimpa tangga, setelah itu hujan mengguyur, badai, membuat tiang listrik tumbang mengenai dirinya, dan kemudian petir menyambarnya, hangus, tidak tersisa.

Dia linglung, membuka pintu kamar, lalu masuk, dia melemparkan diri di ranjang, isi kepalanya menghambur tidak tentu arah. Semangat hidupnya seolah merosot. Dia tidak pernah tergila-gila pada seorang pria, meski dia selalu digilai oleh banyak pria.

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Dia melihat ke layar, wajahnya merengut.

"Oh Martin." Dia mengerang, telepon dari Martin seperti sebutir pil pahit, dia harus tetap minum untuk sehat, tapi rasanya pahit. Martin adalah seorang musisi yang meski namanya belum terlalu berkibar di belantika musik Indonesia, tapi di kalangan musisi panggung, dan musisi cafe nama Martin sudah cukup dikenal.

120 Days #Googlrplaybook #JE Bosco PublisherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang