Dua Puluh Empat

1.1K 117 39
                                    

Reyhan berjalan ke meja makan dengan gontai. Tidak ada semangat untuk berangkat sekolah hari ini. Toh, ia ke sekolah hanya untuk bermain dengan teman-temannya. Namun, setelah kejadian waktu itu hidupnya banyak berubah. Sekarang ia benar-benar sendirian. Tidak berkumpul dengan teman-temannya, dan tidak juga bersama Natasha.

Setelah mengucapkan selamat pagi, Reyhan duduk di samping Rethan. Ia lalu mengambil roti bakar yang sudah disiapkan Mamanya dan memakannya tanpa selera. Melihat itu, Rethan geleng-geleng kepala.

"Kalo makan tuh yang bener. Mama nyiapin udah susah-susah juga."

Reyhan hanya melirik sekilas kakaknya yang empat tahun lebih tua darinya itu.

"Lagi di meja makan loh." Mamanya mengingatkan. "Han, kamu kemana aja sih? Pergi pagi pulang malam terus. Mama kan kangen kamu, Han."

Ya, memang seminggu terakhir ini Reyhan pergi pagi-pagi sekali bahkan sebelum Mama dan Papanya bangun lalu pulang larut malam sehingga ia langsung masuk ke kamarnya untuk menghilangkan kejenuhan. Entahlah, Reyhan juga tidak tahu. Tapi ia merasa seperti ada yang... hilang. Maka itu, ia berusaha menyibukkan diri dengan apapun yang bisa membuatnya merasa tidak sendiri.

"Mama apaan sih, lebay."

Mama tertawa. "Lagian kamu nggak pernah punya waktu buat keluarga. Sibuk apa sih?"

Reyhan hanya mengangkat bahunya. Ia memang tidak melakukan apapun. Ia hanya pergi mengitari kota pada pagi hari, lalu malamnya pergi balapan bersama teman-teman barunya.

"Lo sibuk sama Tasya, ya?" tebak Rethan.

"Ketemu aja udah nggak pernah," gumam Reyhan yang masih bisa didengar Rethan.

"Lo nggak pernah ketemu?" Rethan menatap Reyhan penuh selidik. "Jangan bilang lo nggak tau."

"Tau apaan sih? Gue lagi diemin dia."

"Lo gila? Lo diemin dia?"

"Iya. Sekali-kali dia emang butuh diajarin. Gue salah gara-gara manjain dia dari kecil. Sifatnya jadi begitu."

"Tapi dia lagi butuh kamu sekarang, Han," sela Mamanya.

"Justru itu, Ma. Reyhan lagi coba bikin dia nggak bergantung sama orang terus." Melihat Mamanya akan menyelanya lagi, Reyhan kembali membuka suara. "Udahlah, Ma. Jangan bahas dia terus. Reyhan berangkat."

Setelah mengatakan itu, Reyhan berjalan tanpa menoleh lagi meskipun Mamanya memanggil berkali-kali.

Mengingat Natasha, Reyhan baru sadar jika cewek itu tidak pernah terlihat belakangan ini. Benar-benar tidak pernah terlihat baik di sekolah, rumah, atau ponselnya. Sebenarnya kemana sahabatnya itu? Apa karena perkataannya waktu itu sangat keterlaluan sehingga Natasha menjauhinya?

Reyhan menggelengkan kepalanya. Tidak, tindakannya waktu itu memang benar. Ia memang harus melakukan itu agar Natasha bisa menghargai orang lain dan tidak berpikir bahwa dunia harus selalu menuruti perkataannya.

***

Reyhan duduk di salah satu meja kantin yang sedang ramai. Jika biasanya ia akan duduk bersama teman-temannya di bangku paling pojok dekat dengan para penjual makanan, namun kali ini ia hanya duduk sendirian di meja tengah. Bukan karena ia marah pada semua teman-temannya. Tapi ia tidak punya muka untuk bertemu dengan mereka. Terutama Kevin. Apalagi mengingat waktu itu ia pernah memukul sahabatnya itu habis-habisan. Reyhan sungguh menyesal pernah melakukan itu.

Bel baru saja berbunyi beberapa menit yang lalu tapi kantin sudah seramai ini. Reyhan memilih untuk tidak makan karena malas mengantri. Meskipun ia yakin orang-orang akan mempersilahkannya memesan terlebih dahulu. Tapi, Reyhan tipe orang yang taat peraturan. Ia suka melestarikan budaya mengantri. Mungkin ia hanya butuh duduk di sini beberapa menit untuk menghilangkan kejenuhannya karena selalu berada di dalam kelas.

SidenessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang