Dia satu-satunya orang yang mau menerimaku apa adanya.
Dia satu-satunya orang yang mau berteman denganku.
Dia satu-satunya orang yang bisa membuatku jatuh dengan rasa yang indah.
Dia Black Widowku.
Padahal, di hari yang mungkin terakhir kali untukku ini aku ingin dia ada di sisiku. Bukan, bukan karena aku merasa sendirian. Aku sudah punya banyak orang di sini untuk menemaniku. Bahkan ayah, kakak, dan adikku ada di sini.
Bahagia? Tidak juga. Hanya lega yang aku rasakan. Akhirnya setelah sekian lama mereka menganggapku tidak ada, sekarang mereka menyadari keberadaanku.
Namun, hatiku belum lega sepenuhnya. Meskipun aku sudah merasa sangat lelah dengan semua penyakit ini, aku belum bisa pergi. Dia belum ada di sini. Dan aku juga tidak tahu apakah dia sudah berhasil berjuang saat ini. Karena setahuku dia baru saja selesai memberikan sebagian hatinya untuk Maminya.
Ah, bagaimana aku tidak jatuh cinta kepadanya. Dia sungguh baik bukan? Bahkan dia rela mengorbankan nyawanya untuk orang yang dicintainya.
Ya, dia memang baik. Dan aku tidak. Maka dari itu, aku tidak berharap lebih. Aku cukup sadar diri dengan kondisiku saat ini, dia tidak mungkin menjadi milikku sekalipun aku berjuang. Aku tidak bisa menjaganya, tidak bisa membuatnya tertawa, dan tidak bisa menjanjikannya masa depan yang indah bahkan jika aku sembuh dari semua penyakit yang ada di tubuhku. Aku relakan dia untuk sahabatnya yang pernah ia ceritakan kepadaku. Laki-laki itu lebih baik daripada aku. Dia bisa menjaganya, membuatnya tertawa, dan menjanjikan masa depan untuknya. Asal jangan bersama laki-laki beruntung yang bisa dicintai olehnya dan juga memberinya rasa sakit itu, aku rela mengalah.
Takdir. Takdir yang mempertemukanku dengannya. Dan aku tidak menyalahkan takdir itu. Meskipun aku tidak berakhir bahagia bersamanya tapi aku bersyukur takdir telah mempertemukanku dengannya. Membuat aku bisa merasakan salah satu dari jutaan keindahan di dunia yang tidak bisa aku rasakan. Aku bersyukur karena takdir membuatku menemukan perempuan tercantik kedua di dunia setelah Bunda itu.
Aku ingat betul sore itu. Sore dimana aku bertemu dengannya di taman untuk pertama kali. Sejak ia menggeleng ketika aku bertanya apakah ia akan menjauh dariku setelah aku memberitahunya tentang penyakitku, aku rasa aku mulai jatuh kepadanya.
Tentang hari-hariku bersamanya, itulah waktu yang paling berharga untukku. Karena hari-hari itulah yang membuatku tahu bagaimana dia tertawa, bagaimana dia menangis, bagaimana dia bercerita, dan bagaimana manjanya dia sehingga bisa membuatku jatuh kepadanya.
Untung saja aku sudah menulis surat untuknya beberapa hari yang lalu. Karena sekarang aku sudah tidak bisa menggerakan tubuhku sendiri. Semua rasa sakitku selama ini hadir dalam waktu bersamaan. Aku hanya bisa melihat dan mendengar sekarang. Aku hanya bisa melihat dan mendengar Bunda yang sedari tadi menangis di sampingku. Aku hanya bisa mendengar ucapan maaf dari Ayah yang tidak henti-hentinya ia ucapkan. Aku hanya bisa melihat Dokter Liza yang ada di samping kakak dan adikku yang sedang menangis itu. Namun, aku tidak bisa membalas ucapan mereka. Aku tidak bisa mengeluarkan suaraku sedikitpun.
Mungkin ini waktuku. Mungkin ini waktunya Tuhan membiarkan aku terlepas dari rasa sakit ini. Tapi, aku belum mau pergi. Dia belum ada di sini. Aku lebih baik menahan semua rasa sakitku daripada pergi sebelum melihatnya untuk yang terakhir kalinya.
Aku tidak berharap diberikan banyak waktu lagi oleh Tuhan. Aku hanya butuh waktu sedikit. Aku hanya butuh waktu sampai dia datang dan aku bisa pergi dengan tenang.
Meskipun rasa sakit begitu menyiksaku sampai aku merasa mataku berair sedikit, aku belum mau menyerah. Aku terus membiarkan mata dan telingaku terbuka.
"Kamu nunggu siapa?" Itu suara Dokter Liza. Sekarang aku baru menyadari jika ia ada di samping tubuhku dengan mata berair.
Andai aku bisa, aku ingin membalas ucapannya. Aku ingin berterimakasih kepadanya karena sudah menemaniku sejak aku dirawat di sini.
"Kamu nggak boleh nyiksa diri kamu sendiri." Aku bisa mendengar Dokter Liza sedikit terisak. "Kita semua sayang kamu."
Aku memang sudah tidak kuat, tapi dia belum di sini. Aku tidak akan menyerah.
"Bunda sayang sama kamu." Sekarang suara Bunda yang terdengar. Melihat Bunda begini, menangis dengan kencang, membuat dadaku tambah sesak. "Jangan siksa diri kamu sendiri. Bunda mohon." Bunda terisak dengan kencang.
Aku tahu Bunda sedih melihatku seperti ini. Tapi, apakah harus sekarang?
"Kamu hebat. Kamu pahlawannya Bunda. Tapi kalau kamu capek, jangan dipaksa, sayang. Bunda cinta kamu."
Bunda mencium keningku. Air matanya menetes di pipiku. Aku tidak tega melihat Bunda seperti ini.
Aku tidak boleh egois. Aku harus menerima kenyataan. Mungkin ini memang waktuku.
Baiklah, aku menyerah. Aku tidak boleh memaksakan kehendakku. Aku akan pergi. Demi Bunda.
"Bunda... a-aku." Akhirnya setelah susah payah suaraku bisa keluar juga. "Aku cinta... Bunda."
Terimakasih Bunda. Terimakasih dengan segala kesabaran Bunda dalam mengurusku selama ini. Andaikan Bunda tahu seberapa besar aku mencintai Bunda. Aku bahkan mencintai Bunda lebih dari aku mencintai diriku sendiri.
Aku biarkan rasa sakit ini membawaku. Membawaku pergi dari dunia yang memang tidak ramah untukku. Mungkin, tempat yang aku tuju nantinya adalah tempat yang lebih ramah untukku.
Terimakasih Tuhan, terimakasih telah mengizinkanku hidup di dunia ini. Hanya satu yang aku pinta, jaga dua perempuan yang aku cintai itu. Jangan biarkan mereka berdua dijahati oleh dunia. Jangan biarkan mereka merasakan apa yang aku rasakan. Cukup aku, jangan mereka.
Dan untuk napas terakhirku, tolong sampaikan rasa sayangku untuknya. Tolong katakan kepadanya seberapa besar pengaruhnya untuk kehidupanku. Tolong jaga dia. Tolong peluk dia disaat sedih karena aku sudah tidak bisa melakukan itu lagi.
***
00.07
Minggu dini hari dibulan Maret, ditemani musik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sideness
Teen Fiction(Completed) Setiap cerita pasti memiliki peran antagonis. Ketika dua anak manusia sedang menjalin hubungan, pasti ada perusaknya. Kesal? Ya, kita pasti membenci perusak itu. Ketika kita sedang menikmati suatu kisah cinta, kenapa si perusak itu harus...