Chapter 3 : Decide

156 15 0
                                    

-Sometimes we should decide between two choices which is better for us or better for theirs. If this too important for their life, we should choose the second one even though its hurt-

○●○

3 kali Israel mengitari kompleks rumahnya yang dirasa sudah cukup untuk hari ini. Dengan napas yang masih terengah-engah ia masuk ke dalam rumah.

Sedikit mengherankan mengetahui rumah ini hening seakan tak ada aktivitas apapun. Biasanya, walaupun sendirian di rumah, Alsa tetap saja membuat rumah ini berisik. Entah karena musik yang ia pasang atau suara gadis itu sendiri yang merancau tak jelas mengenai game yang dimainkannya.

"Alsa?" panggil Israel yang suaranya menggema diseluruh ruangan.

Tak ada jawaban.

Saat akan menaiki tangga untuk pergi ke kamar Alsa, langkahnya terhenti sebab iPadnya yang menyala menarik perhatiannya. Diambil dan dibaca tulisan yang tertera disana dengan seksama.

Dan akhirnya terjawab sudah pertanyaannya mengenai rumah yang tiba-tiba menjadi sepi ini.
.
.
.
Seusai membersihkan diri, ia pun berniat menghampiri gadis yang telah tinggal bersamanya selama 12 tahun itu. Israel menghembuskan napasnya pelan sebelum mengetuk pintu kamar Alsa sebanyak tiga kali. Tak ada jawaban.

"Gue masuk ya," izin Israel lalu membuka daun pintu kamar Alsa.

Nampak sebuah gundukan besar dibalut dengan selimut tebal di tengah tempat tidur. Israel mendudukan dirinya di pinggiran tempat tidur sembari mengusap lembut gundukan tersebut.

"Israel mau bicara sama Alsa, boleh?" tanyanya lembut.

Perkataan Israel yang lembut seperti ini merupakan salah satu kelemahan Alsa. Ia tak dapat marah ataupun kesal jika sudah seperti ini.

Perlahan Alsa menyingkapkan selimut yang menutupi tubuhnya dan duduk bersila menghadap Israel. Dengan penuh perasaan, Israel mengusap sisa-sisa air mata yang ada dipipi Alsa.

"Lo dah gede, Sa. Masih aja cengeng begini. Gimana gue bisa ninggalin lo kalo kayak gini?" senyum Israel lembut mencairkan suasana.

Alsa tetap saja masih bungkam, enggan membuka mulutnya.

Jika Alsa seperti ini, hati Israel tak akan tega untuk meninggalkannya. Bahkan niat untuk menggapai cita-citanya yang lebih tinggi seakan sirna. Keputusannya untuk pindah menjadi goyah. Tak ada lagi yang lebih penting dari Alsa bagi Israel. Gadis ini adalah hidupnya.

"Maafin gue karena lo tau dengan cara begini. Sebenernya gue ngerencanain ini udah dari lama. Cuma gue belom sempet nyampein ke elo. Atau lebih tepatnya belom siap.

"Jujur, gue ga bisa ninggalin elo. Tapi disisi lain ini tuntutan dari pekerjaan sekaligus impian gue. Dan ngeliat lo kayak gini bikin keputusan gue buat pindah jadi goyah. Ini yang gue takutin," jelas Israel mengutarakan apa yang dirasakannya sekarang.

"Jadi, gue nyerahin keputusannya di elo. Apapun keputusan lo, nyuruh gue tetep tinggal ataupun pergi, gue bakal turutin itu," ujar Israel yang malah semakin memberatkan Alsa.

Ia ingin Israel tetap disampingnya tetapi ia juga ingin Israel menggapai impiannya setinggi mungkin.

"Karena bagi gue, lo itu segalanya. Diatas apapun, bahkan impian gue ga ada apa-apanya dibanding lo."

XxX

It's Friday!

Gue seneng banget akhirnya libur panjang jadi gue punya banyak waktu buat bikin cerita lainnya.. yeay!

Don't worry gaes, cerita ini dah selesai dibuat kok. Cuma tinggal ngepost aja sesuai jadwal. Jadi, tunggu kelanjutannya ya!

Thanchuu for read it and don't forget to voment:)

Xoxo,

17/03/17

Los(t) AngelesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang